Monday, October 16, 2006

Mudik

Ada apa dengan mudik yaa. Setiap tahun menjelang berakhirnya bulan puasa maka bakal diramaikan dengan persiapan mudik. Berbagai atribut mudik bakal makin terlihat seiring makin dekatnya ujung dari bulan romadhon ini. Berbagai Mall, pasar tradisional dan pusat perbelanjaan lain bakal dipenuhi orang atau keluarga yang berbelanja kebutuhan lebaran atau kebutuhan mudik tersebut. Konon Jakarta adalah kota dimana beragam orang daerah di Indonesia berkumpul. Behubung pusat dan sentra ekonomi ada di Jakarta maka makin banyaklah kaum urban mengadu untung dan mencari pekerjaan. Jadilah Jakarta menjadi kota multi etnis atau multi penduduk yang dihuni oleh mayoritas kaum pendatang. Penduduk asli Jakarta yang akrab disebut betawi-pun bahkan mulai tenggelam diantara hiruk pikuk kaum pendatang. Yang namanya pendatang maka tentunya memiliki kampong aslinya. Entah dari sesame pulau jawa, sumatera, sulawesi dan seterusnya. Jadilah tiap lebaran jutaan pendatang tadi melakukan tradisi tahunan menjelang idul fitrie yakni mudik atau pulang kampoeng..

Fenomena mudik tiada habisnya dikupas dan dianalisi waktu demi waktu. Bagi yang tidak pernah mudik atau memang asli asal kota Jakarta tadi misalnya tidak habis pikir kenapa tradisi ini berjalan terus. Bahwa mudik memang identik dengan perjalanan panjang, macet dan melelahkan. Bahwa mudik memang identik dengan menyatakan bahwa kita benar orang daerah atau orang perantauan. Bahwa mudik seiring dengan makin mahalnya BBM dan ongkos transportasi adalah membutuhkan banyak biaya. Bahwa mudik adalah ritual yang kadang sulit dimengerti sebagian orang. Kenapa orang rela bercapek ria macet dan menempuh ratusan kilometer padahal kalau hanya pulang bisa memilih waktu lainnya kan, yang tidak berbarengan misalnya. Itulah sedikit mudik dan tanda tanya yang menyertainya.

Bagaimana dengan pemikiran dan pembelaan golongan yang memang mudik setiap tahunnya. Tentunya bakal tidak kalah banyaknya argument yang bisa dilontarkan. Bahwa kampong halaman identik dengan tanah kelahiran atau leluhur yang memiliki nilai-nilai histories. Bahwa di daerahlah berkumpul akar keluarga besarnya. Ritual mudik juga ibarat charger battery dimana battery kehidupan yang sebelas bulan sudah sedemikian buram dan perlu sentuhan segar. Dengan mudik ibaratnya pikiran kita menjadi fresh kembali, segar dan siap bekerja berat. Mudik memanglah melelahkan dan macet, namun segalanya bakal terbayar lunas beserta bunga-bunganya manakala kita sampai di rumah, bertemu handai taulan dan merasa kembali menjadi bagian dari kampong halaman. Bagi etnis jawa konon mudik sangatlah mustahil tidak dilakukan karena semangat mudik memang membara dalam dada. Makanya ada pepatah yang mengatakan, mangan ra mangan asal ngumpul atau makan tidak makan yang penting berkumpul, sehingga kenapa ritual mudik wajib dilakukan. Mudik juga menjadi ajang promosi bahwa si A atau si fulan berhasil tuh dalam rantauanya dengan mudik bermobil dan membawa banyak uang. Hal ini mengapa semakin banyak orang yang merantau dan dampaknya adalah jumlah pemudik bakal terus meningkat.

Terlepas dari duduk masalah sebenarnya dan pergeseran nilai-nilai mudik, setidaknya mudik adalah merupakan ajang pemerataan pendapatan masyarakat. Berapa milyar atau triliun rupiah uang dari Jakarta atau kota besar lainnya dapat terbagi ke daerah asal perantau. Konon lagi rumah makan warteg asal tegal telah menyumbang sekian milyar ke kampong halaman. Juga perantau asal wonogiri, solo atau sleman dan seterusnya turut menyumbang pendapatan putra daerah. Meski periode mudik berkisar hanya sebulan nampaknya cukup significant nominal yang disumbang bagi roda perekonomian baik pada sector transportasi maupun sector terkait lainnya semacam home industri, makanan atau pariwisata.
Read More ..

