Wednesday, February 28, 2007

Kho Ping Hoo


Asmaraman S Kho Ping Hoo merupakan penulis produktif pada jamannya. Puluhan judul sudah ditulisnya dan umumnya beredar luas di pasaran. Buku karangannya biasanya bersumber dari Sejarah dan dikembangkan dengan cerita Silat dan Filsafat. Banyak petuah dan nasihat kehidupan di sana dan diselipkan dalam cerita silatnya.

Bagi orang Solo dan sekitarnya umumnya tahu belaka buku-buku silat karangan Kho Ping Hoo.

Cerita yang ditampilkan bersumber dari Sejarah China dan dikembangkan dengan imajinasinya berupa cerita silat. Misalnya dua seri yang terkenal adalah Serial Bu Kek Siansu atau Suling Emas dan Serial Pedang Kayu Harum. Tidak terhitung juga cerita lepas dan juga cerita yang bersumber dari Sejarah Nasional.

Saya pernah bertatap muka langsung dengan almarhum di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Ketika itu diadakan suatu pameran dan beliau diundang ke kampus. Dalam kesempatan tersebut dilakukan Tanya jawab seputar hasil karyanya. Waktu itu sekitar tahun 1991 (maaf kalau lupa) dan saya sempat memberikan sebuah pertanyaan seputar penulisan bukunya.



Beliau menjelaskan bahwa semua cerita adalah hasil improvisasi yang mengalir deras dari imajinasinya. Jadi dari sumber sejarah entah China atau nasional, beliau mengembangkan dengan nalarnya sendiri. Sebagaimana penulis lainnya bahwa inspirasi menulis kadang dating kadang juga buntu. Nah ketika datang meski tengah malam sekalipun beliau langsung bangun dan mengetik.

Kalau kita baca bukunya terdapat banyak pesan dan nasihat diantaranya bahwa hidup adalah ibarat kegiatan menanam. Siapa menanam baik bakal menuai bahagia sementara yang menanam kejahatan bakal berakhir sengsara. Beliau juga menegaskan pemahaman mengenai Cinta, Benci, Dendam, Setia, Khianat dan banyak sifat lainnya. Ego seseorang juga banyak digambarkan dan diilustrasikan dalam bukunya.

Hal yang dijunjung tinggi dalam banyak bukunya adalah mengenai sifat ksatria.

Dijelaskan bahwa sekali kita mengucapkan janji/kata maka harus ditepati dengan taruhan nyawa sekalipun.

Beliau lahir tahun 1926 dan meninggal tahun 1994 atau pada usia 68 tahun. Setahu saya beliau tinggal di lereng gunung lawu, dan kebetulan bertetangga dengan saya karena saya lahir dan tinggal di kabupaten yang sama.

Saya tidak tahu persis apakah buku karya beliau didokumentasikan di perpustakaan nasional atau tidak. Namun kalau boleh mengajukan saran baiknya didokumentasikan karena bernila sejarah dan filsahat kehidupan yang tinggi.



Meskipun terdapat banyak penulis besar lainnya Kho Ping Hoo bagaimanapun memiliki cirri khas dan warna tersendiri dalam khasanah penulisan buku. Sebagai orang timur beliau cukup sopan dan terjaga dalam setiap penulisan bukunya. Kita pantas dan wajib menghargai karya-karya besar beliau. Selamat jalan Bapak Kho Ping Hoo, namamu dikenang abadi oleh pecinta karyamu.
Read More ..

Hobi dan Mobil


Bicara hobi tentunya bakal tiada batasnya. Dari sekian banyak orang akan memiliki hobi yang berbeda dan beragam. Saya tidak hendak membahas hobi orang lain, wong hobi-hobi mereka, jadi lebih afdol membahas hobi sendiri-lah. Satat masih SD saya sangat terobsesi akan sosok kendaraan bus. Kelihatnnya gagah dan besar. Bila pulang sekolah saya sempatkan nongkrong di pinggir jalan mengamati bus yang lewat. Tidak jarang sama teman lainnya tebak-tebakan bus apa datang dari arah mana jam berapa.


Bahkan sempat tercetus pengin menjadi sopir bus, he he namanya juga anak-anak kan.

Ketika menginjak sekolah menengah dan terus sampai kuliah minat terhadap kendaraan meluas dan tidak hanya pada bus namun pada mobil umumnya. Dulu kala di sekitar rumah yang memiliki mobil tidaklah banyak. Tahun-tahun itu mobil yang ada di sekitar kita adalah Citreon, Peugeot, Datsun, Daihatsu, Suzuki, Toyota, Fiat maupun Mercy. Tetangga yang punya mobil datsun pick up punya bisnis penyewaan sound system dan kita – anak-anak sering diajak, wuih senangnya bisa naik mobil. Selain Datsun ada juga Chevrolet pick up yang bentuknya mirip, dan kita juga sering naik kendaraan ini, nebeng tentunya.



Saat kuliah kebetulan kita akarab debngan salah satu dosen yang memiliki mobil Daihatsu Hijet, nah pulangnya sering bareng. Saat itu hebat nian nih bisa naik minibus ini. Saat kuliah kita akarab dengan tetangga yang memiliki banyak mobil yakni Chevrolet tadi, Panther, Corolla dan sekian truk. Nah kita sering kebagian naik bila yang empunya mengajak. Kebetulan saya sangat akarab dengan keluarga tersebut dan dianggap keluarga sendiri.

Menginjak bekerja di perusahaan farmasi, kendaraan yang dikendarai , tentunya milik perusahaan adalah kijang dan katana. Kita sering jalan keluar kota seperti Magelang, Purworejo dan Cilacap. Kantor kita ada di Semarang. Wah tahun segitu naik katana dari Semarang ke Cilacap terasa gagah dan keren.

Akhirnya tahun 1992 saya menginjakkan kaki di Jakarta. Nah disinilah gudang dan pusat berbagai kendaraan. Mulai dari yang biasa sampai yang super mewah.

