Thursday, July 22, 2010

Nyai Roro Kidul


Anda barangkali pernah mendengar mitos Nyai Roro Kidul. Bila anda kebetulan wisata ke Parangtritis Yogyakarta konon terdapat kamar di sebuah hotel yang sering digunakan singgah Sang Ratu. Bahkan oleh pelukis sang ratu digambarkan naik kereta Kencana dan terbang diatas lautan. Sang Ratu digambarkan sebagai ratu yang cantik jelita dengan pakaian model keraton/jawa. Sementara masyarakat pantai percaya bahwa bila sang Ratu marah maka akan minta korban sehingga pelancong di Parangtritis yang terseret ombak seolah hilang diseret Sang Ratu sendiri. Mitos Nyai Roro Kidul juga digambarkan sebagai istri dari keturunan Raja Mataram.

Saking kuatnya mitos Nyai Roro Kidul para akademisi mencoba membedahnya lewat seminar. Tidak tanggung-tanggung para pakar dari Solo dan Yogya saling membeberkan pengetahuannya seputar mitos tersebut. Pun begitu, seminar tersebut nampak belum tuntas menjawab keyakinan dari masyarakat Jawa, sehingga Ratu Kidol akan tetap menjadi mitos.

Sumber: Kompas, Senin, 21 Desember 2009

”Tadi terjadi pertempuran alus. Banyak kelompok orang yang ingin gagalkan acara. Ratu menangis lihat perbuatan mereka. Dia juga terharu karena melihat besarnya animo orang untuk ikut seminar.”

Pesan singkat lewat ponsel itu dikirimkan oleh MT Arifin, satu jam seusai seminar ”Membongkar Mitos Ratu Kidul” di Balai Soedjatmoko, Solo, Kamis (17/12). Di seminar itu, dia menjadi salah seorang pembicaranya. Dari pesan singkat MT Arifin itu, seolah benar-benar telah terjadi ”pertempuran” di dunia gaib di tengah seminar.

Padahal, faktanya, tidak ada yang aneh selama seminar yang dipadati sekitar 200 peserta yang datang dari sejumlah kota. Tak ada bau semerbak mewangi, dupa, atau kemenyan selama berlangsung seminar yang makan waktu hampir lima jam ini.

Lho, apakah Ratu Kidul bukan hanya sosok dongeng yang hidup di dunia mitos? Lebih absurd karena dalam pesan dari MT itu disebut kata ”Ratu”—maksudnya adalah Ratu Kidul. Di sana seolah-olah dia ini adalah ”seseorang”, perempuan lumrah yang nyata, bisa disentuh, atau digamit.

Apakah pesan singkat di atas masuk di akal? Apakah MT—panggilan akrab MT Arifin (54)—tidak sedang bercanda atau jangan-jangan ngelindur? Dengan nada sungguh-sungguh MT mengaku, dirinya membuat penelitian secara intensif sejak 2001 tentang Ratu Kidul, dengan metodologi yang dia sebut sesuai kaidah-kaidah keilmuan.

Seminar yang menghadirkan MT Arifin, I Sutardjo, dan Prof Soehardi dari UGM Yogyakarta ini, menurut panitia, memang hendak ”membongkar” mitos seputar Ratu Kidul. Maksudnya, fenomena Ratu Kidul (selanjutnya disingkat RK), yang selama berabad-abad hanya sebatas sebagai mitos yang cenderung negatif dan ”membelenggu” masyarakat Jawa itu, coba didekati secara rasional.

Revitalisasi mitos

Mitos Ratu Kidul adalah fenomena paling populer di masyarakat Jawa, tetapi kurang terungkap secara terbuka karena mitos itu mengandung kontroversi.

Prof Soehardi, mengutip Babad Tanah Jawi, menyebut mitos tentang RK sudah ada jauh sebelum Mataram. Kemudian di-”revitalisasi” oleh Ki Juru Martani bersama Ki Ageng Pemanahan untuk ”mengorbitkan” Danang Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram (akhir abad ke-16). Sutawijaya yang kemudian menjadi Panembahan Senapati dimitoskan mendapat dukungan Kanjeng Ratu Kidul berupa balatentara lelembut saat mengalahkan pasukan Pajang di Prambanan.

Semenjak itu, mitos RK dikaitkan dengan para Raja Mataram untuk mengukuhkan kekuasaan. ”Mitos Ratu Kidul bukan sebatas kepercayaan takhayul semata, melainkan perlu dipahami sebagai kearifan lokal,” kata Soehardi.

Menyinggung RK, I Sutardjo, mantan pengajar pada Jurusan Sastra Indonesia di UNS Solo, mengungkapkan, pengalaman metafisiknya ketika menghadirkan ”roh” Ragil Suwarna Pragolapati, seorang penyair dan wartawan harian Kedaulatan Rakyat yang dikabarkan ”raib” di pantai Parangtritis pada tahun 1980-an, lewat seorang medium.

Dalam wawancara yang sengaja dia rekam itu, Ragil mengungkapkan keinginannya untuk bertemu RK. Ia bermeditasi duduk di atas batu gilang yang digunakan oleh Panembahan Senapati saat bertemu RK. Kemudian terjadi angin ribut dan mendadak ia menyadari dirinya telah kehilangan raga wadaknya. Nasib Ragil yang tetap raib sampai hari ini menambah daftar panjang cerita misterius yang menimpa warga masyarakat dikaitkan dengan mitos RK.

Bagaimanakah sesungguhnya Ratu Kidul?

Sejauh penelitian empiris yang dilakukan MT, RK bukanlah sosok ratu siluman yang menyeramkan dan kejam karena suka mencabut nyawa orang dan menenggelamkan mereka di Laut Selatan, sebagaimana berita yang kerap terdengar di sekitar pantai selatan Pulau Jawa—dari Ujung Kulon di Banten hingga Banyuwangi di Jawa Timur.

”Ratu Kidul tidak seperti yang dicitrakan banyak orang. Ratu sering merasa sedih oleh anggapan masyarakat yang menuduhnya sebagai biang segala malapetaka. Tetapi, kesalnya, dia tidak bisa begitu saja membantahnya. Beberapa kejadian memang semata-mata karena musibah atau kecelakaan dan kehendak alam, tetapi beberapa yang lain karena ulah yang dilakukan oleh ’orang-orang’ di sekitarnya,” ujar MT.

Apakah keterangan MT memiliki ”kebenaran” yang bisa dipertanggungjawabkan? ”Bagi saya,” ujar MT, ”seorang ilmuwan itu bisa saja salah, tetapi dia tidak boleh berbohong. Sekali seorang ilmuwan berbohong, menurut saya, itu fatal.”

MT menguraikan secara panjang lebar berbagai konsepsi, serta teori tentang RK yang didasarkan data, baik yang dia kutip dari sumber resmi tekstual yang pernah ditulis orang tentang RK maupun pendalamannya berupa cek silang ke sumber-sumber lain. Sumber teks dia kutip dari Serat Kandhaning Ringgit Purwa (abad ke-16), Kitab Manikmaya (abad ke-17), Babad Tanah Jawi (abad ke-18), Serat Centhini (abad ke-19).

MT menjelaskan, selama ini masyarakat salah kaprah mengidentifikasi RK. Menurut dia, nama ”Ratu Kidul” sesungguhnya tidak dikenal di Kerajaan Kidul. Adapun mitos semua raja Mataram (Jawa) ”kawin” dengan RK karena kesepakatan sejak Panembahan Senapati, menurut dia, secara teori terbukti tidak benar.