Wednesday, October 11, 2006

Pajak Kendaraan

Hari ini saya membayar pajak kendaraan di sebuah samsat yang berlokasi di timur Jakarta. Berbeda dengan kegiatan saya terakhir bahwa di samsat nampaknya calo sama sekali sudah tidak diperbolehkan beroperasi. Semua diurus oleh wajib pajak kendaraan sendiri. Hanya yang cukup melonjak adalah antrian pajak kendaraan roda dua. Lantai dua ruang samsat begitu berjubel, gerah dan hanya ditopang kipas angina nan panas. Sungguh meski pujian bisa kita sematkan pada tekad samsat namun kenyamanan wajib pajak yang notabene adalah raja, karena patuh membayar pajak kan, masih belum sepenuhnya diperhatikan.

Karena sedikit banyak sudah tahu prosedurnya begitu datang saya langsung foto kopi bpkb, stnk, ktp dan beli kuitansi bermaterei. Critanya ini mau bayar pajak sekalian balik nama. Habis foto kopi langsung ke loket cek fisik beli kertas gesek nomor mesin dan rangka seharga sepuluh ribu perak. Berikutnya kita tinggal mendatangi petugas yang menggesek nomor mesin lalu nomor rangka. Sempat saya tanya bayar berapa pak, dia balik melihat saya, ya sudah kita berikan sekedarnya, diapun bilang terima kasih, so far okelah, no such any free lunch in this funny world bukan.

Balik lagi ke petugas cek fisik dengan kertas gesek sudah tertera nomornya, kembali membayar sepuluh ribu. Menunggu barang dua puluh menit nama dipanggil dan keluarlah sebendel berkas lengkap berisi formulir dan lampiran dokumen kendaraan. Berikutnya kita naik ke lantai tiga dimana dilayani pajak kendaraan roda empat. Pak polisi yang melayani bilang, pak ini cabut berkas ke Jakarta pusat bapak saja yang melakukan. Wah karena tidak punya banyak waktu ya saya jawab, sudahlah saya minta Bantu bapak saja. Oke dia jawab dan bilang, ini untuk cabut berkas sekitar tiga ratus lima puluh ribu perak pak dan tolong ditambahkan ongkos jalannya. Ya sudah saya nitip saja dan berikutnya diminta seminggu lagi datang untuk bayar kekurangannya dan ambil dokumen aslinya.

Bahwa belumlah segala sesuatunya ideal dan bebas dari biaya birokrasi memang benar, namun tetap semangat ini perlu dihargai. Hanya semestinya pihak samsat bisa mengantisipasi lonjakan jumlah kendaraan apalagi yang roda dua sehingga dapat menata secara nyaman pelayanan dari wajib pajak kendaraan ini. Per hari ini saja jalur masuk ke halaman samsat guna menggesek nomor sudah sangat dipenuhi oleh kendaraan roda dua yang juga melakukan cek fisik, sehingga kendaraan roda empat yang lewat haruslah pelan sekali atau bakal nyerempet. Apalagi dapat dibayangkan satu dua tahun ke depan, dengan kondisi perkantoran samsat yang segitu-segitu saja, tentunya bakal terjadi lonjakan antrian pembayar pajak ini.

Sudah jamak dalam negeri kita ini bahwa berbagai hal mengenai pelayanan umum masih sangat jauh dari nyaman dan waktu yang singkat. Singkatnya pelayanan umum masih belum efisien dan efektif. Tidak hanya pelayanan pajak kendaraan namun berbagai pelayanan public lainnya. Padahal masyarakat berduyun-duyun antri itu guna setor uang ke Negara, kenapa tetap saja kurang diperhatikan dan dihargai misalnya.

That’s it, tidak pengin panjang lebar tentunya kecuali kita semestinya bisa berubah, menjadi lebih baik dalam segala hal ketimbang selalu terkondisi keadaan yang serba menyusahkan rakyat belaka.
Read More ..