Beragam kendaraan pernah kita turut mengendarai, dari Minibus sampai sedan Mercy mewah. Tahun 1996, untuk pertama kali saya membeli mobil dengan cara kredit. Mobilnya adalah Suzuki Forsa buatan 1989. Mobil ini irit dan bandel. Record-nya adalah empat kali dibawa pulang ke Solo. Hanya setahun megang Forsa dan ganti dengan Starlet 1987. Mobil ini jauh lebih enak dan bandel dari Forsa. Hampir sama recordnya adalh ke Solo 4 kali. Dengan Starlet 1987 bermesin 1000 cc dan modifikasi CDI saya pernah “memecahkan” record 9 jam untuk jarak Jakarta – Solo.

Umumnya saya hanya mengendarai mobil setahun atau paling lama dua tahun. Bahkan ada sebuah mobil yang hanya enam bulan saya pakai dan kemudian ganti lainnya. Sampai saat ini saya sudah 15 kali gonta ganti mobil dimana hanya 1 kali megang Suzuki dan sisanya adalah Toyota. Saya kebetulan pemuja merk berlogo tiga elips ini. Toyota terkenal reliable, handal, tangguh, namun tetap ekonomis.

Ada kejadian cukup unik, ketika saya mudik sekeluarga mengendari Kijang Grand tahun 1992. Saat malam mengatur muatan dan memundurkan mobil terdengar suara ngik ngik. Saya piker hanya karena beban yang berat atau bushing karetnya. Tengah malam kita cabut dan lewat jalur selatan. Sampai Tasikmalaya wah suara ngik-nya makin kencang. Saya sempatkan ngintip ke kolong dan tidak mendapatkan hal aneh. Perjalanan lanjut terus dan di Yogya, kembali saya cek dan lihat ke kolong. Ternyata dudukan shockbreaker depan patah dan shocknya melesak ke bawah. Ternyata dari sini asalnya bunyi dan saya sadar selama ini batang torsi depanlah yang kerja keras menahan beban. Bayangkan mobil dengan muatan penuh penumpang dan barang bisa selamat sampai Solo. Baru paginya saya bawa ke Auto 2000 dan ganti shock depan sebesar 300 ribu dan beres.

Itulah handalnya Toyota.

Saya suka gonta ganti mobil dan kesemuanya mobil tua dan tidak ada yang baru. Mobil terbaru yang pernah saya miliki adalah tahun 1995 sementara yang tertua adalah Hartop 1977 dan Corolla 1978. Bahkan dengan Corolla 1978 saya setiap hari menempuh rute Bekasi – Jakarta selama 1 tahun dan tidak sekalipun mengalami masalah, apalagi mogok. Hebatnya mobil ini pernah menerjang banjir lebih dari setengah ban dan aman lewat. Ilustrasi adalah Toyota Land Cruiser terbaru !!
Read More ..

Friday, February 23, 2007

Sembrono

Pagi ini kebetulan datang pagi dan kita sempatkan mengetik kejadian apa hari ini. Yang jelas kondisi jalanan sekarang makin ramai dan jumlah kendaraan makin banyak. Sebagai gambaran bila dua tahun lalu bila kita berangkat pagi sekali sehabis Subuh maka jarak 32 kilometer dapat ditempuh dalam waktu 40 menit. Kenapa sangat cepat, karena jalanan masih lengang dan lancar. Bukan karena jumlah kendaraan masih sedikit namun jarang sekali orang kerja rela berangkat pagi. Mending berangkat jam 7 atau 8 pagi meski tahu belaka itu adalah jam tersibuk dan termacet orang berangkat kerja. Pagi ini waktu tempuh melorot menjadi 60 menit, hmm waktu dua tahun kita menjadi makin lambat 20 menit untuk jarak yang sama.

Di lampu merah membeli koran pos kota dimana penjaja koran dan minuman sepagi apapun kita di jalan mereka sudah di perempatan, hmm dimana tidurnya ya. Salah satu headlines adalah masih seputar beruntunnya bencana tanah air. Kali ini sebuah truk terbakar ketika berada di atas kapal. Akibatnya kapalpun ikut terbakar dan ada 16 meninggal dan 40 hilang. Sungguh suatu peristiwa yang mestinya tidak seharusnya terjadi. Kenapa sebuah kendaraan truk bisa terbakar, jelas ini bukan karena desain truknya atau apa, namun lebih karena kelalaian manusia.

Sembrono itulah yang acap kali menjadikan kita geleng kepala. Sering di jalan tol kemacetan luar biasa parah dan bermenit atau berjam-jam kendaraan merayap, dan sejauh yang saya alami kadang masalah sepele, truk mogok di tengah jalan. Bayangkan, hanya karena factor kelalaian manusia yang tidak merawat truknya dengan baik, lantas mogok, dan dampaknya harus dipikul ratusan orang lain.

Coba susuri jalanan di tengah kota Jakarta, betapa banyak gerobak penjual makanan, lapak-lapak yang menyita badan jalan dan berbagai “aktifitas bisnis” kaki lima. Semuanya akan terpaksa membuat orang lain repot. Pejalan kaki harus turun ke jalan dan berbahaya terserempet kendaraan, antrian macet kendaraan makin parah dan semrawut. Kesembronoan pedagang kaki lima dan juga tentunya oknum pemda adalah factor utama penyebabnya.

Jadi nampaknya sifat sembrono dan lalai sangat berpotensi – atau sudah menjadi budaya dan kultur kita. Mulanya adalah lingkungan kehidupan kota yang makin keras, banyaknya pengangguran, semrawutnya pengelolaan tata ruang beserta kegiatannya, makin egoisnya setiap orang, watak menjadi apatis dan semau gue yang ujungnya perilaku menjadi cuek, asal gue duluan yang sekaligus pada akhirnya tercermin pada perilaku sembrono tadi.

Jadi asalnya ini bukan sifat dominan kita namun lebih karena lingungan dan kondisi sekitar kita sehari-hari. Masalahnya lagi perilaku ini nampaknya bakal tidak mudah berkurang atau hilang manakala tatanan kehidupan kita masih seperti sekarang.