Sumber-sumber teks itu pun mengungkapkan teori yang berbeda satu sama lain tentang penguasa Laut Selatan. Misalnya, teori ”satu ratu” atau teori ”banyak ratu” untuk RK. Satu ratu artinya hanya ada satu RK untuk sepanjang masa (abadi). Adapun banyak ratu berarti yang menduduki jabatan sebagai RK itu ”orang”-nya berganti- ganti.

Masih menurut MT, RK adalah posisi Ratu atau permaisuri Raja Kidul (lelaki), sedangkan ”orang”-nya berganti-ganti. Adapun para mantan ”Ratu Kidul” yang sudah lengser sebagai Ratu Kidul masih memiliki status khusus, tetap berwibawa dan dihormati; di samping posisi-posisi lain yang dipegang oleh sejumlah perempuan cantik.

Pernah jadi Ratu Kidul

Nama-nama mereka yang pernah menjadi RK itu adalah Dewi Angin-angin, Ratu Ayu, Ratu Andarawati, Ratu Kencanasari, dan Ratu Mayangsari. Masing-masing digambarkan asal-usulnya, ciri-ciri fisik; tinggi tubuh, kecantikan parasnya, bentuk mata, warna kulit, postur, hingga panjang rambutnya. Begitu pula tentang busana kegemarannya, watak, kebiasaan dan perilaku masing-masing.

Betapa pun ”riil” dan gamblangnya penggambaran MT tentang RK, agaknya RK akan tetap berada di ranah mitos. Ranah yang selalu menimbulkan rasa ingin tahu: antara ingin membuktikan tetapi sekaligus menyadari batas keberanian— atau sesungguhnya itulah iman?

Menurut I Sutardjo, mitos tentang RK mustahil bisa ”dihapus” karena alasan pembangunan (modernisasi) atau kemajuan globalisasi. Dari pandangan idiosinkretisme dan kebudayaan, mitos RK selayaknya mendapat tempat. ”Sebagai ideologi kebudayaan, mitos Ratu Kidul sampai kapan pun tidak akan hilang,” ujarnya menegaskan.

Read More ..

Banjaran Arjuna


Hari telah malam dan syukur cerah tanpa hujan yang biasanya mengguyur. Halaman Balikota yang luas itu sangat meriah. Ratusan kursi ditata menghadap panggung. Halaman kiri disediakan layar besar. Belakang panggung itu berupa taman dan halaman keramik yang dikelililing gedung Balaikota berbentuk letter U. Ditempat-tempat tadi bertebaran ribuan pengunjung yang malam itu menyaksikan pagelaran wayang kulit. Bagi tamu undangan bisa duduk di kursi, menikmati wayang sambil makan nasi dus. Sementara bagi pengunjung lainnya yang tidak kebagian kursi bisa melihat dari layar besar tadi atau dari belakang panggung. Makan-nya, bisa beli dari banyak lapak yang sengaja datang dan menjajakan dagangannya. Pagelaran wayang kulit digelar dalam rangka syukuran atas terpilihnya walikota Semarang yang baru. Wayang kulit ini juga merupakan “klangenan” dari masyarakat Jawa pada umumnya. Pagi penikmat sejati, adalah hal ringan untuk melek dan nonton pagelaran wayang yang dimulai dari jam 21.00 sampai dengan pagi hari jam 04.00 WIB, atau tujuh jam penuh. Apalagi dalangnya adalah dalang nomor satu seluruh dunia (karena Negara lain kan ngga ada dalang he he), yakni Ki Anom Suroto berserta anaknya Bayu, yang berasal dari Solo.

Melihat pagelaran wayang kulit seolah pengobat rindu akan budaya unik yang satu ini. Meski sejak kecil menyukai wayang dan sering melek semalam suntuk, namun belakangan gelaran wayang kulit mulai jarang. Entah karena mulai ngga popular, atau rates sewanya mulai mahal, atau krisis ekonomi dan sebagainya. Sehingga gelaran gratis dengan dalang yang kondang ini sungguh sayang dilewatkan. Tempo hari salah satu stasiun TV rajin menyiarkan langsung pertunjukan wayang kulit, namun berhenti begitu saja. Entah bagaimana kelak nasib dari budaya ini atau budaya lainnya. Apakah begitu saja hilang dan terlupakan tanpa ada yang nguri-uri lagi. Nenk moyang sudah mencurahkan pikirannya dan menghasilkan budaya nan tinggi, namun hari ini sungguh sedikit apresiasi untuk menjaga dan mengembangkannya. Konon rates sewa mereka tidaklah terlalu mahal. Bandingkan dengan Inul yang manggung 4 lagu saja sewanya 50 juta. Wayang kulit dengan puluhan kru penabuh gamelan, sinden penyanyi, bintang tamu, sekian perangkat, dan wayangnya yang mahal, sewanya juga tidak jauh dari Inul.

Mudah-mudahan kelak masih tersisa budaya budaya nan tinggi yang bisa dinikmati generasi mendatang. Mudah-mudahan masih tersisa sesuatu yang berharga dari bangsa ini yang semakin tergerus dan krisis oleh habisnya sumber daya alam, kepongahan berkorupsi ria disela-sela makin sulitnya masyarakat mencari penghidupan.

Lakon Banjaran Arjuna ini sangat menarik untuk disimak. Apalagi dibawakan langsung oleh sang maestro Ki Anom Suroto beserta anaknya yang tidak kalah lihai memainkan wayang. Jalan ceritanya kurang lebih seperti ini : Disadur dari Lestarikan Alamku 06 : 74

Arjuna (Sanskerta: अर्जुन; Arjuna) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. Ia adalah putra Prabu Pandudewanata, raja di Hastinapura dengan Dewi Kunti atau Dewi Prita, yaitu putri Prabu Surasena, Raja Wangsa Yadawa di Mandura. Arjuna merupakan teman dekat Kresna, yaitu awatara (penjelmaan) Bhatara Wisnu yang turun ke dunia demi menyelamatkan dunia dari kejahatan. Arjuna juga merupakan salah orang yang sempat menyaksikan "wujud semesta" Kresna menjelang Bharatayuddha berlangsung. Ia juga menerima Bhagawadgita atau "Nyanyian Orang Suci", yaitu wejangan suci yang disampaikan oleh Kresna kepadanya sesaat sebelum Bharatayuddha berlangsung karena Arjuna masih segan untuk menunaikan kewajibannya.

Arti nama
Dalam bahasa Sanskerta, secara harfiah kata Arjuna berarti "bersinar terang", "putih" , "bersih". Dilihat dari maknanya, kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".

Arjuna mendapat julukan "Kuruśreṣṭha" yang berarti "keturunan dinasti Kuru yang terbaik". Ia merupakan manusia pilihan yang mendapat kesempatan untuk mendapat wejangan suci yang sangat mulia dari Kresna, yang terkenal sebagai Bhagawadgita (nyanyian Tuhan).

Ia memiliki sepuluh nama: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi (juga disamakan dengan Sabyasachi), dan Dhananjaya. Ketika ia ditanya tentang sepuluh namanya sebagai bukti identitas, maka ia menjawab:
"Sepuluh namaku adalah: Arjuna, Phālguna, Jishnu, Kirti, Shwetawāhana, Wibhatsu, Wijaya, Pārtha, Sawyashachi dan Dhananjaya. Aku dipanggil Dhananjaya ketika aku menaklukkan seluruh raja pada saat Yadnya Rajasuya dan mengumpulkan harta mereka. Aku selalu bertarung sampai akhir dan aku selalu menang, itulah sebabnya aku dipanggil Wijaya. Kuda yang diberikan Dewa Agni kepadaku berwarna putih, itulah sebabnya aku dipanggil Shwetawāhana. Ayahku Indra memberiku mahkota indah ketika aku bersamanya, itulah sebabnya aku dipanggil Kriti. Aku tidak pernah bertarung dengan curang dalam pertempuran, itulah sebabnya aku dipanggil Wibhatsu. Aku tidak pernah menakuti musuhku dengan keji, aku bisa menggunakan kedua tanganku ketika menembakkan anah panah, itulah sebabnya aku disebut Sawyashachī. Raut wajahku unik bagaikan pohon Arjun, dan namaku adalah "yang tak pernah lapuk", itulah sebabnya aku dipanggil Arjuna. Aku lahir di lereng gunung Himawan, di sebuah tempat yang disebut Satsringa pada hari ketika bintang Uttarā Phālgunī berada di atas, itulah sebabnya aku disebut Phālguna. Aku disebut Jishnu karena aku menjadi hebat ketika marah. Ibuku bernama Prithā, sehingga aku disebut juga Pārtha. Aku bersumpah bahwa aku akan menghancurkan setiap orang yang melukai kakakku Yudistira dan menaburkan darahnya di bumi. Aku tak bisa ditaklukkan oleh siapa pun."