Tuesday, October 10, 2006

Pertanian

Negara kita “sempat” terkenal dengan sebutan negara agraris karena luas lahan produktif yang dimilikinya. Dengan bekal luas lahan dan sumber daya manusia maka mestinya kita bisa lebih optimal dalam menghasilkan produk pertanian ketimbang yang kita capai hari ini. Produk pertanian tersebut bisa berupa beras dan sejenisnya, buah, sayur atau singkatnya produk hasil bumi. Dalam konteks ini barangkali bisa termasuk disebutkan pengembangan produk pendukung-nya seperti pupuk, peralatan pengolah lahan, peralatan panen, peralatan pengupas gabah dan seterusnya.

Bicara pertanian pada dasarnya sangatlah luas lingkupnya, sehingga kita fokuskan saja pada budi daya beras yang merupakan makanan pokok kita. Belum lupa dalam ingatan kita di era 1980-an kita pernah berswasembada beras. Artinya produksi beras mencukupi bagi kebutuhan nasional dan lebihnya dapat diekspor. Bila produksi cukup selain terjaminnya kebutuhan pangan juga tentunya harganya akan dapat dikontrol, atau diserahkan mekanisme pasar.

Sebagai Negara yang berkutat mengolah komoditas beras puluhan tahun sudah semestinya kita menguasai seluk beluk mulai dari pembibitan, penyemaian, penanaman sampai pemanenan. Idealnya kita haruslah memiliki berbagai jenis padi mulai dari yang umur panen pendek, bulir padinya banyak, yang rasanya enak dan seterusnya. Produktifitas-nya mudah diukur dengan salah satunya dengan menghitung berapa ton padi/gabah dihasilkan untuk setiap hektar lahan misalnya. Rasanya untuk produktifitas perhektarnya kita masih jauh di bawah Thailand, Taiwan atau Jepang misalnya dan masih sangat luas bisa ditingkatkan lagi. Makanya tidak heran beras Thailand merajalela di pasar kita.

Dengan banyaknya ahli pertanian kita, termasuk fakultas pertanian di berbagai perguruan tinggi bukan mustahil mengembangkan bibit padi unggul yang mudah tanam namun hasilnya optimal. Sudahkah hal ini kita capai, nampaknya belumlah menggembirakan.

Aspek pendukung pertanian misalnya pupuk juga belum kunjung tuntas dalam arti mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh petani kita. Sering terjadi pupuk langka keberadaannya dan kalaupun ada harganya selangit. Kenapa hal ini belum menjadi perhatian utama kita.

Fakta di lapangan bahwa kondisi petani kita masih jauh dari sejahtera. Terlampau banyak petani yang kehidupannya marginal dan belum menikmati peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pernah ada yang namanya koperasi unit desa dan koperasi lainnya yang dimaksudkan membantu petani dalam hal pengadaan pupuk maupun penyerapan hasil panen, namun terakhir kok gaungnya mulai hilang.

Mustahikah bila sector pertanian diangkat menjadi backbone kita, menjadi tulang punggung perekonomian kita. Dengan berbagai modal yang dimiliki mestinya hal ini bukanlah mustahil. Fokuskan pada riset dan pengembangan bibit padi sampai dihasilkan berbagai jenis bibit unggul sesuai kebutuhan. Fokuskan pada pembangunan lebih banyak pabrik pupuk dan jalur distribusinya agar pupuk mudah dan murah diperoleh. Kembangkan terus teknologi pertanian sehingga konteks pertanian berubah menjadi konteks yang makin canggih dan berteknologi. Janganlah tahun demi tahun teknologinya usang tanpa ada perubahan dan peningkatan.

Wujudkan semuanya dengan hal konkrit dan tindakan nyata di lapangan. Janganlah pertanian hanya menjadi sector kelas dua yang penanganan dan pengelolaan puluhan tahun stagnant belaka. Diperparah dengan saling berlomba melakukan import beras yang semestinya bisa dihindari dan dananya bisa dialihkan pengembangan produk pertanian.
Read More ..