Hal yang akan erat kaitannya dengan perilaku sembrono dan cuek adalah biaya social yang akan semakin tinggi. Kembali pada contoh perilaku kendaraan truk, trailer dan kendaraan berat lainnya yang tidak diatur jam edarnya mengakibatkan entah pagi, siang atau malam memacetkan jalan tol karena lajunya yang lamban, ukurannya yang besar memenuhi jalan. Berapa biaya social yang harus kita tanggung atas waktu, tingkat stress dan tenaga karena kemacetan. Tidak terelakan adalah timbulnya biaya ekonomi sekaligus. Coba berapa ratus liter bensin dibakar percuma setiap jam karena antrian tadi, dan berapa tinggi dampak emosional pengendara.

Kembalikanlah semuanya pada jalurnya, just put it back on the track. Kembalikan jalanku, kembalikan trotoarku, tamanku, ruang hijauku dan juga kenyamanan hidupku, demikian teriakan kesal kita. Bisa kita mulai dari diri sendiri dan tentunya himbauan pada pemegang kuasa dan wewenang atas kota ini, atas jalan ini atau atas tanah ini. Masih adakah sedikit asa dan peduli??
Read More ..

Tuesday, February 20, 2007

Hari-hari Ini

Hari-hari ini kita masih diliputi dengan berbagai peristiwa yang memprihatinkan. Usai bencana satu disusul bencana lain dan terjadi di daerah lain pula. Belum kering air mata karena bencana banjir, disusul melambungnya harga sembako, bencana angin putting beliung datang dan memporak-porandakan Yogya dan sekitarnya. Angin beliung juga merembet ke daerah Jakarta Selatan dan menyapu bangunan yang ada.Yogya yang masih belum pulih karena bencana gempa beberapa waktu lalu kembali dilanda bencana lainnya. Jakarta juga silih berganti dilanda bencana. Entah sebagai akibat langsung atau tidak langsung masyarakat harus menanggung harga sembako yang meroket tajam. Harga beras yang merupakan makanan pokok kita menyentuh harga tertinggi 8000 ribuan per kilo. Apakah harga akan terus melambung tergantung situaai pasar dan supply demand-nya. Ada yang mengatakan harga beras masih akan terus fluktuasi sampai tiba panen raya satu atau dua bulan mendatang.

Dari issue global kita baca bahwa Airbus berencana merumahkan sekitar 12 ribu dari sekitar total 50 ribu karyawannya. Perusahaan kolaborasi German – Prancis tersebut tidak kuat menangung biaya operasional yang terus naik sementara sisi pendapatan cenderung turun. Kita tahu belaka bahwa tidak banyak perusahaan penerbangan di dunia ini. Konon pemain utamanya ya seputar Boeing dari Amerika dan Airbus dari Eropa. Kita belum mendengar apakah Boeing juga terkena dampak dari lesunya industri global

Dari sector otomotif giliran Daimler Chrysler yang megap-megap. Perusahaan otomotif terbesar ketiga dunia tersebut bersiap merumahkan sekitar 13 ribu dari total 85 ribu karyawannya. Kabarnya Chrysler tidak kuat menghadapi serbuan otomotif Jepang yang makin merajai di pasar Amerika. Konon lagi, General Motor, perusahaan otomotif terbesar dunia berniat mengakuisi Chrysler.

Dari berbagai berita dan fakta baik nasional maupun global tersebut terungkap bahwa sedang terjadi suatu siklus menurun. Bahwa kita semua sepakat terdapat siklus naik dan turun yang merupakan sesuatu yang alamiah dan mengacu pada hukum alam. Apakah alam dan dunia kita memang sudah tua, rasanya benar belaka.

Bertubinya bencana nasional - kita tidak hendak membahasnya saat ini. Barangkali lebih bijak kita masing-masing merenung dan instrospeksi guna perbaikan di masa mendatang.

Kemerosotan kapasitas industri global bagaimanapun pantas dicermati. Apakah ini merupakan dampak dari makin menguatnya industrialisasi kubu China, konsistensinya kubu Jepang serta makin merosotnya potensi kubu Eropa dan Amerika. Kita belum tahu persis hal ini dan terdapat banyak parameter di dalamnya. Terlampau komplek memikirkan sebaran berbagai industri pada skala global.

Hari-hari ini kembali kita dituntut untuk makin bijak dan arif. Bahwa kita, manusia sebagai khalifah beserta kenikmatan duniawi yang dianugerahkan kepada kita harus coba di-definisikan ulang. Sebagai insani atau makhluk paling berkuasa di muka bumi ini kita wajib kembali menata mindset. Kadang kita dianugerahkan kekuatan dan kekuasaan yang besar. Perlu diingat bahwa ini hanya sementara dan tiba saatnya terenggut dari tangan kita. Itulah berbagai bentuk teguran maupun kasih sayang dari Sang Pencipta atas barangkali arogansi kita semua.

Hari-hari ini begitu banyak pelajaran dan gambaran nyata yang ditunjukkan Sang Penguasa kepada kita semua. Hendaklah kita menyadari bahwa betapa hebatnya kiprah kita namun tetap ada batasnya. Terdapat banyak hal yang jauh dan diluar jangkauan umat manusia. Kepada-NYA lah mestinya kita tunduk dan patuh dalam segala tindak-tanduk. Otak dan akal pikiran yang kita banggakan pada dasarnya terlampau sedikit dibandingkan Ke-ESA-an-NYA. Tidaklah dianugerahkan kepada umat manusia kecuali hanya sedikit akal dan pikiran, demikian salah satu agama mengajarkan.
Read More ..

Friday, February 16, 2007

Rakyat Kecil Menjerit

Entah bagaimana rakyat kecil mesti menjerit. Bagaimana tidak menjerit bila harga beras terbang ke harga 7500 rupiah per liter. Beras yang dulu 4000 rupiah sudah dapat beras “mewah” sekarang harganya melejit dan harga tersebut dapat beras yang ada hitam-hitamnya. Entah kepada siapa mesti menjerit rakyat kecil yang antre beras dan pulang dengan tangan hampa karena operasi pasar diborong oleh pedagang. Hmm inilah fakta bahwa ternyata rakyat kita kadang kurang empati pada penderitaan sesame. Jelas operasi pasar dimaksudkan untuk meredam terbangnya harga beras karena supply-nya terbatas ee diserobot pula oleh pedagang. Mana operasi pasar mesti ada pembelian minimum yang 20 literlah atau 10 literlah. Ya tentu saja pedagang akan menang karena berduit dan niatnya untuk dijual lagi. Entah harus bagaimana menjerit rakyat kecil antre beras dengan uang 20 ribu di sakunya. Pulanglah ia dengan tangan hampa.