Kelahiran
Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Raja Hastinapura yang bernama Pandu tidak bisa melanjutkan keturunan karena dikutuk oleh seorang resi. Kunti (istri pertamanya) menerima anugerah dari Resi Durwasa agar mampu memanggil Dewa-Dewa sesuai dengan keinginannya, dan juga dapat memperoleh anak dari Dewa tersebut. Pandu dan Kunti memanfaatkan anugerah tersebut kemudian memanggil Dewa Yama (Dharmaraja; Yamadipati), Dewa Bayu (Marut), dan Dewa Indra (Sakra) yang kemudian memberi mereka tiga putra. Arjuna merupakan putra ketiga, lahir dari Indra, pemimpin para Dewa.

Sifat dan kepribadian
Arjuna memiliki karakter yang mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apapun pasti akan ditaklukkannya, sehingga ia juga diberi julukan "Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara semua keturunan Kuru di dalam silsilah Dinasti Kuru, ia dijuluki "Kurunandana", yang artinya putra kesayangan Kuru. Ia juga memiliki nama lain "Kuruprāwira", yang berarti "kesatria Dinasti Kuru yang terbaik", sedangkan arti harfiahnya adalah "Perwira Kuru".

Di antara para Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Maka dari itu, Sri Kresna sangat kagum padanya, karena ia merupakan kawan yang sangat dicintai Kresna sekaligus pemuja Tuhan yang sangat tulus. Sri Kresna pernah berkata padanya, "Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbaktilah kepada-Ku, dan serahkanlah dirimu pada-Ku, maka kau akan datang kepada-Ku. Aku berkata demikian, karena kaulah kawan-Ku yang sangat Kucintai"

Masa muda dan pendidikan
Arjuna dididik bersama dengan saudara-saudaranya yang lain (para Pandawa dan Korawa) oleh Bagawan Drona. Kemahirannya dalam ilmu memanah sudah tampak semenjak kecil. Pada usia muda ia sudah mendapat gelar "Maharathi" atau "kesatria terkemuka". Ketika Guru Drona meletakkan burung kayu pada pohon, ia menyuruh muridnya satu-persatu untuk membidik burung tersebut, kemudian ia menanyakan kepada muridnya apa saja yang sudah mereka lihat. Banyak muridnya yang menjawab bahwa mereka melihat pohon, cabang, ranting, dan segala sesuatu yang dekat dengan burung tersebut, termasuk burung itu sendiri. Ketika tiba giliran Arjuna untuk membidik, Guru Drona menanyakan apa yang ia lihat. Arjuna menjawab bahwa ia hanya melihat burung saja, tidak melihat benda yang lainnya. Hal itu membuat Guru Drona kagum bahwa Arjuna sudah pintar.

Pada suatu hari, ketika Drona sedang mandi di sungai Gangga, seekor buaya datang mengigitnya. Drona dapat membebaskan dirinya dengan mudah, namun karena ia ingin menguji keberanian murid-muridnya, maka ia berteriak meminta tolong. Di antara murid-muridnya, hanya Arjuna yang datang memberi pertolongan. Dengan panahnya, ia membunuh buaya yang menggigit gurunya. Atas pengabdian Arjuna, Drona memberikan sebuah astra yang bernama "Brahmasirsa". Drona juga mengajarkan kepada Arjuna tentang cara memanggil dan menarik astra tersebut. Menurut Mahabharata, Brahmasirsa hanya dapat ditujukan kepada dewa, raksasa, setan jahat, dan makhluk sakti yang berbuat jahat, agar dampaknya tidak berbahaya.

Pusaka
Arjuna memiliki senjata sakti yang merupakan anugerah para dewata, hasil pertapaannya. Ia memiliki panah Pasupati yang digunakannya untuk mengalahkan Karna dalam Bharatayuddha. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna ketika ia hendak membakar hutan Kandawa. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama Dewadatta, yang berarti "anugerah Dewa".

Arjuna mendapatkan Dropadi
Pada suatu ketika, Raja Drupada dari Kerajaan Panchala mengadakan sayembara untuk mendapatkan Dropadi, puterinya. Sebuah ikan kayu diletakkan di atas kubah balairung, dan di bawahnya terdapat kolam yang memantulkan bayangan ikan yang berada di atas. Kesatria yang berhasil memanah ikan tersebut dengan hanya melihat pantulannya di kolam, berhak mendapatkan Dropadi.

Berbagai kesatria mencoba melakukannya, namun tidak berhasil. Ketika Karna yang hadir pada saat itu ikut mencoba, ia berhasil memanah ikan tersebut dengan baik. Namun ia ditolak oleh Dropadi dengan alasan Karna lahir di kasta rendah. Arjuna bersama saudaranya yang lain menyamar sebagai Brahmana, turut serta menghadiri sayembara tersebut. Arjuna berhasil memanah ikan tepat sasaran dengan hanya melihat pantulan bayangannya di kolam, dan ia berhak mendapatkan Dropadi.

Ketika para Pandawa pulang membawa Dropadi, mereka berkata, "Ibu, engkau pasti tidak akan percaya dengan apa yang kami bawa!". Kunti (Ibu para Pandawa) yang sedang sibuk, menjawab "Bagi dengan rata apa yang sudah kalian peroleh". Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Kunti, maka para Pandawa bersepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri mereka. Mereka juga berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 1 tahun.

Perjalanan menjelajahi Bharatawarsha
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para raksasa. Arjuna yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 1 tahun.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau daratan India Kuno. Ketika sampai di sungai Gangga, Arjuna bertemu dengan Ulupi, puteri Naga Korawya dari istana naga atau Nagaloka. Arjuna terpikat dengan kecantikan Ulupi lalu menikah dengannya. Dari hasil perkawinannya, ia dikaruniai seorang putra yang diberi nama Irawan. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya menuju wilayah pegunungan Himalaya. Setelah mengunjungi sungai-sungai suci yang ada di sana, ia berbelok ke selatan. Ia sampai di sebuah negeri yang bernama Manipura. Raja negeri tersebut bernama Citrasena. Ia memiliki seorang puteri yang sangat cantik bernama Citrānggadā. Arjuna jatuh cinta kepada puteri tersebut dan hendak menikahinya, namun Citrasena mengajukan suatu syarat bahwa apabila puterinya tersebut melahirkan seorang putra, maka anak puterinya tersebut harus menjadi penerus tahta Manipura oleh karena Citrasena tidak memiliki seorang putra. Arjuna menyetujui syarat tersebut. Dari hasil perkawinannya, Arjuna dan Citrānggadā memiliki seorang putra yang diberi nama Babruwahana. Oleh karena Arjuna terikat dengan janjinya terdahulu, maka ia meninggalkan Citrānggadā setelah beberapa bulan tinggal di Manipura. Ia tidak mengajak istrinya pergi ke Hastinapura.