Monday, October 09, 2006

Saat Ini

Saya sering mencari “perenungan” atas kehidupan ini, ceilee hebat yaa. Perenungan saya adalah apa sebenarnya hakekat inti dari kehidupan kita ini. Wah berat amat topiknya. Kalau Sidharta Gautama akhirnya menyimpulkan bahwa kehidupan adalah sengsara belaka, kenapa beliau memilih untuk bersemedi, guna menghindari kesengsaraan Berhasilkan beliau dengan solusinya atas kehidupan, ya saya tidak tahu. Kehidupan kita memang harus terus berlanjut manakala kita sudah memilih lahir di alam ini. Alur sederhana yang bisa kita ungkap misalnya waktu kecil kita sangat ingin bersekolah. Ketika sudah sekolah ingin sekali kerja yang enak dan banyak uang. Ketika sudah kerja dan kaya kita ingin dihormati semua orang dan menjadi tokoh. Ketika sudah menjadi tokoh, dihormati dan sebagainya kita ingin dicatat hebat dalam sejarah. Demikian seterusnya.

Bahwa apa yang belum terjadi akan selalu menjadi mimpi kita sementara hari kemarin adalah masa lalu. Pernahkah kita mengalami kebosanan. Tentunya banyak dari kita sering merasa bosan belaka. Ah setiap hari kerja mulu, kerja dan kerja. Sementara yang pensiun juga mengeluh, duh bosannya hari-hari, duduk mulu melihat orang lewat. Yang menganggur mencari kerja apalagi, bosan banget mencari kerja nggak dapat-dapat. Barangkali sudah adakah yang benar-benar nikmat menjalani detik demi detik hidup ini berlalu. Mungkin ada juga, hanya kita saling tidak tahu siapakah gerangan yang sudah sedemikian tinggi tingkatnya. Apakah beliau itu seorang professor? seorang ustad? seorang pastor? seorang pertapa? seorang tokoh? seorang menteri? presiden? atau malah orang gila di pinggir jalan itu.

Bahwa kehidupan memang silih berganti, kadang indah kadang sedih. Kadang kita merasa bahagia kadang derita tiada akhir. Maka perenungan ini barangkali masih belum bisa memegang apa sih inti dari kehidupan kita. Mestikah kita harus berbuat baik sepanjang waktu? Jelas ini tidak salah, namun adakah orang demikian, masak seumurnya terus berbuat baik, namanya juga manusia akan sulitlah. Pan punya nafsu, ambisi, hasrat, sifat iseng, sifat jahat disamping sifat baiknya. Hmm bahkan baik dan buruk pun dapat secara luas diperdebatkan. Apa yang kita sebut baik belum tentu sama bagi orang lain. Yang kita nilai buruk-pun tidak sama bagi penilaian orang lain.

Bahwa, kita dapat mulai mencoba menengok ke atas, ya betul Tuhan Yang Maha Besar. Jadi kita sebagai makhluk hidup mesti meyakin keberadaan Sang Pencipta ini dulu. Tanpa meyakini sang Pencipta dijamin hidup kita bakal berasa kosong ompong, dan inti kehidupan bakal sulit digapai. Setelah meyakini Pencipta kita, coba tengok alam semesta ini yang terbentang luas dimana kehidupan kita ditopang. Toh kita tidak bisa hidup di langit atau di dasar laut kan. Setelah Tuhan, Alam semesta, berikutnya kita coba tengok saudara kita. Ya betul umat manusia. Jadi hampir lengkaplah semuanya antara keberadaan Tuhan, Alam Semesta dan Umat manusia. Terakhir kita jangan lupa masih ada agama, norma masyarakat dan akal budi kita.

Nah barangkali sudah dekatkah perenungan kita akan inti kehidupan ini. Coba diolah dan ditata secara rapi sekali antara hakikat tadi yakni Pencipta kita, Agama kita, Norma kita, Alam kita, Umat manusia dan pikiran kita. Apakah kira-kira inikah hakikat kehidupan kita? Saya juga belum bisa menjawabnya. Yang jelas kehidupan kita adalah saat ini. Saat ini kita dapat melakukan ibadah kepada Tuhan, dapat melakukan tindakan yang tidak merusak alam, jangan menyakiti sesama/masyarakat serta gunakan selalu akal pikiran kita demi keserasian hakikat tadi.
Read More ..