Bagaimana harus menjerit ketika gelombang tsunami menghajar daerah Aceh. Bagaimana rakyat yang asetnya hanya rumah sederhana dan sedikit perabot habis tersapu gelombang nan ganas. Kita dengar masih banyak rakyat yang rumahnya belum dibangun karena banyak hal. Entah terbatasnya dana atau penanganan yang cenderung lamban, yang jelas masih banyak rakyat korban tsunami menderita.

Bagaimana menjerit rakyat korban gempa Yogya. Ribuan rumah luluh lantak oleh gempa bumi dan masih banyak rumah roboh belum berdiri lagi. Ribuan rakyat korban gempa menderita dan butuh uluran tangan, namun bantuan belum semuanya merata. Yang jelas masih terlampau banyak rakyat butuh bantuan.

Bagaimana menjerit warga Jakarta dan sekitarnya diterpa banjir besar dimana 80% area tenggelam banjir. Aset sebagian rakyat yang relative kecil berupa rumah petak barangkali hilang terbawa arus air. Masih ribuan rakyat korban banjir membutuhkan uluran bantuan.

Kita tahu belaka betapa jeritan demi jeritan keluar dari tenggorokan rakyat nan lapar. Mereka tidak berdaya dan sungguh butuh bantuan apa daya tak kunjung datang. Salahkah mereka menjadi rakyat kecil. Apakah ini pilihan mereka menjadi bagian dari Negara yang konon gemah ripah namun saat ini hutangnya menggunung.

Kepada siapa lagi rakyat kecil mesti menjerit dan meratap. Apakah setelah berbagai bencana alam dan meninggalkan ribuan rakyat menderita lantas semuanya terlupakan. Apakah kita sekarang merasa segalanya sudah seperti sediakala dan tidak ada masalah lagi. Lantas harus bagaimana jeritan ribuan rakyat kecil di tempat terpencil jauh dari penguasa.

Apakah bathin dan moral kita tidak tersentuh betapa ribuan dan jutaan rakyat sebenarnya hidup senin kamis. Jangankan bisa makan kenyang, makan sekali sehari-pun terlampau banyak yang tidak mampu. Kenapa tidak mampu apakah mereka malas, TIDAK, mereka adalah korban pembangunan. Lho kok pembangunan justru melahirkan korban, iya karena pembangunan yang tidak merata dan tidak menyentuh rakyat kecil.

Kiranya apakah yang sudah dibangun guna memfasilitasi hidup dan penghidupan mereka. Oke mudahkah mereka mencari kerja, SULIT sekali. Bahkan buat sekolah saja banyak yang sudah tidak mampu bayar uang pangkal.

Ketuklah pintu hati kita semua dan bukalah mata bathin akan begitu banyak penderitaan rakyat kecil. Mereka saat ini menjerit perih. Jerit yang tidak pernah bersuara dan apalagi terdengar. Dengarkan dengan mata bathin.
Read More ..

Thursday, February 15, 2007

Kita Sehat !

Tidak ada salahnya kita coba sharing mengenai pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan kita. Bagaimanapun kesehatan adalah segalanya. Hanya dengan kesehatan kita dapat bekerja dan beraktifitas serta menikmati hidup.Petuah dari nenk moyang kita adalah bahwa kita ini makan untuk hidup dan bukan hidup melulu untuk makan. Artinya jelas bahwa makanlah secukupnya guna mendukung kebutuhan energi yang kita perlukan. Bila hidup untuk makan, wah sempit sekali ya focus kita, masak hidup yang luas ini hanya dimaksudkan untuk makan.

Kalau dari petuah agama ada yang mengatakan bahwa induk dari segala kesehatan adalah sedikit makan. Lho agak aneh juga ya bahwa kita sebaiknya makan dalam jumlah sedikit. Bahwasannya maksud dari nasihat ini kurang lebih ya kita makanlah secukupnya. Konon lagi idealnya isi perut kita ini terbagi menjadi sepertiga makan, sepertiga air/minum dan sisanya adalah udara/kosong. Bila kita sinkronkan bahwa hendaknya kita makan pada saat sedang enak-enaknya makan atau menjelang kenyang. Toh makan terlalu kenyang juga tidak enak.

Memang tidak salah bila kita coba perhatikan berbagai petuah baik dari nenek moyang maupun ajaran agama. Misalnya disinyalir bahwa sumber dari segala penyakit adalah berasal dari perut atau lambung kita. Rasanya ini benar belaka dimana lambung adalah tempat dimana segala makanan dan minuman masuk melalui mulut kita.

Ada lagi yang memberikan nasihat bahwa sebaiknya janganlah mengkonsumsi daging babi. Kenapa, ternyata daging babi mengandung bakteri yang berpotensi membuat perut sakit.

Janganlah terlalu banyak makan garam karena bisa menyebabkan kepala kita sakit/pusing. Janganlah memasak dengan bumbu vetsin karena bisa menyebabkan kanker. Konon lagi vetsin atau bumbu penyedap masakan hanya dikonsumsi di Negara kita, sementara di Negara maju tidak ada tambahan bumbu penyedap ini.

Jangan mengkonsumsi gula berlebih karena dapat berdampak pada sakit gula. Hmm konon lagi penyakit gula atau diabetes ini adalah penyakit yang sangat kejam karena bisa menjalar dan menyebabkan sakit organ jantung, ginjal, hati dan organ lainnya.

Janganlah terbiasa mengkonsumsi obat-obatan meksipun itu obat bebas. Saya pernah agak kecanduan dimana bila kepala pusing maka segera minum obat sakit kepala semacam bodrex dan biasanya sembuh. Namun setelah menyadari dampak dari konsumsi obat terlalu sering akan membebani ginjal dan ketergantungan saya hentikan kebiasaan ini. Bila sakit kepala saya coba rilex, memijit sudut bahu dan mencoba menggerakan leher secara sistematis dan juga banyak melakukan sujud. Gerakan sujud dimaksudkan agar aliran darah lancar karena posisi jantung lebih tinggi dari kepala. Alhasil kiat ini berhasil dan sayapun terbebas dari konsumsi obat.