Setelah meninggalkan Manipura, ia meneruskan perjalanannya menuju arah selatan. Dia sampai di lautan yang mengapit Bharatawarsha di sebelah selatan, setelah itu ia berbelok ke utara. Ia berjalan di sepanjang pantai Bharatawarsha bagian barat. Dalam pengembaraannya, Arjuna sampai di pantai Prabasa (Prabasatirta) yang terletak di dekat Dwaraka, yang kini dikenal sebagai Gujarat. Di sana ia menyamar sebagai seorang pertapa untuk mendekati adik Kresna yang bernama Subadra, tanpa diketahui oleh siapa pun. Atas perhatian dari Baladewa, Arjuna mendapat tempat peristirahatan yang layak di taman Subadra. Meskipun rencana untuk membiarkan dua pemuda tersebut tinggal bersama ditentang oleh Kresna, namun Baladewa meyakinkan bahwa peristiwa buruk tidak akan terjadi. Arjuna tinggal selama beberapa bulan di Dwaraka, dan Subadra telah melayani semua kebutuhannya selama itu. Ketika saat yang tepat tiba, Arjuna menyatakan perasaan cintanya kepada Subadra. Pernyataan itu disambut oleh Subadra. Dengan kereta yang sudah disiapkan oleh Kresna, mereka pergi ke Indraprastha untuk melangsungkan pernikahan.

Baladewa marah setelah mendengar kabar bahwa Subadra telah kabur bersama Arjuna. Kresna meyakinkan bahwa Subadra pergi atas kemauannya sendiri, dan Subadra sendiri yang mengemudikan kereta menuju Indraprastha, bukan Arjuna. Kresna juga mengingatkan Baladewa bahwa dulu ia menolak untuk membiarkan kedua pasangan tersebut tinggal bersama, namun usulnya ditentang oleh Baladewa. Setelah Baladewa sadar, ia membuat keputusan untuk menyelenggarakan upacara pernikahan yang mewah bagi Arjuna dan Subadra di Indraprastha. Ia juga mengajak kaum Yadawa untuk turut hadir di pesta pernikahan Arjuna-Subadra. Setelah pesta pernikahan berlangsung, kaum Yadawa tinggal di Indraprastha selama beberapa hari, lalu pulang kembali ke Dwaraka, namun Kresna tidak turut serta.

Terbakarnya hutan Kandawa
Pada suatu ketika, Arjuna dan Kresna berkemah di tepi sungai Yamuna. Di tepi hutan tersebut terdapat hutan lebat yang bernama Kandawa. Di sana mereka bertemu dengan Agni, Dewa Api. Agni berkata bahwa hutan Kandawa seharusnya telah musnah dilalap api, namun Dewa Indra selalu menurunkan hujannya untuk melindungi temannya yang bernama Taksaka, yang hidup di hutan tersebut. Maka, Agni memohon agar Kresna dan Arjuna bersedia membantunya menghancurkan hutan Kandawa. Kresna dan Arjuna bersedia membantu Agni, namun terlebih dahulu mereka meminta Agni agar menyediakan senjata kuat bagi mereka berdua untuk menghalau gangguan yang akan muncul. Kemudian Agni memanggil Baruna, Dewa Lautan. Baruna memberikan busur suci bernama Gandiwa serta tabung berisi anak panah dengan jumlah tak terbatas kepada Arjuna. Untuk Kresna, Baruna memberikan Cakra Sudarsana. Dengan senjata tersebut, mereka berdua menjaga agar Agni mampu melalap hutan Kandawa sampai habis.

Arjuna dalam masa pembuangan
Setelah Yudistira kalah bermain dadu, para Pandawa beserta Dropadi mengasingkan diri ke hutan. Kesempatan tersebut dimanfa'atkan oleh Arjuna untuk bertapa demi memperoleh kesaktian dalam peperangan melawan para sepupunya yang jahat. Arjuna memilih lokasi bertapa di gunung Indrakila. Dalam usahanya, ia diuji oleh tujuh bidadari yang dipimpin oleh Supraba, namun keteguhan hati Arjuna mampu melawan berbagai godaan yang diberikan oleh para bidadari. Para bidadari yang kesal kembali ke kahyangan, dan melaporkan kegagalan mereka kepada Dewa Indra. Setelah mendengarkan laporan para bidadari, Indra turun di tempat Arjuna bertapa sambil menyamar sebagai seorang pendeta. Dia bertanya kepada Arjuna, mengenai tujuannya melakukan tapa di gunung Indrakila. Arjuna menjawab bahwa ia bertapa demi memperoleh kekuatan untuk mengurangi penderitaan rakyat, serta untuk menaklukkan musuh-musuhnya, terutama para Korawa yang selalu bersikap jahat terhadap para Pandawa. Setelah mendengar penjelasan dari Arjuna, Indra menampakkan wujudnya yang sebenarnya. Dia memberikan anugerah kepada Arjuna berupa senjata sakti.

Setelah mendapat anugerah dari Indra, Arjuna memperkuat tapanya ke hadapan Siwa. Siwa yang terkesan dengan tapa Arjuna kemudian mengirimkan seekor babi hutan berukuran besar. Ia menyeruduk gunung Indrakila hingga bergetar. Hal tersebut membuat Arjuna terbangun dari tapanya. Karena ia melihat seekor babi hutan sedang mengganggu tapanya, maka ia segera melepaskan anak panahnya untuk membunuh babi tersebut. Di saat yang bersamaan, Siwa datang dan menyamar sebagai pemburu, turut melepaskan anak panah ke arah babi hutan yang dipanah oleh Arjuna. Karena kesaktian Sang Dewa, kedua anak panah yang menancap di tubuh babi hutan itu menjadi satu.

Pertengkaran hebat terjadi antara Arjuna dan Siwa yang menyamar menjadi pemburu. Mereka sama-sama mengaku telah membunuh babi hutan siluman, namun hanya satu anak panah saja yang menancap, bukan dua. Maka dari itu, Arjuna berpikir bahwa si pemburu telah mengklaim sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Arjuna. Setelah adu mulut, mereka berdua berkelahi. Saat Arjuna menujukan serangannya kepada si pemburu, tiba-tiba orang itu menghilang dan berubah menjadi Siwa. Arjuna meminta ma'af kepada Sang Dewa karena ia telah berani melakukan tantangan. Siwa tidak marah kepada Arjuna, justru sebaliknya ia merasa kagum. Atas keberaniannya, Siwa memberi anugerah berupa panah sakti bernama "Pasupati".

Setelah menerima anugerah tersebut, Arjuna dijemput oleh para penghuni kahyangan untuk menuju kediaman Indra, raja para dewa. Di sana Arjuna menghabiskan waktu selama beberapa tahun. Di sana pula Arjuna bertemu dengan bidadari Urwasi. Karena Arjuna tidak mau menikahi bidadari Urwasi, maka Urwasi mengutuk Arjuna agar menjadi banci. Kutukan itu dimanfaatkan oleh Arjuna pada saat para Pandawa menyelesaikan hukuman pembuangan mereka dalam hutan. Sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa harus hidup dalam penyamaran selama satu tahun. Pandawa beserta Dropadi menuju ke kerajaan Wirata. Di sana Arjuna menyamar sebagai guru tari yang banci, dengan nama samaran Brihanala. Meskipun demikian, Arjuna telah berhasil membantu putra mahkota kerajaan Wirata, yaitu pangeran Utara, dengan menghalau musuh yang hendak menyerbu kerajaan Wirata.