Asap

Harian Kompas beberapa hari terakhir mengabarkan berangnya negara tetangga karena ulah asap dari pembakaran hutan kita. Bahkan hari ini dipampang foto kota Kuala Lumpur yang gelap karena asap yang nyelonong dari hutan di negara kita. Masalah asap adalah masalah berulang yang terjadi setiap tahun yang umumnya terjadi menjelang musim penghujan. Asap tersebut biasanya berasal dari pembakaran hutan guna lahan pertanian atau perkebunan. Siapa yang membakar hutan ya tentunya manusia-lah, masak harimau atau kera bisa. Kenapa membakar hutan ya karena orang membutuhkan lahan pertanian dengan biaya relative murah. Murah bagi dirinya/grupnya tentunya sementara bagi orang lain atau Negara lain asap ini menimbulkan kesengsaraan belaka. Kota menjadi gelap dan tidak sehat, jarak pandang pilot terganggu sehingga beresiko bagi pendaratan maupun tinggal landas pesawat.

Mengapa kejadian yang sangat berdampak pada gangguan dan kesengsaraan orang di tempat lain ini terus berlangsung. Jawabnya cukup pelik dan tidak sederhana. Di sana ada penggarap lahan, ada pengusaha hutan yang mengantongi ijin, ada polisi hutan, ada pemerintah daerah dimana hutan berada dan seterusnya yang kesemuanya sedikit banyak terlibat. Di radio seorang dosen pertanian dari sebuah perguruan tinggi di sumatera mengatakan bahwa sering ada pelaku pembakaran hutan ditangkap, namun tidak lama dilepaskan, tidak tahu kenapa. Karena hokum seperti ini dan terus terulang maka dengan sendirinya terdapat makin banyak hutan terbakar serta asap berpesta kemana-pun mengikuti arah angin sehingga semuanya berjalan seperti biasa, business as usual.

Asap adalah polusi udara dan membuat udara di sekitar kita gelap serta tidak sehat. Asap dapat mengganggu kegiatan keseharian kita. Banyak sekolah diliburkan karena asap di jalan-jalan. Banyak penerbangan ditunda karena asap menutupi udara sekitar bandara. Bahkan asap yang tidak mengenal batas negara terus beredar kemana saja. Akibatnya timbul protes dan keluhan dari orang/negara dimana asap meraja-lela. Rasanya lebih banyak mudharatnya keberadaan asap ketimbang manfaatnya. Beda-lah kalau asap datang dari masakan rendang, hmm baunya harum dan kita sepakat ini bau tidaklah mengganggu, bahkan membangkitkan rasa lapar. Lha asap hasil kebakaran hutan, buat apa yaa kecuali memang hanya menjadi pengganggu bagi semua orang.

Hutan yang dibakar juga berpotensi mematikan organ yang hidup di tanah. Organ ini penting bagi kesuburan tanah. Jadi semua tumbuhan hidup serta organic tanah tanpa kecuali akan menjadi hangus terbakar. Kebakaran juga menyebabkan hewan yang hidup di hutan terancam. Ekosistem hutan perlahan hangus dan rusak. Efeknya belum terasa hari ini atau tahun ini. Namun bagaimana beberapa tahun ke depan. Jumlah hutan berkurang, ekosistem hutan rusak dan fungsi hutan terganggu. Bagaimana dampaknya bagi kehidupan rakyat banyak, petani maupun pemukim desa dekat hutan. Bagimana pula dampaknya bagi anak cucu kita. Bahwa pembakaran hutan akan berdampak sangat lama pada area yang luas ketimbang keuntungan dan manfaat sementara yang berhasil dipetik.

Sebagaimana mencari ikan di laut dengan mengebom lautan, menggarap lahan dengan membakar hutan jelas merupakan perusakan alam ketimbang upaya produktif. Memang ada hasil produktif di sana namun dibanding kerusakan alam yang parah sangatlah tidak sebanding. Demi kelestarian dan pemeliharaan alam maka pembakaran hutan mendesak segera dihentikan. Pelaku yang tidak bertanggung-jawab menjadi sah untuk dihukum berat agar jera. Bahwa yang selalu dilakukannya selama ini tidak lebih sebuah perampokan belaka atas alam yang telah menghidupi kita selama ini.
Read More ..