Saya juga pernah mengalami sakit lambung parah. Anehnya bukan lambung saya yang terasa sakit namun justru keluar keringat dingin di kening, kepala agak berkunang-kunang dan beberapa kali seperti mau pingsan. Sebelumnya saya rajin mengkonsumsi vitamin C dosis 1 gram per hari. Akhirnya dokter internis setelah mendiagnosis menyimpulkan lambungnya sakit. Saya diminta menghentikan konsumsi vitamin C dan diberikan obat. Hasilnya saya sehat sediakala.

Kita sepakat bahwa kesehatan kita sangatlah mahal dan tidak ternilai. Untuk itu tiada salahnya bila kita selalu waspada dan menjaga kesehatan dengan pola makan dan olah-raga yang cukup. Kembali pada slogan tadi bahwa induk dari kesehatan adalah sedikit makan maka hal ini nampaknya bisa menjadi panduan kita. Dalam badan yang sehat terkandung jiwa yang sehat, begitu slogan lainnya.
Read More ..

Wednesday, February 14, 2007

Kemana 20 tahun mendatang ?

Kemana dan bagaimana arah kita lima sampai dua puluh tahun mendatang. Kutipan di bawah saya coba ambil dari internet.Fraksi-PKS Online: Kondisi keuangan negara mengalami equity minus. Utang negara diperkirakan telah mencapai Rp 1.300 trilyun. Sementara aset kekayaan negara hanya Rp 851 trilyun. Sehingga terdapat equity minus lebih dari Rp 400 trilyun. APBN-Perubahan tahun 2007 harus diproyeksikan pada sektor-sektor penting yang berdampak langsung bagi kehidupan masyarakat. Pengirim: Moses Caesar Assa Update: 03/07/2006 Oleh: Hartono

Konon beban cicilan hutang besarnya sekitar sepertiga sampai setengah dari APBN. Hmm luar biasa ternyata pengelolaan uang Negara ini. Secara awam saja bagaimana sebuah katakanlah rumah tangga dapat sehat dan mencapai taraf kemakmuran bila anggaran setiap bulan atau tahunnya dibebani cicilan hutang setengahnya. Apalagi ini sebuah pengelolaan uang Negara yang tentunya dampaknya menyangkurt langsung 200-an juta rakyat kita.

Pada kesempatan lain, di TV kabel yaitu Quick Channel ditayangkan sebuah acara Bincang Sugeng Saryadi dengan mengundang Ichsanuddin – mantan anggota DPR, Chatib Basri – dosen UI dan Cristianto Wibisono – mantan Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia. Dalam bincang bincang tersebut dibahas bagaiman gambaran Indonesia lima sampai dua puluh tahun mendatang.

Tidak ada yang baru dalam perbincangan tersebut meskipun masing-masing dengan latar belakang keahliannya menjabarkan idealnya bagaimana kebijakan nasional menyongsong era dua decade mendatang.

Dalam perbincangan tersebut konon kita termasuk top 20 negara dunia dlam hal potensi ekonominya. Kalau hanya potensi ekonominya barangkali iya, namun bagaimana dengan sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya ekonomi tersebut. Bahkan kita mesti hati-hati di sini dan wajib menginventaris kembali berapa sesuangguhnya “SISA” asset dan sumber daya yang kita miliki, jangan-jangan sudah sangat tergerus jauh dan tinggal ampasnya.

Kembali kepada informasi di atas dimana hutang kita besarnya jauh di atas asset kekayaan Negara. Bukankah memang benar kita artinya bangkrut alias gulung tikar. Sebagai Negara ternyata kita telah gagal dan harus gulung tikar. Namun bagaimana kongkritnya kebangkrutan kita ini. Mestikah kita diakuisisi atau dimerger oleh katakanlah Negara pemberi hutang atau Bank Dunia.

Kembali kepada kebiasaan dan kultur kita menyusun APBN yang mana konon dirumuskan terlebih dulu pengeluarannya baru dipikirkan pemasukannya, lha kurangnya ngutang. Begitulah gambarannya kenapa hutang kita makin membesar dan bukannya makin mengecil, karena lebih memikirkan pengeluarannya.

Guna mengurangi hutang kita sederhananya ya jangan ngutang lagi dan segera kembalikan dan cicil hutang tadi. Kalau ngemplang dan pasang badan hmm bakal sangat serius dampaknya bagi kiprah Negara secara global di waktu mendatang. Lagi-lagi inilah penyakit mendasar kita, sudah tahu sejelas-jelasnya dampak hutang masih terus dilakukan. Polemik hutang Negara ini memang menjadi subject sekian lama dan panjang lebar argumennya oleh berbagai elemen bangsa namun tetap saja dilakukan. Capek dehh.

Kembali kepada perdebatan para pakar tadi bagaimana Negara ini dibawa dan diarahkan lima sampai dua puluh tahun ke depan. Memang cukup ramai dibahas termasuk seputar target kualitatif maupun kuantitif guna haluan membangun ke depan.

Whatever-lah, simpelnya adalah mulailah detik ini juga dengan disiplin anggaran dan kembali ke slogan nenek moyang kita, jangan besar pasak daripada tiang. Jangan selalu besar pengeluaran daripada pemasukan, dan bila pengin memperbesar pengeluaran maka pastikan dan perbesar dulu pemasukannya, nah mumet kan ! Sama dong.
Read More ..

Tuesday, February 13, 2007

Berani Mengaku Salah

Mengaku salah sungguh jarang terjadi di negara ini. Ketika banjir raya melanda Jakarta tempo hari tak seorangpun mengaku bersalah. Semua merasa tidak salah dan menyalahkan alam sebagai biangnya. Hmm aneh yaa padahal alam justru memberikan kita berbagai kehidupan ini. Ketika pembangunan jalan terbentur pembebasan lahan dan warga berlomba menutup jalan yang sedang dibangun maka tidak ada yang mengaku salah dan dibiarkan saja terbengkelai, kalau ditanya enteng dijawab warga tidak setuju harga lahan dan seterusnya.

