Wednesday, October 15, 2008

Kredit Pemilikan Rumah (KPR)


Andaikan anda mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) senilai 240 juta dengan uang muka 20% dan cicilan 10 tahun serta bunga 10% maka anda cukup membayar uang muka 48 juta, biaya administrasi, asuransi dan angsuran pertama sebesar 15 juta-an dengan nominal angsuran 2,5 juta per bulan. Rumah sudah bisa ditempati dan selanjutnya anda cukup mengangsur sebesar 2,5 juta rupaih per bulan untuk rates bunga tahun pertama. Asumsikan gaji anda 7 juta rupiah, karena bank akan menyetujui kredit anda dengan nilai angsuran sekitar sepertiga dari pendapatan konsumen.

Tiga bulan kemudian, andaikan ada institusi keuangan yang menawarkan pinjaman katakanlah 50 juta rupiah dengan jaminan cukup kontrak KPR anda, dan karena memang anda butuh buat beli peralatan rumah tangga, elektronik dan renovasi rumah, andapun menerima, karena syaratnya mudah. Konsekuensinya angsuran anda akan bertambah sebesar 1,2 juta rupiah selama lima tahun dengan asumsi bunga 5%. Jumlah beban angsuran per bulan sekarang bertambah menjadi 3,7 juta rupiah.

Ya sudah karena memang ingin meningkatkan taraf hidup maka bersakit-sakit dahulu dengan penghematan dan pengencangan ikat pinggang. Kebutuhan rumah tangga, listrik, air, spp anak, transport dan seterusnya tinggal tersisa 3,3 juta rupiah. Masih bisa jalan meskipun sangat pas-pasan, ya sekali kali ngutang dan dibayar bulan berikutnya. Gali tutup lobang seperti lagu bung Haji.

Karena situasi ekonomi flutuaktif dan cenderung memburuk, maka tahun kedua katakanlah bunga bank naik dari 10% menjadi 14% sehingga angsuran anda akan membengkaik menjadi total 4,3juta per bulan. Di saat yang sama harga kebutuhan sembako, barang dan jasa lainnya juga mengalami kenaikan, karena naiknya BBM misalnya. Dengan sisa 2,7 maka kondisi keuangan anda semakin memburuk kalau tidak bisa dikatakan skak mat. Didera berbagai kebutuhan sehari-hari yang semakin mahal, hutangpun semakin sering dan anda tidak sanggup lagi mencicil angsuran rumah dan angsuran konsumtif tadi. Kredit macet akhirnya menjadi pilihan terakhir anda.

Bagaimana kalau kejadian serupa menimpa seribu orang sepereti anda, atau sejuta orang atau dua puluh juta orang yang mengalami kredit macet. Perbankan akan menaikan suku bunga karena bank sentral menaikan suku bunga. Bank Sentral menaikan suku bunga agar perusahaan, institusi, lembaga tetap menaruh surat utangnya. Bank menaikan suku bunga agar nasabah tidak mengambil deposito dan tabungannya.

Barangkali itulah yang terjadi di Amerika Serikat dimana masyarakatnya tergiur berbagai dengan berbagai kredit produk derivative yang mensyaratkan secara mudah tanpa berpikir dampak berikutnya. Tentu critanya tidak sesederhana itu karena bisa saja konsumen segera menjual rumahnya (rumahnya banyak) atau mengembalikan ke pihak perbankan/broker, atau adanya regulasi lain yang meminimkan resiko konsumen misalnya. Namun saat penawaran rumah membludak dan orang tidak butuh rumah lagi maka jadilah kredit tetap macet. Manipulasi dan ketamakan dari broker atau lembaga keuangan serta tindakan asal untung dari banyak masyarakat yang akhirnya menjadi salah satu sebab dan menyeret datangnya krisis keuangan.

Saat ini Indonesia sudah mulai terkena imbasnya dimana bunga KPR berangsur naik dari semula 9 – 10% menjadi 14 sampai 15%. Tidak ada hujan dan angin namun pendapatan konsumen bakal tergerus oleh selisih kenaikan bunga tadi. Makin besar angsuran KPR akan semakin besar pula kenaikannya.

Apa yang bisa diperbuat pada kondisi ini. Apakah anda akan menjual rumah tersebut dan kembali menjadi kontraktor- orang yang mengontrak rumah. Hm pilihan menjual rumah nampaknya terlalu ekstrem kasihan keluarga, akhirnya ya anda harus mengencangkan ikat pinggang atau menjual asset lainnya untuk menombok. Anda akan bertahan dengan bersakit-sakit dahulu. Namun bagaimana kalau bunga bank terus membubung menjadi 17% , 20% atau lebih tinggi lagi. Kuatkah pendapatan anda menahan tingginya angsuran. Mudah-mudahan fundamental ekonomi nasional cukup tangguh, mudah-mudahan,,,,
Read More ..