Friday, October 06, 2006

Bung Andre

E-Radio dalam bincang-bincang pagi ini mengundang musisi kawakan yakni bung Andre Manaki (maaf kalau salah tulis nama). Bung Andre ini kakak penyanyi terkenal era 90-an yakni Katon Bagaskara dan juga Nugie. Rupanya ketiganya adalah keluarga seniman khususnya musik. Barangkali selama ini kita lebih mengenal Katon atau Nugie ketimbang kakaknya tersebut. Maklum Katon yang kita tahu memiliki band beken KLA Project yang telah menelurkan album hits dengan lagu-lagunya yang terkenal macam Yogyakarta, Tak bisa pindah lain hati, Negara di Awan, Dindan Dimana dan seterusnya. Nugie kita mengenal sebagai penyanyi solo. Bahkan Nugie adalah mantan penyanyi cilik tahun 76-an yang sempat punya album dengan judul Pancasila Senjataku.

Menggali potensi musisi kawakan ini memang cukup menarik. Beliau malang melintang baik di Jogyakarta maupun Jakarta dan menggalang banyak seniman Jogya. Bahkan pada gempa Jogya beberapa bulan lalu bung Andre terjun langsung membentuk squad dan mengumpulkan dana guna membantu korban gempa. Selama dua bulan penuh bung Andre bahu-membahu membantu korban gempa. Ada sedikit keprihatianan menurut bung Andre, dimana beberapa pedagang Jogya menjual mie rebus dengan harga seratus ribu per kardus. Harga normalnya hanya tiga puluh ribuan hingga kenapa banyak pedagang tega mengambil kesempatan diatas kesusahan sesama. Barangkali ya namanya manusia, mungkin saja pedagang tadi khilaf atau alasan lainnya.

Bung Andre ini juga membuat banyak lagu yang sebagian dinyanyikan oleh adiknya, Katon atau penyanyi semisal Paramitha Rusadi dan lainnya. Belakangan bung Andre mencoba membuat album bareng adiknya dengan judul Kidung Kencana. Menurut bung Andre ini kidung itu artinya adalah sebuah lagu yang katakanlah melegenda, sementara kencana artinya adalah emas, logam mulia. Jadi kidung kencana dimaksudkan agar lagu-lagunya dapat menjadi legendan nan abadi. Namanya juga seniman tentunya sah-sah saja apa yang coba dirumuskan oleh bung Andre tadi.

Bahwa kenapa bung Andre baru belakangan turun gunung setelah adik-adiknya menapaki sukses bermusik, adalah karena masalah teknis semata. Bahwa bung Andre menjelaskan selama ini belum menemukan partner record yang cocok. Konon seorang musisi agar dapat berhasil mesti memiliki partner record yang seirama. Saya kebetulan agak awam seperti apa partner record ini, apakah perusahaan rekaman atau tim yang bekerja dibalik penyanyi/musisi. Di akhir perbincangan bung Andre menyanyikan sebuah lagu tentang Jogya sambiul bermain gitar akustik-nya. Wah ternyata hebat nan indah permainan gitarnya dan tentunya suaranya. Semoga sukses bung Andre.
Read More ..

Tuesday, October 03, 2006

All Fresh

Setidaknya ada dua tempat gerai yang saya ketahui di Jakarta dengan judul menggelitik, All Fresh. Saya sendiri belum pernah masuk dan belanja pada gerai sayuran dan buah-buahan tersebut. Sebagaimana namanya gampang ditebak bahwa gerai tersebut menawarkan kesegaran sayur dan buah. Hal ini cukup mengejutkan dimana bisnis buah dan sayur sangat rentan dengan factor produk yang cepat layu bahkan mudah membusuk. Angkanya kita belum tahu berapa persen umumnya produk sayur dan buah yang akhirnya menjadi waste dan harus dibuang, hanya pedagang buah dan sayur yang tahu hal ini. Kenapa terobosan gerai dengan menawarkan “kesegaran” ini menjadi menarik disimak.