Apabila mengaku salah lazimnya seseorang memang harus mundur dan kehilangan jabatan. Sudah menjadi semacam kultur bahwa hampir mustahil orang dinegeri ini rela melepaskan kursi empuk yang sudah diduduki sekian tahun. Secara riil bisa saja ini dimengerti karena begitu lepas dari jabatan empuk, lantas mereka harus kerja dimana. Berbeda jika satu atau dua pejabat yang katakan sudah memiliki bisnis mungkin siap mundur dan menekuni bisnisnya manakala terbentur suatu kesalahan. Namun bagaimana dengan sebagian besar pejabat/pegawai yang memang hanya itu profesinya semata. Normalnya bahwa siapapun tidak siap hidup susah dan mati-matian bertahan di kursi empuk yang didudukinya.

Lebih sulit lagi bila bentuk kebijakan atau suatu keputusan diambil secara kolektif baik oleh suatu institusi pemerintah atau swasta, sementara itu keputusan tadi berdampak terhadap masyarakat luas dan lingkungan. Keputusan membangun busway misalnya memiliki dampak lingkungan. Juga puluhan atau ratusan keputusan atau pemberian ijin perumahan baru termasuk di atas lahan serapan air atau situ/danau. Sebaliknya bantaran kali yang dihuni ratusan rumah liar justru dibiarkan atau kurang tegas menertibkannya.

Mengaku salah juga mustahil dilakukan oleh mereka-mereka yang umumnya bermain “safe” namun ketika terdapat keuntungan dari suatu keputusan/proyek berlomba saling menerima. Contoh gampangnya terjadi pada ijin trayek angkot yang terus ditambah karena adanya ijin berarti ada uang masuk/sogokan atas trayek yang dibuka. Ketika masyarakat mengeluh macetnya jalan karena membludaknya angkutan maka terbukti tidak ada baik orang atau institusi bersuara merekalah yang memberi ijin dan seterusnya.

Itulah warna birokrasi kita yang selalu tidak bisa dipahami oleh logika maupun masyarakat luas. Wewenang dan kuasa ada pada mereka namun dampak yang merugikan dari produk atas wewenang tersebut sering tidak mereka akui. Ada lagi hal mendasar yang bisa kita suarakan, sederhana saja, kemana perginya trotoar bagi pejalan kaki? Kenapa untuk berjalan kaki saja susahnya setengah mati. Mengapa tidak ada jalur khusus buat sepeda, motor roda dua, truk berat dan trailer, kendaraan pribadi ataupun bus serta angkutan umum. Rasanya segala jenis kendaraan dan pejalan kaki ditimpali kaki lima tumplek blek di jalur yang sama. Ya kemana lagi dampaknya kalau tidak menjadi macet dan semrawut.

Baiklah kita susun urutannya barangkali begini, Negara kita pada awalnya kaya raya, dikelola secara salah dan dikorupsi, pejabat dan pegawai negeri merasa nyaman, bekerja enak dan gaji tiap bulannya serta mustahil mesti mengundurkan diri meskipun berbuat salah. Sementara tatanan ruang dan fisik buruk, sumber daya alam perlahan habis, basic industri tidak ada, konsumsi tinggi, gengsi, sementara pendapatan terbatas ~ maka korupsi lagi. Berikutnya pengangguran makin tinggi, hidup susah, kondisi fisik di perkotaan semakin semrawut, semua berebut menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan golongan, semua bermain aman dan tidak pernah mau mengakui sesuatu dampak merugikan sebagai output dari kebijakannya dan seterusnya.

Kita hampir meyakini bahwa budaya mengaku salah dan mundur dari jabatan akan menjadi barang langka di negara ini entah sampai kapan, sampai segala permasalahan sosial terakumulasi dan mandeg total. Setelah itu kita semua akan miris memikirkan apa kelanjutannya.
Read More ..

Monday, February 12, 2007

Bisnis di Tanah Air

Saya pernah berkesampatan ngobrol dengan seorang Presdir sebuah perusahaan jasa di Jakarta. Ada juga obrolan lain dengan seorang Direktur perusahaan pemegang license produk Safety. Dari kedua perbincangan yang beda waktu sekitar 4 tahun tersebut tersirat pesan bahwa apapun kondisi yang terjadi di tanah air, melakukan bisnis di Negara ini tetap lebih menarik dan relative mudah ketimbang di Negara China, Singapura, Taiwan, Eropa bahkan Amerika Serikat. Demikian kesimpulan ini diungkapkan oleh praktisi bisnis di bidangnya dimana mereka telah mengecap jatuh bangun dalam dunia bisnis.

Banyak hal dikemukakan oleh keduanya bahwa bagaimanapun kondisi tanah air yang beruntun ditimpa bencana maupun kondisi birokrasi nan pelik tidak menyurutkan semangat pebisnis. Ternyata dibalik berbagai hal yang kurang “ramah” pada kondisi bisnis terdapat banyak hal yang cenderung “flexible” dalam menyiasati berbagai urusan bisnis. Barangkali bisa dicontohkan begini, katakanlah memang terdapat praktek korupsi di berbagai sudut. Korupsi tentunya membebani biaya bisnis dan menjadikan bengkaknya biaya produksi misalnya. Namun dengan korupsi misalnya kebiasaan suap dalam bisnis bisa melakukan terobosan. Katakanlah ada pebisnis mengimpor sampah dari China. Dengan proses manipulatif sampah berhasil masuk dan “dijual” di dalam negeri. Dengan suap pula berbagai barang import yang direndahkan nilainya berhasil clearance dan masuk ke gudang importer.

Bahwa kondisi dan suasana birokrasi yang ruwet dan hiruk pikuk tidak semata meruwetkan urusan bisnis namun sekaligus sebagai ajang bermain di air keruh, begitu kira-kira bahasa kasarnya. Kenalan tadi menjelaskan bahwa saat ini apapun bisa dibisniskan di tanah air asal tahu caranya. Tentu saja caranya apalagi kalau bukan cara KKN yang akan bisa meloloskan segala urusan asalkan disediakan kick off money secukupnya.