Meletusnya perang
Setelah menjalani masa pembuangan selama 13 tahun para Pandawa ingin memperoleh kembali kerajaannya. Namun ketika sampai di sana, hak mereka ditolak dengan tegas oleh Duryodana, bahkan ia menantang untuk berperang. Demi kerajaannya, para Pandawa menyetujui untuk melakukan perang.

Arjuna menerima Bhagawadgita
Kresna, adik Baladewa, tidak ingin terlibat langsung dalam peperangan antara Pandawa dan Korawa. Ia ingin salah satu pihak memilih tentaranya, sedangkan pihak yang lain memilihnya sebagai penasihat. Akhirnya, Duryodana memilih tentaranya, sedangkan Arjuna memilih Kresna sebagai kusir keretanya selama delapan belas hari pertarungan di Medan Kuru atau Kurukshetra. Dalam Mahabharata, peran Kresna sebagai kusir bermakna "pemandu" atau "penunjuk jalan", yaitu memandu Arjuna melewati segala kebimbangan hatinya dan menunjukkan jalan kebenaran kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang diuraikan Kresna kepada Arjuna disebut Bhagawadgita.

Hal itu bermula beberapa saat sebelum perang di Kurukshetra. Arjuna melakukan inspeksi terhadap pasukannya, agar ia bisa mengetahui siapa yang harus ia bunuh dalam pertempuran nanti. Tiba-tiba Arjuna dilanda pergolakan batin ketika ia melihat kakeknya, guru besarnya, saudara sepupu, teman sepermainan, ipar, dan kerabatnya yang lain berkumpul di Kurukshetra untuk melakukan pembantaian besar-besaran. Arjuna menjadi tak tega untuk membunuh mereka semua. Dilanda oleh masalah batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertekad untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Arjuna berkata:
"Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putra Drestarastra dan kawan-kawan kita. O Kresna, suami Dewi Laksmi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"

Melihat hal itu, Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama Hindu, menguraikan ajaran-ajaran kebenaran agar semua keraguan di hati Arjuna sirna. Kresna menjelaskan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang sepantasnya dilakukan Arjuna sebagai kewajibannya di medan perang. Selain itu Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna. Ajaran kebenaran yang dijabarkan Kresna tersebut dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Nyanyian Tuhan". Kitab Bhagawad Gita yang sebenarnya merupakan suatu bagian dari Bhismaparwa, menjadi kitab tersendiri yang sangat terkenal dalam ajaran Hindu, karena dianggap merupakan intisari dari ajaran-ajaran Weda.

Arjuna dalam Bharatayuddha
Dalam pertempuran di Kurukshetra, atau Bharatayuddha, Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma. Di awal pertempuran, Arjuna masih dibayangi oleh kasih sayang Bisma sehingga ia masih segan untuk membunuhnya. Hal itu membuat Kresna marah berkali-kali, dan Arjuna berjanji bahwa kelak ia akan mengakhiri nyawa Bisma. Pada pertempuran di hari kesepuluh, Arjuna berhasil membunuh Bisma, dan usaha tersebut dilakukan atas bantuan dari Srikandi. Setelah Abimanyu putra Arjuna gugur pada hari ketiga belas, Arjuna bertarung dengan Jayadrata untuk membalas dendam atas kematian putranya. Pertarungan antara Arjuna dan Jayadrata diakhiri menjelang senja hari, dengan bantuan dari Kresna.

Pada pertempuran di hari ketujuh belas, Arjuna terlibat dalam duel sengit melawan Karna. Ketika panah Karna melesat menuju kepala Arjuna, Kresna menekan kereta Arjuna ke dalam tanah dengan kekuatan saktinya sehingga panah Karna meleset beberapa inci dari kepala Arjuna. Saat Arjuna menyerang Karna kembali, kereta Karna terperosok ke dalam lubang (karena sebuah kutukan). Karna turun untuk mengangkat kembali keretanya yang terperosok. Salya, kusir keretanya, menolak untuk membantunya. Karena mematuhi etika peperangan, Arjuna menghentikan penyerangannya bila kereta Karna belum berhasil diangkat. Pada saat itulah Kresna mengingatkan Arjuna atas kematian Abimanyu, yang terbunuh dalam keadaan tanpa senjata dan tanpa kereta. Dilanda oleh pergolakan batin, Arjuna melepaskan panahnya yang mematikan ke kepala Karna. Senjata itu memenggal kepala Karna.

Kehidupan setelah Bharatayuddha
Tak lama setelah Bharatayuddha berakhir, Yudistira diangkat menjadi Raja Kuru dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Untuk menengakkan dharma di seluruh Bharatawarsha, sekaligus menaklukkan para raja kejam dengan pemerintahan tiran, maka Yudistira menyelenggarakan Aswamedha Yadnya. Upacara tersebut dilakukan dengan melepaskan seekor kuda dan kuda itu diikuti oleh Arjuna beserta para prajurit. Daerah yang dilalui oleh kuda tersebut menjadi wilayah Kerajaan Kuru. Ketika Arjuna sampai di Manipura, ia bertemu dengan Babruwahana, putra Arjuna yang tidak pernah melihat wajah ayahnya semenjak kecil. Babruwahana bertarung dengan Arjuna, dan berhasil membunuhnya. Ketika Babruwahana mengetahui hal yang sebenarnya, ia sangat menyesal. Atas bantuan Ulupi dari negeri Naga, Arjuna hidup kembali.

Tiga puluh enam tahun setelah Bharatayuddha berakhir, Dinasti Yadu musnah di Prabhasatirtha karena perang saudara. Kresna dan Baladewa, yang konon merupakan kesatria paling sakti dalam dinasti tersebut, ikut tewas namun tidak dalam waktu yang bersamaan. Setelah berita kehancuran itu disampaikan oleh Daruka, Arjuna datang ke kerajaan Dwaraka untuk menjemput para wanita dan anak-anak. Sesampainya di Dwaraka, Arjuna melihat bahwa kota gemerlap tersebut telah sepi. Basudewa yang masih hidup, tampak terkulai lemas dan kemudian wafat di mata Arjuna. Sesuai dengan amanat yang ditinggalkan Kresna, Arjuna mengajak para wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke Kurukshetra. Dalam perjalanan, mereka diserang oleh segerombolan perampok. Arjuna berusaha untuk menghalau serbuan tersebut, namun kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Dengan sedikit pengungsi dan sisa harta yang masih bisa diselamatkan, Arjuna menyebar mereka di wilayah Kurukshetra.

Setelah Arjuna berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan sisa penghuni Dwaraka, ia pergi menemui Resi Byasa demi memperoleh petunjuk. Arjuna mengadu kepada Byasa bahwa kekuatannya menghilang pada saat ia sangat membutuhkannya. Byasa yang bijaksana sadar bahwa itu semua adalah takdir Yang Maha Kuasa. Byasa menyarankan bahwa sudah selayaknya para Pandawa meninggalkan kehidupan duniawi. Setelah mendapat nasihat dari Byasa, para Pandawa spakat untuk melakukan perjalanan suci menjelajahi Bharatawarsha.

Perjalanan suci dan kematian
Perjalanan suci yang dilakukan oleh para Pandawa diceritakan dalam kitab Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa. Dalam perjalanan sucinya, para Pandawa dihadang oleh api yang sangat besar, yaitu Agni. Ia meminta Arjuna agar senjata Gandiwa beserta tabung anak panahnya yang tak pernah habis dikembalikan kepada Baruna, sebab tugas Nara sebagai Arjuna sudah berakhir di zaman Dwaparayuga tersebut. Dengan berat hati, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke lautan, ke kediaman Baruna. Setelah itu, Agni lenyap dari hadapannya dan para Pandawa melanjutkan perjalanannya.

Ketika para Pandawa serta istrinya memilih untuk mendaki gunung Himalaya sebagai tujuan akhir perjalanan mereka, Arjuna gugur di tengah perjalanan setelah kematian Nakula, Sahadewa, dan Dropadi.