Secara umum buah dan sayur yang segar mestinya tidak tumbuh di kota besar macam Jakarta. Katakanlah lahan pertanian tersebut tumbuh disekitar Jakarta, seperti kawasan puncak, sukabumi, garut atau bahkan ada yang harus diimport. Faktor jarak ini tentunya menjadi hambatan besar untuk membuat produk pertanian tadi tetap segar. Sehingga masalah utama yang ada salah satunya bagaimana jarak dari sumber produk menuju lokasi gerai harus ditempuh agar selama perjalanan produk tidak terlalu berkurang freshness-nya. Lagi-lagi kenapa gerai tadi menarik disimak adalah upaya terobosannya menyiasati termasuk mengatur schedule pengiriman. Ditambah bahwa produk pertanian adalah produk musiman sehingga tantangan mengatasi masalah ini menjadi semakin besar.

Masalah berikut tentunya adalah penyimpanan atau storage. Kita mengenal belaka bahwa sudah jamak gerai atau toka sayur dan buah memiliki katakanlah freezer atau gudang penyimpanan. Meskipun kita juga tahu bahwa berbagai storage atau frezzer adalah tidak serta merta masalah tuntas bahwa kesegaran buah dan sayur bakal terjamin, karena tetap saja yang namanya sayur buah akan menjadi layu dan akhirnya membusuk.

Dengan kendala jarak, transportasi, storage maupun berbagai effort yang lebih besar ketimbang produk lainnya maka tidak terelakkan timbulnya suatu cost extra yang ujungnya akan berdampak pada harga jual produk. Apakah harga-nya memang lebih mahal dari katakanlah pasar tradisional atau stand buah sayur lainnya memang belum diketahui pada konteks ini. Namun harga tetaplah akan menjadi poin penting pembeli sehingga kenapa selisih harga bakal menjadi issue sensitif tersendiri dalam mengejar target transaksi.

Kita hanya bisa berasumsi bahwa bisnis semacam all fresh yang menyuguhkan produk sayur buah segar barangkali dengan harga bersaing membutuhkan management yang disiplin, jaringan transportasi handal, serta system storage terpadu. Terlebih produk ini bukanlah exlusive dan jajaran shopping center lain juga menyuguhkan berbagai produk sayur buah yang sama, membuat gerai all fresh dituntut menawarkan sesuatu yang “berbeda’ tentunya.
Read More ..

Monday, October 02, 2006

Koreksi Per Kapita

Ada kekeliruan perhitungan pada artikel di bawah. Yakni antara pendapatan per kapita yang 3600 dollar versus kriteria orang miskin yang 575 ribu rupiah per bulan. Namun terlepas dari itu pada dasarnya bahwa gap per kapita kita sedemikian lebar dan hal ini sebaiknya menjadikan fokus perbaikan pembangunan kita. Bukan hanya pertumbuhan belaka yang perlu dikejar namun faktor pemerataan juga harus diperhatikan. Idealnya bagaimana pemerataan segera dikoreksi dengan menambah peluang kerja, keadilan akses atas asset nasional dan koreksi penguasaan asset oleh sekelompok orang atau golongan. Kontrol dan peran Negara seyogyanya diperbesar dan prioritas sebesar-besarnya bagi rakyat atas pekerjaan dan pendapatan yang layak mendesak untuk diwujudkan. Read More ..

Per Kapita

Dari salah satu sumber, kita melihat bahwa pendapatan perkapita kita sekitar 3600 dollar per tahun. Maka bila kita kalikan dengan jumlah penduduk yang jumlahnya 250 juta akan terkumpul jumlah nominal sebesar 900 milyar dollar atau setara dengan 9,100 triliun-an rupiah. Bayangkan dengan jumlah penduduk kita sebesar itu maka terhimpun suatu jumlah agregat sebesar lebih dari sembilan ribu triliun. Satu triliun saja kita belum pernah melihat banyaknya apalagi ini ribuan triliun. Ya tentunya jumlah itu bukan total berupa uang namun memang seluruh produk baik barang maupun jasa nasional kita yang umumnya dikenal dengan istilah Produk Domestik Bruto. Kita tidak hendak membahas hal ini secara rinci dan akurat sekali sebagaimana kuliah di fakultas ekonomi namun lebih secara garis besar dan secara santai.