Belum lama kita dapat mengetahui misalnya di Amerika Serikat yang namanya mengkonsumsi ayam hanyalah sebatas dagingnya saja. Jeroan, kepala, kaki, kulit dan sisa lainnya dianggap waste dan harus dibuang. Demikian ketat aturan dan perlindungan konsumen di sana sehingga pebisnis ayam harus membuang waste tadi. Kalau di kita wah yang tadi namanya waste itu sangat laku dijual. Coba datang ke pasar tradisional dan di sana banyak dijual khusus ceker ayam, kepala, leher dan jeroan ayam. Jadinya di Negara kita mudah kan menjalankan bisnis jual daging ayam.

Contoh lain misalnya di Prancis, konon bila seorang konsumen merasa dirugikan oleh suatu produk dan terbukti benar maka pada hari yang sama produsen yang telah merugikan konsumen tadi harus ditutup, kasarnya seperti itu. Bahwa perlindungan konsumen begitu kuat dan tanpa kompromi mengharuskan dunia bisnis bekerja ekstra keras dan sungguh-sungguh. Berbeda di tempat kita, meskipun di Koran setiap hari puluhan konsumen dirugikan oleh produsen namun apa dampaknya, bisa dipastikan semuanya berjalan biasa saja. Jadi alangkah enaknya berbisnis di tanah air karena ketiadaan perlindungan konsumen yang tegas.

Rasanya masih terlampau banyak segala hal yang berbau abu-abu dan samar sehingga bisa dimanfaatkan dan dipakai berkelit manakala terjadi suatu dispute misalnya.

Sehingga kenapa komentar dan kesimpulan dari dua praktisi yang saya kenal tadi tidak sepenuhnya salah bahwa memang enak melakukan bisnis di tanah air ini. Semua proses bisnis bisa dimanipulasi dan diakali tanpa takut hukuman atau sanksi.
Read More ..

Wednesday, February 07, 2007

Kerugian Banjir

Menyusul bencana banjir yang melanda Ibukota dan sekitarnya, Bappenas melalui ketuanya mengatakan bahwa nominal kerugian dari bencana tersebut di atas 4 triliun rupiah. Hmm sungguh jumlah yang tidak sedikit. Sementara ada berita lainnya bahwa potensi kerugian yang ditanggung asuransi mobil bisa berkisar 400 milyar rupiah dan seterusnya. Perkiraan kerugian tersebut dikeluarkan sangat cepat dan besar kemungkinan bakal berbeda dengan jumlah sebenarnya. Bila 70% area Ibukota terendam banjir plus area sekitarnya sementara jumlah penduduk Ibukota saja 12 juta orang, katakan ditambah daerah sekeliling jumlahnya menjadi 18 atau 20 juta maka dapat diketahui berapa sebenarnya jumlah masyarakat korban banjir.

Berikutnya terdapat informasi bahwa uang beredar nasional sekitar 80% berada di Jakarta dan sekitarnya maka makin menambah ngeri berapa sebenarnya jumlah kerugian. Masyarakat luas tentunya belum bisa menyuarakan berapa kerugian material dan juga immaterial yang ditanggung karena yang penting jiwanya dulu selamat. Prioritas pertama adalah keselamatan jiwa dan berikutnya baru bagaimana survival bertahan hidup dan menanggulangi ancaman berbagai penyakit bawaan banjir.

Coba simulasikan bila sebuah keluarga menengah dengan katakan berbagai perangkat rumah tangga, elektronik dan sebagainya, rasanya kalau hanya 20 sampai 30 juta saja ada. Belum termasuk mobil, motor dan asset lainnya. Sehingga katakanlah kerugian satu rumah bisa mulai dari puluhan juta sampai mendekati milyar. Hal ini kenapa jumlah 4 triliun saja nampaknya terlampau kecil untuk jumlah kerugian sebenarnya dari masyarakat korban banjir ini.

Belum termasuk kerugian non material seperti kepanikan, cemas, trauma, was-was dan berbagai ketidaknyamanan lainnya yang tidak bisa dinilai dengan sekedar besarnya nominal uang. Ada lagi potensi kerugian baik dari masyarakat atau pelaku bisnis karena tertundanya dan gagalnya transaksi bisnis atau bahkan obyek transaksi itu sendiri.

Inilah berbagai bentuk dari kerugian hilangnya asset masyarakat karena bencana alam yang di luar jangkauan untuk menghentikannya. Meski konteks bencana alam ini patut lebih dalam dibahas karena sebagaimana diketahui bersama bahwa banjir semacam ini yang juga terjadi sebelumnya mestinya bisa dikelola dengan baik.

Lantas kira-kira bentuk kompensasi apa yang bakal diterima masyarakat setelah banjir usai. Nampaknya bakal tidak ada kompensasi apapun, kecuali yang asetnya dicover asruransi. Alih-alih bakal terkompensasi bahkan masyarakat mesti bersiap bekerja lebih keras lagi karena menghadapi infrastruktur fisik yang semakin rusak. Jalanan makin parah, kemacetan semakin runyam, kondisi dunia bisnis terpukul, lapangan kerja tetap susah dan bertahan hidup menjadi semakin berat.

Bukankah kebutuhan dan potensi belanja tidak berkurang dan bahkan bertambah pasca banjir. Bagi yang membiayai anak sekolah ya tetap, biaya transport ya tetap, harga barang-jasa justru berpotensi naik karena terganggunya distribusi dan logistic. Belum harus memperbaiki atau mengganti berbagai perabot dan peralatan elektronik semacam TV, tape dan lainnya.

Nampaknya berat nian biaya ekonomi dan biaya social yang ditanggung masyarakat Jabodetabek dari waktu ke waktu. Kita perkecualikan sekelompok kecil komunitas superkaya yang kena banjir namun tetap bisa nyantai di hotel, bisa beli mobil baru lagi, peralatan elektronik baru dan sebagainya.