Tuesday, October 14, 2008

Jazz Goes To Campus


Masih segar dalam ingatan saat musik jazz akrab dengan kampus. Implisit bahwa musik jazz identik dengan kaum intelektual yang notabene diwakili institusi kampus. Bahwa mahasiswa yang menyukai musik dangdut, campursari atau musik daerah dianggap kolot. Mahasiswa musiknya ya jazz, atau minimal musik barat atau ngerock. Bicara musik apa untuk siapa tentunya sah sah saja dan hak semua orang asal bukan latah-latahan. Kalau memang penikmat sejati dan mengaku sebagai jazzer tentu itu yang konsisten. Masalahnya bila hanya latah dan jaim- jaga image atau jaga gengsi, sementara tidak paham musik sama sekali lha ini yang agak muna@#* he he.

Penulis sendiri menyukai berbagai jenis musik mulai dari klenengan, campursari sampai jazz. Musik ibarat bahasa universal yang siapapun berhak untuk menikmati dan menyukai. Tidak jarang seorang sopir-pun fasih bicara jazz karena memang suka dan ngarti. Sebaliknya tidak sedikit mahasiswa yang buta musik, tahunya hanya SKS.

Kalau anda ditanya musik jazz itu apa kira-kira bagimana menggambarkan. Yup, sambil diskusi ringan, jazz sering sianggap musiknya kaum hitam, warga berkulit hitam maksudnya. Darimanakah asal usul musik jazz, apakah Amerika, Afrika, Eropa atau Tasikmalaya, he he

Dalam dictionary Nokia 5000 jazz digambarkan dekat dengan rythm, atau blues, walah apa lagi ini. Ya gitulah pokoknya. Kalau kita lihat dipanggung sebuah group jazz setidaknya ada drum, organ/piano, guitar, bass, terompet dan vocal tentunya.

Kalau sekedar penggemar jazz sih tidaklah sulit, cukup dengan mendengarkan musiknya, koleksi CD, baca-baca dikit dan jadilah kita kaum jazzer he he. Namun untuk bisa dan menguasai musik jazz inilah konon yang sulit. Gitaris jazz harus menguasai teknik guitar dan tentu irama jazz. Demikian piano, drum dan terompet-nya. Dalam permainan jazz tidak jarang semua penggawang alat seolah bermain sendiri-sendiri namun iramanya tetaplah harmonis, nyambung gitu.

Hmm tanggal 18-Oktober besok ada pagelaran Jazz UGM-Mandiri di Grha Sabha. Pagelaran jazz kampus itu diramaikan oleh Trisum, Tohpati, Dewa Budjana, Donny Suhendra, Idang Rasjidi, Glen Fredli, Rio Febrian, Rieka Roeslan dengan MC Dian Sastro Wardoyo dan Butet Kartaredjasa. Tiketnyapun terjual habis sebelum pementasan, maklum harga mahasiswa dari 20 sampai 150 ribu rupiah.

Konon agenda jazz ini menginjak tahun yang kesepuluh dan tahun depan event-nya akan dieskalasi menjadi pagelaran berskala internasional. Tentunya akan ada pemusik jazz dari luar negeri yang hadir dan main di sana.

Sebuah agenda musik sejauh dikemas dengan menarik dan cantik pada dasarnya merupakan event yang positif. Bila ditanya dari pemegang tiket jazz UGM-Mandiri, berapa banyak pernah melihat langsung unjuk panggung dari Tohpati, atau Donny Suhendra atau Dewa Budjana tentu tidaklah banyak. Paling pernah mendengar lewat TV atau radio. Dengan adanya event tersebut mereka menjadi tahu secara langsung kehebatan pemusik nasional tersebut- bermain secara life. Tambahan, mereka bisa mulai belajar dan menyenangi musik jazz menjadi jazzer sejati. Semuanya cukup dengan modal puluhan ribu rupiah.

Kita akan tunggu pagelaran jazz internasional UGM-Mandiri tahun depan. Dengan jumlah warga asing di yogya yang cukup banyak rasanya event jazz internasional memang layak digelar.

Nah kita juga bisa tanya ke UGM-Mandiri, kapan bisa menghadirkan event gamelan internasional atau jaipong internasional, karena kita tahu sudah semakin banyak warga asing belajar tari dan musik tradisional.
Read More ..

Friday, October 10, 2008

Laskar Pelangi


Film layar lebar Laskar Pelangi sedang booming. Saat ini ditonton tidak kurang oleh 1,2 juta orang, jumlah yang cukup fantastis untuk sebuah film lokal. Film ini diangkat berdasarkan sebuah novel pertama karangan Andrea Hirata tahun 2005. Mengambil setting di pulau Belitong Sumatera Selatan, sebuah daerah pedalaman yang kaya sumber daya alam terutama timah.