Bila kita melihat bentuk usaha di negara kita dikenal semisal perorangan, CV/PT, BUMN maupun asing. Semua produk katakanlah sebagai perorangan kita menjual jasa kita sebagai karyawan, atau kita punya sambilan mengkreditkan baju yang artinya kita juga menjual produk. Hal yang sama juga berlaku bagi bentuk usaha CV atau PT, bahkan usaha modal asing maupun BUMN-pun sama pada dasarnya menghasilkan baik produk jasa maupun barang atau keduanya. Nah dalam bentuk produk baik barang atau jasa yang ditransaksikan tersebut akan muncul pula berbagai pajak. Akrab dikenal pula yang namanya value added atau nilai tambah guna penghitungan produk dasar menjadi produk jadi serta menghindari penghitungan berulang barang yang sama.

Konon dari seluruh jumlah produk barang dan jasa tersebut munculah jumlah keseluruhan dalam nominal, sehingga muncul jumlah sembilan ribu-an triliun tadi. Jumlah ini merupakan keseluruhan barang dan jasa nasional. Bila jumlah ini dibagi dengan jumlah penduduk kita maka keluar angka pendapatan per kapita. Makin besar pendapatan per kapita suatu negara maka semakin besar pula jumlah produk Negara tersebut. Secara umum makin besar perkapita maka semakin makmur negara tersebut. Misal-nya Luxemburg per-kapitanya mencapai 66 ribu per tahun tentunya penduduknya sedemikian makmur. Amerika dengan pendapatan perkapita mencapai 41 ribu dollar per tahun, atau Jepang dengan sekitar 31 ribu dollar, Singapore dengan 28 ribu, atau Malaysia dengan 12 ribu dan seterusnya menggambarkan proporsi kemakmuran masing-masing.

Kembali pada kasus kita, kalau rata-rata pendapatan kita adalah 3600 dollar atau setara dengan lebih dari tiga puluh dua juta rupiah per tahun maka kita bisa berhitung sendiri dimana posisi kita. Bila gaji kita sejuta per bulan (empat juta bila anggota keluarga kita empat orang) serta ditambah THR dan uang cuti -- jika ada -- artinya kita menikmati 56 juta per tahun, dan ini kita artinya berada di atas rata-rata kemakmuran. Atau singkatnya bila kita balik saja, bahwa bila sebuah keluarga total pendapatan per tahun sekitar 32 juta maka mereka berada pada rata-rata pendapatan.

Kita teruskan menarik angka-angka tadi, misalkan dari sumber di BPS yang mengatakan bila seseorang berpendapatan kurang dari 175 ribu ditambah sekitar 400 ribu rupiah (hitungannya bisa kita cari tahu ke BPS), jadi totalnya 575 ribu rupiah per-orang maka akan digolongkan sebagai penduduk miskin. Dalam konteks tadi bila sekeluarga terdiri dari empat orang maka kita mendapat jumlah sama yakni 32 juta per tahun. Jadi dari hitung-hitungan kasar tadi kok ketemu ya, antara kriteria keluarga miskin kita versus rata-rata perkapita. Artinya bahwa secara umum dengan per kapita 3600 dollar, kita ini pada dasarnya masih termasuk kategori negara miskin. Padahal kita tahu belaka bahwa orang atau keluarga yang memiliki pendapatan 32 juta per tahun ini-pun sudah relatif jarang. Hampir dikatakan bahwa sebagain besar mereka berpendapatan di bawah angka tadi.

Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa hanya sekelompok kecil dari kita yang berpendapatan luar biasa besar sehingga sebaran katakanlah di atas 80% penduduk berpendapatan di bawah 32 juta rupiah per tahun terdongkrak oleh pendapatan luar biasa besar sekelompok kecil tadi. Konon lagi ada angka begini -- bahwa kurang dari 10% penduduk kita menguasai asset lebih dari 90% asset nasional. Terjadi gap sedemikian lebar luar biasa yang mencerminkan bahwa hasil-hasil pembangunan sangat belum merata dan baru dinikmati hanya oleh sekelompok kecil penduduk kita.
Read More ..