Arjuna di Nusantara
Di Nusantara, tokoh Arjuna juga dikenal dan sudah terkenal dari dahulu kala. Arjuna terutama menjadi populer di daerah Jawa, Bali, Madura, dan Lombok. Di Jawa dan kemudian di Bali, Arjuna menjadi tokoh utama dalam beberapa kakawin, seperti misalnya Kakawin Arjunawiwāha, Kakawin Pārthayajña, dan Kakawin Pārthāyana (juga dikenal dengan nama Kakawin Subhadrawiwāha. Selain itu Arjuna juga didapatkan dalam beberapa relief candi di pulau Jawa misalkan candi Surowono.

Arjuna dalam dunia pewayangan Jawa
Arjuna juga merupakan seorang tokoh ternama dalam dunia pewayangan dalam budaya Jawa Baru. Di bawah ini disajikan beberapa ciri khas yang mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sansekerta

Sifat dan kepribadian
Arjuna seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa (dari Bhatara Indra), Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera), Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).

Arjuna memiliki sifat cerdik dan pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuddha, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia moksa (mati sempurna) bersama keempat saudaranya yang lain di gunung Himalaya.

Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan sebagaimana seorang dara, berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Bagi generasi tua Jawa, dia adalah perwujudan lelaki seutuhnya. Sangat berbeda dengan Yudistira, dia sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa, tetapi secara aneh dia sepenuhnya berbeda dengan Don Juan yang selalu mengejar wanita. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.

Pusaka
Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain: Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna), Panah Sangkali (dari Resi Drona), Panah Candranila, Panah Sirsha, Panah Kiai Sarotama, Panah Pasupati, Panah Naracabala, Panah Ardhadhedhali, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama. Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).

Istri dan keturunan
Dalam Mahabharata versi pewayangan Jawa, Arjuna mempunyai banyak sekali istri,itu semua sebagai simbol penghargaan atas jasanya ataupun atas keuletannya yang sekaku berguru kepada banyak pertapa. Berikut sebagian kecil istri dan anak-anaknya:
1. Dewi Subadra, berputra Raden Abimanyu;
2. Dewi Sulastri, berputra Raden Sumitra;
3. Dewi Larasati, berputra Raden Bratalaras;
4. Dewi Ulupi atau Palupi, berputra Bambang Irawan;
5. Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti;
6. Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarka;
7. Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni;
8. Dewi Wilutama, berputra Bambang Wilugangga;
9. Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati;
10. Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma;
11. Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa;
12. Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada;
13. Dewi Maheswara;
14. Dewi Retno Kasimpar;
15. Dewi Dyah Sarimaya;
16. Dewi Srikandi.

Julukan
Dalam wiracarita Mahabharata versi nusantara, Arjuna banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Indrasuta, Danasmara (perayu ulung) dan Margana (suka menolong). "Begawan Mintaraga" adalah nama yang digunakan oleh Arjuna saat menjalani laku tapa di puncak Indrakila dalam rangka memperoleh senjata sakti dari dewata, yang akan digunakan dalam perang yang tak terhindarkan melawan musuh-musuhnya, yaitu keluarga Korawa.

Nama lain
Nama lain Arjuna di bawah ini merupakan nama lain Arjuna yang sering muncul dalam kitab-kitab Mahabharata atau Bhagawad Gita yang merupakan bagian daripadanya, dalam versi bahasa Sanskerta. Nama-nama lain di bawah ini memiliki makna yang sangat dalam, mengandung pujian, dan untuk menyatakan rasa kekeluargaan (nama-nama yang dicetak tebal dan miring merupakan sepuluh nama Arjuna).
1. Anagha (Anaga, yang tak berdosa)
2. Bhārata (Barata, keturunan Bhārata)
3. Bhārataśreṣṭha (Barata-sresta, keturunan Bhārata yang terbaik)
4. Bhāratasattama (Bharata-satama, keturunan Bhārata yang utama)
5. Bhārataśabhā (Barata-saba, keturunan Bharata yang mulia)
6. Dhanañjaya (perebut kekayaan)*
7. Gandīvi (Gandiwi, pemilik Gandiwa, senjata panahnya)
8. Gudakeśa (penakluk rasa kantuk, yang berambut halus)
9. Jishnu (hebat ketika marah)*
10. Kapidhwaja (yang memakai panji berlambang monyet)
11. Kaunteya / Kuntīputra (putra Dewi Kunti)
12. Kīrti (yang bermahkota indah)*
13. Kurunandana (putra kesayangan dinasti Kuru)
14. Kurupravīra (Kuru-prawira, perwira Kuru, ksatria dinasti Kuru yang terbaik)
15. Kurusattama (Kuru-satama, keturunan dinasti Kuru yang utama)
16. Kuruśṛṣṭha (Kuru-sresta, keturunan dinasti Kuru yang terbaik)
17. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
18. Pāṇḍava (Pandawa, putra Pandu)
19. Parantapa (penakluk musuh)*
20. Pārtha (keturunan Partha atau Dewi Kunti)*
21. Phālguna (yang lahir saat bintang Uttara Phalguna muncul)*
22. Puruṣaṛṣabhā (Purusa-rsaba, manusia terbaik)
23. Sawyaśachī (Sawya-saci, yang mampu memanah dengan tangan kanan maupun kiri)*
24. Śwetawāhana (Sweta-wahana, yang memiliki kuda berwarna putih)*
25. Wibhatsu (yang bertarung dengan jujur)*
26. Wijaya (yang selalu memenangkan setiap pertempuran)*

Read More ..

Tuesday, July 06, 2010

Hikayat Baruklinthing

Kemarin ada acara ke Demak dan menyempatkan untuk napak tilas di makam Baruklinting dan Lembah Putri di belakang Masjid Agung Demak. Juru kuncen yang bernama mas Agus dengan ramah menceritakan hikayat dari Baruklinting, asal usul Rawapening dan petilasannya sampai ke Demak. Menurut beliau Baruklinting itu mukso (menghilang), meski makam/petilasan terdapat di sana. tidak terasa waktu setengah hari dihabiskan dengan diskusi dan mendengarkan wejangan dari kuncen yang masih muda tersebut, bahkan baru diberikan seorang anak beberapa hari sebelumnya. Kita diberi kesempatan untuk melihat, termasuk kayu bekas lesung, yang dibawa dari Rawapening. Kayu lesung tersebut memang tinggal bentuk papan, namun sudah disahkan Pemerintah sebagai bukti sejarah. kita juga berkesenmpatan sholat di Masjid Demak, dan Masjid Sunan Kalijaga, Demak. Di belakang masjid Demak adalah makam para Raja Demak seperti Raden Patah dan Sultan Trenggono, Arya Jenar, Arya Penangsang, Kuda-nya, dan masih banyak lagi.

Dari KabarIndonesia - Pada zaman dahulu kala, di suatu wilayah di Jawa Tengah, ada sebuah desa yang dihuni oleh orang-orang yang rajin dan tekun. Mereka hidup dengan rukun dan saling membantu. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semua senang bergotong royong dalam melakukan tugas bersama.. Seperti pada suatu pagi, ada seorang penduduk yang memiliki hajat pesta syukuran. Tetangga-tetangga pun banyak datang berdatangan. Para lelaki menyumbangkan tenaga dengan membangun tenda tratag, mempersiapkan hiburan gamelan, dan sebagainya. Sedangkan kaum perempuannya pun dengan senang hati berkumpul untuk membantu mempersiapkan memasak. Mereka merencanakan untuk menyediakan makan yang lezat dan enak. Untuk itu, diperlukan berbagai macam peralatan memasak, seperti pisau, panci, dan banyak lagi. Maka para perempuan pun membawa pisau masing-masing dari rumah.