Akhirnya hal ini patut menjadi perenungan siapapun baik pemerintah, pemegang kuasa maupun kaum elit bahwa bencana apapun yang menimpa tetap masyarakat banyak yang paling menanggung derita. Masyarakat banyak yang notabene adalah rakyat itu sendiri sekali lagi harus menelan pil super pahit dari kehidupan yang kadang tidak fair ini.
Read More ..

Tuesday, February 06, 2007

Banjir

Bencana banjir besar lima tahunan di Jabodetabek, Banten dan Jabar menginjak hari keenam. Tidak penting ini hari kelima, keenam atau ketujuh, yang jelas bencana banjir kembali datang dan menghanyutkan harta, benda bahkan jiwa pun melayang. Banjir kali ini relative dasyat datangnya dan begitu cepat. Musim kemarau panjang sebelumnya dan musim hujan yang agak terlambat menambah panic dan tidak terduganya bahwa air bah datang bak meteor, menyapu segalanya sampai ketinggian 8 meter. Memang di televisi ketinggian air dikabarkan semeter sampai empat meter, tapi temen kantor saya mengalami banjir dengan kedalaman 8 meter, karena rumah lotengnya yang didesain tinggi masih kebanjiran setinggi dengkul! Memang rekan kita ini tinggal di bantaran kali yakni daerah Condet, Jakarta Timur, namun tidak urung debet air begitu diluar dugaan. Praktis segala peralatan elektronik, perabot rumah habis tersapu air dan memaksa penghuni mengungsi ke area lain.

Secara arif kita bisa berujar, toh semuanya mengalami banjir dan rata penderitaanya mengingat 70% Jakarta dan sekitarnya terendam air. Bekasi misalnya dari 12 kecamatan 11 diantaranya terendam. Jakarta dengan sekitar 13 kali besar yang berhulu di Bogor dan sekitarnya berlomba mengirim air bah ke daratan di bawahnya. Bila diurutkan kali tersebut berasal dari pegunungan sekitar Bogor, mengalir ke bawah ke Depok, Jakarta selatan, pusat terus ke Utara, Barat dan berakhir di laut Jawa. Apa pasal, air bukannya segera berlalu ke laut namun merambah dan main-main ke hilir sungai yang notabene dihuni pemukiman padat penduduk. Seolah banjir merupakan takdir belaka dan kita diminta untuk sabar dan menerima pasrah kedatangan derasnya air bah tersebut.

Banyak pengamat yang menulis baik di koran atau bicara di televisi dengan panjang lebar mengenai musibah banjir ini. Berhubung kejadian banjir merupakan agenda “rutin” tiap tahun yang datang tiap musim hujan tiba maka gambarannya nampak seputar itu-itu saja dan semuanya dipaksa memaklumi belaka. Dimulai dari berkurangnya daerah resapan air di Puncak, Bogor, karena dibangunnya banyak vila milik orang kaya di Jakarta. Ditambah area bantaran kali dipakai dan didirikan bangunan rumah kaum yang terdesak kejamnya ibukota yang otomatis membuang sampah, mempersempit badan sungai dan menghambat pengelolaan sungai dan seterusnya. Salah kaprahnya tata ruang kota yang mana setiap inchi tanah dibisniskan dan dibangun entah rumah atau bangunan komersial yang intinya adalah bisnis dan perburuan profit untuk sebesar-besarnya kemakmuran pengusaha dan pemberi ijin tadi.

Praktis ketika diguyur hujan jangan kata lebih dari tiga jam, bahkan satu jam hujan deras saja sudah membuat lumpuh kota megapolitan ini karena tergenangnya jalan dan macetnya kendaraan yang melewatinya. Lengkap sudah segala aspek terciptanya banjir akbar dan penenggelaman segala yang ada. Dengan begitu komplek kondisinya dan begitu sering terjadinya sehingga seolah menjadi semacam pembenaran bahwa banjir tak terelakan.

Bila kita coba melihat bahwa negeri Belanda yang mayoritas daratannya atau hampir semua daratan- berada di bawah permukaan laut yang logisnya tenggelam namun tidak, maka yang namanya air ternyata dapat dikelola dengan baik. Apalagi kita yang jelas daratannya jauh diatas permukaan laut lha malah terus kebanjiran maka lagi-lagi semua berpaling kepada pengelolaan air, hujan, kanal dan kalinya. Konon lagi ada proyek banjir kanal triliunan rupiah dan seterusnya namun tak urung banjir bahkan makin menggila. Masih belum terhitung berapa kerugian masyarakat akibat banjir raya ini. Memang tidak bisa semua penyebab di pundak pemerintah, namun perilaku masyarakat dan pengaturan lingkungan juga turut menjadi penyebab bencana ini.

Siapa menanam mereka juga yang menuai. Kita semua telah berlomba mengeploitasi alam dan lingkungan kita tanpa rambu-rambu yang benar. Segala ruang, seinchi lahan semuanya digunakan sekedar mengejar keuntungan belaka. Sudah terlampau lama perilaku kehidupan kita menyimpang dengan mengesampingkan lingkungan kita. Hutan banyak ditebangi, bangunan dibangun dimana-mana tanpa menghiraukan resapan air sementara fungsi kali sudah bergeser jauh.

Pilihan ditangan kita, pengin makin amburadul dan makin tenggelam bumi kita berpijak atau kita siap mengoreksi gaya hidup kita. Koreksipun bakal butuh waktu lama dan biaya yang sangat mahal. Kali harus dikembalikan fungsinya sebagai akses air. Resapan air jangan lagi ditimbuni dengan beton dan bangunan. Pengelolaan sampah juga harus disiplin dan jangan asal membuang sembarangan. Dengan pengelolaan yang benar saja belum tentu kita bebas banjir apalagi kalau semua dilakukan semaunya sendiri. Sudahkah kita berhitung berapa keuntungan yang diperoleh dibandingkan hilangnya asset masyarakat luas termasuk kita yang sekejap tersapu air. Janganlah kita sudah tahu namun berpura dan acuh tak acuh sambil berujar ah ntar banjir juga reda. Berpikirlah setidaknya buat generasi mendatang agar jangan samnpai terwarisi sebuah ibukota negara yang segera terendam begitu hujan turun. Relakah ibukota ini menjadi danau nan luas dan menengelamkan segala yang ada.
Read More ..