Apa bisnis yang sebenarnya ditawarkan sebuah Hotel. Beragam hotel bertebaran mulai dari kelas melati sampai hotel berbintang empat atau lima. Apa yang membedakan bisnis hotel dengan penerbangan misalnya. Paling tidak keduanya sangat erat dengan pelayanan dan penanganan terhadap tamu atau penumpangnya. Persamaan lainnya adalah kedua konsumen baik hotel maupun penerbangan umumnya berasal dari kelas ekonomi menengah atas. Dibutuhkan perhatian dan penanganan lebih khusus terhadap orang yang ekonominya mapan ini. Seberapa sering anda menggunakan jasa sebuah Hotel. Bagi mereka yang sering bepergian entah urusan keluarga atau kantor tentunya pernah menginap di sebuah hotel.
Laki-laki itu pernah menginap di sebuah hotel berbintang empat di Malaysia selama lebih dari tiga bulan. Tentu saja bukan dari biaya sendiri, karena biayanya mencapai ratusan juta rupiah. Urusan kantorlah yang membawanya menginap sampai berbulan-bulan. Itu terjadi ditahun 1992 atau enambelas tahun silam. Masih ingat bagaimana pelayanan hotel di negeri jiran itu. Harus diakui cukup professional dan mencerminkan kelas bintangnya. Selama tinggal di hotel tersebut nampak tidak ada kejadian yang berarti. Masih ingat lelaki tadi mampir dan makan di restoran hotel hanyalah sekali. Itupun saat pertama kali datang dan disambut eksekutif kantor setempat. Selebihnya lelaki itu dan banyak rekan kantornya mencari makan di luar hotel. Sarapan pagi-pun tidak pernah di hotel, karena harus berangkat ke kantor. Jadilah sarapannya cukup di kantin kantor atau pabrik. Meski kantin namun ukuran dan ragam makannya sangat banyak. Tiga bulan lebih tinggal di hotel itu cukup memberikan catatan tersendiri baginya.
Belum lama ini kembali lelaki itu menginap di sebuah hotel berbintang di kota terbesar Jawa Tengah. Lamanya juga tiga bulan. Kepentingan sama, urusan pekerjaan sehingga biaya hotel bukan dari kocek pribadi namun ditanggung perusahaan. Saat meneken invoice selama tiga bulan tersebut terlihat jumlah yang cukup besar. Hmm dana sebesar itu, bila dari kocek sendiri tentu saja sayang kalau digunakan hanya tinggal di Hotel. Berbeda dengan konglomerat minyak dari Timur Tengah yang konon pernah menyewa sekian banyak kamar hotel super mewah di Eropa hanya untuk liburan dan bersenang-senang. Uang sang raja minyak itu ibaratnya tidak berseri, sehingga membelanjakan ratusan milyar adalah hal biasa baginya.
Lelaki itu sedikit banyak menyimpulkan pelayanan hotel tersebut. Untuk makanan karena memang tinggal berbulan-bulan nampanknya memang membosankan. Meskipun menu sebuah hotel berbintang empat tentunya mewah dan beragam tetap saja membuatnya bosan. Tidak jarang lelaki itu hanya mampir dan minum susu atau sereal saja. Kali lain hanya mengambil sayuran, lontong dan sambal untuk jatah sarapannya. Dan yang paling sering adalah minta dikirim ke kamar menu jus atau susu, sereal dan roti.
Pelayanan pegawai hotel sejujurnya kurang memuaskan. Banyak pegawainya yang kurang ramah dan kurang bersahabat. Meskipun tentu ada sebagian yang ramah dan sangat baik. Seingat lelaki itu sebagai tamu longstay, dia merasa tidak diperlakukan secara khusus. Entah ini kebetulan atau memang tidak ada bedanya tamu yang hanya semalam menginap dibanding longstay. Atau pegawai berpikir toh dia menginap atas biaya kantor jadi buat apa mendapat perhatian lebih. Bahkan di restoran-pun tidak banyak yang menyapanya meskipun dia tinggal 90 hari di situ. Sentuhan pribadi dari pelayanan nampaknya tidak ditemukan. Sering saat sarapan malah jarang ditawari minum teh atau kopi yang merupakan layanan standard hotel berbintang. Entah pegawainya yang malas atau sarapan kesiangan. Jam delapan pagi tentunya belum terlalu siang bukan. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membatin bahwa hotel berbintang yang terletak di lokasi paling bergengsi kok pelayanannya jauh dari mengesankan dan kalah jauh dibanding hotel lainnya. Hal ini terjadi karena sudah mengalami puluhan kali menginap di hotel berbintang sehingga dapat membandingkan satu dengan lainnya. Bila dilihat memang hotel ini dimiliki oleh pemodal lokal dan tidak seperti biasanya sebuah hotel biasanya dimiliki atau dikelola oleh perusahaan asing yang memiliki jaringan internasional.
Puncaknya ketikan harus cek out setelah sembilan puluh hari menginap. Lelaki itu bermaksud minta sepotong kardus, tali atau lakban guna mempaking sebagian barangnya karena kopornya tidak muat. Jawaban hotel singkat tidak punya kardus. Pun tidak ada basa basi untuk mencarikan atau membelikan yang tentunya harganya akan diganti. Kardus akhirnya didapat dari kantor lelaki itu. Yang dapat dilakukan lelaki itu hanya mengisi daftar isian pelayanan yang ditaruh di meja telepon. Memang sesuai nayatanya poinya banyak di bawah rata-rata. Meski tidak begitu jelas apakah bakal ditindak lanjuti atau hanya merupakan atribut belaka. Bahwa sudah ada media penyampai uneg-uneg bagi tamu. Saat cek out di depan friontliner sungguh merupakan hal membosankan manakala harus mengantri lama, tidak ada pegawai yang menyapa, meskipun tamu itu baru saja memberikan kontribusi senilai sekian juta. Usai cek out lelaki itu bergegas menuju mobilnya tanpa menoleh. Hmm sungguh tidak ada sedikitpun keinginan untuk menginap di situ lagi.
Read More ..
Friday, August 08, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)