Ada seorang ibu yang sedang mengandung, yang ingin ikut membantu dalam kegiatan memasak bersama itu. Dia pun bermaksud membawa sebuah pisau dari rumahnya. Tetapi sayangnya dia tidak dapat menemukan sebuah pisau pun di dapurnrya. Maka diputuskannya untuk meminjam pisau dari suaminya. Dia bergegas menemui suaminya, meminta izin untuk meminjam pisau.

"Pak, bolehkan aku meminjam pisaumu?" tanya si istri lembut.

"Pisauku? Untuk apa, Bu?" suaminya ganti bertanya heran. "Bukankah di dapur Engkau memiliki beberapa pisau, mengapa Engkau meminjam pisauku?" sambungnya. "Aku memang memiliki beberapa pisau. Tetapi entah mengapa aku tidak bisa menemukannya barang satu pun. Aku memerlukannya untuk membantu tetangga kita, untuk memasak bersama. Boleh, ya, Pak?" kata si istri.Suaminya berpikir sejenak, menghela nafas, kemudian akhirnya berkata, "Baiklah. Engkau boleh meminjam pisauku. Tetapi ingat, Bu, jangan sekali-kali Engkau menyelipkannya di dadamu. Berbahaya. Apalagi mengingat Engkau sedang mengandung anak kita. Daripada terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, jagalah selalu pisauku ini."

Si istri mengangguk menurut. "Baik, Pak, terima kasih. Pisau ini akan kujaga, tidak akan hilang." katanya. "Kalau begitu aku berangkat dulu ke rumah tetangga, ya, Pak."

"Baik, Bu, berhati-hatilah. Sekali lagi, jangan Kausimpan pisau itu dengan cara menyelipkannya di dadamu." Si istri kembali mengangguk dan beranjak pergi menuju ke rumah tetangganya. Maka perempuan itu pun mulai memasak bersama dengan perempuan-perempuan lain. Pada waktu memasak, semuanya sibuk, dan tak ada tempat untuk menyimpan pisau. Tanpa disadari, perempuan tadi menyimpan pisau suaminya di dadanya. Rupa-rupanya dia melupakan nasihat suaminya tadi. Dan karena dirasa semuanya baik-baik saja, dan ketika kegiatan memasak sudah selesai, dia pun pulang ke rumahnya.

Beberapa bulan berlalu, tibalah waktunya bagi perempuan itu untuk melahirkan. Alangkah terkejutnya dia, ketika mendapati anaknya berwujud seekor ular! Bukan seorok bayi, melainkan binatang melata yang begitu panjang. Kedua orang tuanya segera memahami, bahwa ini adalah akibat perbuatan si istri yang menyelipkan pisau di dadanya sewaktu mengandung. Maka segera setelah kelahiran anaknya itu, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Yang Kuasa, apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Yang Kuasa pun memberi jawaban atas pertanyaan mereka, "Pisau itu bukan pisau biasa, dan anakmu pun bukan ular biasa. Dia adalah Baruklinting, salah satu utusanku. Bawalah dia ke bukit di desa, dan biarlah dia bertapa dengan cara mengelilingi bukit itu dengan tubuhnya. Seluruh tubuhnya haruslah dapat mengelilingi bukit itu."

Maka berangkatlah Baruklinting ke bukit desa, dan mengelilingi bukit itu untuk bertapa. Walaupun bukit itu tidak begitu besar, dan tubuh Baruklinting pun cukup panjang, akan tetapi seluruh panjang tubuhnya belum mencukupi untuk mengelilingi bukit tersebut. Ujung kepalanya belum dapat bertemu dengan ujung ekornya, hanya kurang beberapa sentimeter. Tetapi Baruklinting bertekad untuk mematuhi perintah Yang Kuasa. Maka dia pun menjulurkan lidahnya, dan dengan demikian seluruh bukit itu dapat dijangkaunya.

Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Baruklinting bertapa selama bertahun-tahun lamanya. Kedua orang tuanya sudah meninggal, dan orang-orang yang hidup di desa pun sudah banyak yang berganti. Tanah tempatnya bertapa, bahkan tubuhnya sendiri, mulai tertutupi rumput.Suatu saat, penduduk desa itu berniat untuk mengadakan kegiatan bersih desa. Sebagai ungkapan syukur atas segala rezeki yang diterima, juga permohonan agar dijauhkan dari marabahaya, penduduk desa akan membersihkan seluruh pelosok desa. Maka setiap orang pun bergotong-royong untuk mengikuti kegiatan tersebut. Ada yang menyiangi rumput, merapikan tanaman, bahkan ada yang membersihkan sungai. Ada juga beberapa warga yang sampai di kaki bukit untuk membersihkan daerah itu. Mereka bekerja dengan menggunakan celurit, parang, dan lain-lain.

Siang itu, saat melepas penat, beberapa penduduk beristirahat sambli duduk-duduk di kaki bukit. Tanpa disengaja, seseorang menancapkan parangnya ke tanah. Betapa terkejutnya dia dan penduduk desa lain, karena mendapati darah keluar dari tanah yang mereka duduki. Mereka pun segera membersihkan rerumputan yang ada, dan mereka mendapati seekor ular mengelilingi bukit tersebut.

"Kawan-kawan, marilah kita sembelih ular ini, dan dagingnya kita buat pesta untuk seluruh desa!" ajak seorang dari mereka. Semua menyetujui rencana itu. Kaum perempuan kembali disibukkan dengan kegiatan memasak bersama, sedangkan kaum laki-laki juga sibuk mempersiapkan keperluan pesta. Mereka bergotong royong bersama. Maka mereka pun menyembelih ular itu, memotong-motongnya menjadi bagian kecil-kecil untuk disantap bersama. Daging ular itu begitu besar, sehingga setiap warga desa dapat menikmati masakan daging ular tersebut.Dari sekian banyak potongan daging-daging kecil itu, tanpa disadari, ada sepotong daging yang menjelma menjadi seorang bocah laki-laki. Dialah Baruklinting, utusan Yang Kuasa, yang belum menyelesaikan pertapaannya. Dia kurus, dekil, dan penuh kudis di sekujur tubuhnya, bahkan menebarkan bau yang tidak sedap.

Kehadirannya begitu mencolok di tengah-tengah pesta desa, di mana orang-orang lain berdandan rapi dan harum. Mereka makan dan minum sepuasnya, berpesta bersama. Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa, dan menemui beberapa orang warganya.
"Tuan, nampaknya Tuan sedang berpesta. Bolehkan saya meminta sedikit makanan?" tanyanya kepada seorang laki-laki gagah. Lelaki itu mengernyitkan dahinya, lalu menutup hidungnya karena bau yang tidak sedap dari tubuh Baruklinting. "Siapa kau?" laki-laki itu balas bertanya."Namaku Baruklinting, Tuan. Saya melihat ada banyak makanan di sini, dan saya lapar sekali, Tuan. Kasihanilah saya," katanya memelas.

"Baruklinting? Aku tidak mengenalmu. Engkau bukan penduduk desa ini. Dengan tubuh dekil, kudisan, dan bau seperti itu, Engkau tidak pantas makan bersama-sama dengan kami. Pergilah!" laki-laki itu mengusirnya.

Baruklinting kemudian mendekat kepada seorang perempuan di sana."Nyonya, bukankah Nyonya yang memasak semua makanan ini?" tanyanya lemah. Perempuan itu memandang Baruklinting dengan heran. Dia pun segera menutup hidungnya, tidak tahan dengan bau tubuh Baruklinting. "Memang betul, kami kaum perempuan yang memasaknya. Kaum lelaki mendepatkan seekor ular yang besar, cukup untuk dimakan seluruh penduduk desa ini. Maka kami pun memotong-motong daging ular itu dan memasaknya" jawabnya. "Bolehkah aku minta sedikit masakan Nyonya?" tanya Baruklinting. Perempuan itu menggeleng.

"Tidak, tidak. Pergilah kau, tubuhmu kudisan dan bau. Selera makan penduduk desa ini akan hilang karenamu. Pergilah!" perempuan itu pun mengusir Baruklinting pergi.

Untuk ketiga kalinya, Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa. Kali ini dia menuju ke seorang anak laki-laki. "Kak, bolehkah aku ikut makan bersamamu? Maukah engkau membagi sedikit makananmu untukku?" tanyanya. Anak laki-laki itu terkejut, dan langsung pergi tanpa menjawab. Dia merasa takut dan jijik melihat rupa Baruklinting. Baruklinting merasa sedih, karena penduduk desa itu tidak mau berbagi, dan hanya menilai seseorang berdasarkan penampilan luar saja. Semua hanya mementingkan pesta dan senang-senang, tanpa menghiraukan orang yang kekurangan.

Maka Baruklinting kemudian mengambil sebatang lidi dan membawanya ke tengah-tengah pesta. Orang-orang merasa heran atas tingkah lakunya. Baruklinting menancapkan lidi itu di tanah, kemudian berkata dengan lantang, "Hai kalian semua, kalian yang gagah dan pemberani, coba lihat ke sini. Aku mengadakan sayembara bagi kalian : Siapa yang bisa mencabut lidi ini, akan mendapat hadiah!" kata Baruklinting dengan entengnya. Setiap orang di situ terperangah. Mencabut sebatang lidi dari tanah, yang ditancapkan oleh seorang bocah kurus dekil, tentu bukanlah hal yang sulit. Mereka adalah orang-orang yang sehat dan berbadan tegap. Dan setiap orang menginginkan hadiah.Maka satu per satu mulai mencoba mencabut lidi kecil itu. Tetapi anehnya, tidak ada satu orang pun yang mampu melakukannya. Dari anak kecil, pemuda kekar, ibu rumah tangga, sampai kakek-kakek, semua tidak mampu mencabut lidi itu. Lidi tersebut seolah-olah memiliki akar kuat yang menancap di tanah itu.

Ketika setiap orng sudah menyerah, maka Baruklinting pun maju ke depan dan berkata "Wahai semua penduduk desa, ketahuilah, aku adalah utusan dari Yang Kuasa yang sedang bertapa di kaki bukit. Pertapaanku telah kalian ganggu. Kalian memasak dagingku untuk pesta ini. Dan yang lebih memprihatinkan, kalian tidak mau berbagi kepada sesama yang kekurangan. Seharusnya kalian malu, karena menilai anak kudisan tidak layak makan bersama, padahal dia juga ciptaan Tuhan." Setiap orang merasa sadar dan malu."Maka hari ini Yang Kuasa akan menghukum kalian."

Baruklinting mecabut lidi tersebut, dan dari lubang bekas lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan mulai membanjiri pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian menyelamatkan diri. Tetapi terlambat, air sudah menggenangi seluruh daerah itu, menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat itu, dari kata amba yang berarti luas, dan rawa, daerah di sekitar itu dikenal dengan nama Ambarawa. Itulah asal mula nama Kota Ambarawa, yang mengingatkan kita pada legenda Baruklinting dan nasihatnya untuk tidak membeda-bedakan sesama yang membutuhkan pertolongan. (Diceritakan kembali oleh Lucia)

Read More ..

Keraton Demak, Situs Kerajaan yang Hilang


SEJARAH mencatat pada abad XV hinggga XVI terdapat kerajaan besar yang berpusat di Demak dengan rajanya, Sultan Fatah. Situs yang tertinggal, seperti Masjid Agung Demak menjadi buktinya. Tetapi, muncul pertanyaan dimanakah sebenarnya letak Keraton Demak itu?

Pertanyaan itu menjadi wacana yang selalu diperbincangkan dan belum ada yang menemukan jawabannya. Padahal, berbagai penelitihan telah dilakukan. Bukan hanya oleh akademisi, peneliti, arkeolog, tetapi juga mereka yang memiliki minat dan keingintahuan menapak jejak kerajaan Demak.

Hasilnya, banyak pihak yang memiliki pandangan berbeda tentang posisi yang pasti letak keraton itu. Persoalan tersebut menjadi bahan kajian menarik dalam seminar bertema ’’Mengungkap Silsilah dan Situs Kerajaan Demak’’ yang diadakan LSM Gelora di aula Gedung DPRD Demak, kemarin.

Tampil sebagai pembicara Prof Dr Wasino M Hum (guru besar sejarah Unnes) Prof Dr H A Sutarmadi ((UIN Syarif Hidayatullah), Drs H Masrun M Nor MH, Triyanto Triwikromo (Redaktur Suara Merdeka) dan R Sumito Joyo Kusumo. Prof Wasino mengungkapkan, runtuhnya kerajaan Demak terjadi beberapa waktu setelah wafatnya Sultan Trenggono. Saat itu, terjadi konflik keluarga.

Situsnya Hilang

Mengenai letak Keraton Demak, dia mengatakan, situs yang tinggal reruntuhan itu dihancurkan oleh pemerintahan Belanda pada masa Gubernur Jenderal Daendels. Posisi keraton dipakai untuk jalan dari arah Semarang hingga ke Demak. ’’Posisi situs kerajaan itu berada di sebelah alun-alun Demak yang sekarang menjadi jalan raya. Situs tersebut telah hancur sejalan dengan perkembangan jalan daendels yang telah merobohkan bekas keraton.’’

Bekas istana semakin hilang pada akhir abad ke XIX, bertepatan dengan pembuatan jalur kereta api Semarang-Juwana melalui Demak. Pembuatan jalur kereta api tepat melalui pusat kerajaan (keraton) Demak. ’’Jadi situs bangunan kerajaan Demak ini kemungkinan sudah hilang,’’ katanya.

Masrum M Noor mengatakan, telah banyak rekomendasi yang disampaikan para penulis sejarah Demak tentang letak keraton Kesultanan Demak. Di antaranya, hasil penelitian IAIN Walisongo tahun 1975 yang merekomendasikan ada tiga kemungkinan letak istananya. Yakni, di sekitar stasiun kereta api sebagai rumah Sultan Fatah. Sedangkan, keratonnya beradai di Lembaga Pemasyarakatan atau lokasinya berhadapan dengan Masjid Agung Demak.

Hasil penelitian Fakultas Sastra Undip tahun 1994-1995 menyebutkan, lokasi paling relevan itu di sebelah selatan alun-alun menghadap ke utara yang oleh masyarakat disebutkan setinggil.

Hasil penelitian tim pencari pusat dan tata letak pemerintahan kerajanaan Islam menyebutkan hasil tes geolistrik atau pemetaan wilayah melalui udara, posisi kerajaan berada di lahan yang kini dipergunakan untuk kantor Kejaksaan Negeri. Di situ juga pernah ditemukan keramik-keramik keraton. R Sumito Joyo Kusumo mengatakan, tepat keraton berada di tanah yang dipakai untuk SMPN 2 Demak.

Persoalan sejarah Demak yang masih simpang siur, menurut Triyanto Triwikromo agaknya akan menyulitkan dalam mencari bekar keraton. Karenanya perlu dilakukan penelitian arkelogis, historis, geologis dan geografis guna mengungkap misteri tersebut. ’’Termasuk juga perlu penelitian kultural, politis dan ekonomis untuk menyatakan lokasi keraton,’’ terangnya.

Disadur dari Media Sumer

Read More ..