Penambang Timah ibarat perusahaan sekaligus tuan yang menguasai daerah terpencil. Pabriknya besar, karyawan banyak, membangun prasarana umum seperti jalan, sekolahan dan bahkan fisik kota itu sendiri. Sekolah yang dibangun merupakan sekolah elit untuk masa dan kawasan itu. Tentu yang mampu bersekolah adalah keluarga yang mampu membayar. Diataranya keluarga karyawan industri timah tersebut. Sementara keluarga lainnya umumnya miskin dan tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Setting diambil tahun 1974 dimana negeri ini sedang gencar-gencarnya membangun di berbagai bidang. Era pembangunan juga melibatkan investor baik BUMN maupun swasta guna membuka selebar mungkin lapangan kerja dan pembangunan fisik prasarana umum. Sebuah SD Muhammadiyah yang merupakan SD tertua di Belitong yang menekankan pendidikan keagamaan dan budi pekerti nyaris ditutup. Departemen Pendidikan setempat melayangkan surat, bila tahun ajaran ini tidak mendapat murid minimal sepuluh maka sekolah harus ditutup. SD yang sangat sederhana dan minim fasilitas ini sungguh kurang mendapat perhatian dari masyarakat untuk menyekolahkan anaknya kesana.

Bagi keluarga mampu akan memasukkan ke SD Timah yang komplit prasarana, sementara yang tidak mampu anaknya langsung membantu pekerjaan orang tua baik sebagai nelayan maupun buruh. Jadi kuli sejak kecil, begitu nasib anak keluarga miskin.

Dengan gigih SD Muhamadiyah yang hanya memiliki tiga pengajar dan sepuluh siswa -yang diperoleh dengan susah payah- akhirnya mampu mengantarkan kelulusan bagi siswa-siswanya. Meski pak Harfan, kepala sekolah akhirnya wafat kelelahan di meja kerjanya, namun dibayar lunas oleh kreatifitas dan kecerdasan siswa-siswanya.

Ini adalah gambaran antara hak memperoleh pendidikan yang layak bagi setiap anak usia sekolah di negeri nan kaya ini. Sungguh ironis manakala banyak anak keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya sementara keluarga kaya bebas memilih sekolah berprasarana nan lengkap. Ditambah banyaknya sekolah berprasarana lengkap di kota besar yang nganggur tidak digunakan belajar mengajar.

Lintang adalah sosok anak cerdas nan miskin yang ditinggal mati ayahnya- yang sudah single parent, dan harus menghidupi ketiga adiknya. Dengan semangatnya Lintang mampu membesarkan ketiga adiknya dan menyekolahkan anaknya mencapai prestasi di sekolah. Ikal adalah sosok anak cerdas nan romantis yang akhirnya mendapat beasiswa Sorbone Prancis –termotivasi pacarnya Aling yang hijrah ke Jakarta. Masih ada kedelapan siswa lainnya dengan berbagai bakat dan kecerdasan alam. Ada Sahara; Mahar; A Kiong;Syahdan; Kucai ;Borek ;Trapani; dan Harun.

Pesan dari film ini cukup gamblang, bahwa sektor pendidikan baik dasar dan menengah haruslah menjadi perhatian serius pemerintah. Pahlawan pendidikan memang sebenarnyalah ada yakni merek-mereka yang bekerja mendidik dan mencerdaskan bangsa ini tanpa pamrih. Tidak jarang mereka tidak menerima gaji beberapa bulan karena ketiadaan dana sekolah. Kepuasan mereka manakala anak didiknya bisa menjadi cerdas dan berketrampilan guna bekal hidupnya.

Apakah Harapan begitu sederhana tersebut begitu susah terwujud, kita bisa lihat angka-angka anak usia sekolah yang terpaksa tidak atau putus sekolah. Jangan dilihat hanya di kota besar, justru lihatlah di daerah, di pedalaman di pulau selain jawa- Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Nusa Tenggara. Bahkan pulau jawa-pun tidak urung sering masih banyak anak putus sekolah.

Pendidikan sebagai dasar dari pembentukan manusia Indonesia seutuhnya mutlak diutamakan diatas bidang lainnya. Dengan terpuruknya kondisi negeri ini sekian lama jelas mengindikasikan sector pendidikan tidaklah optimal dilaksanakan dan diperhatikan.

Indikator pendidikan bisa saja dilihat dari berapa persen orang yang masih buta huruf, berapa anak putus sekolah, berapa anak lulus sekolah dasar, menengah, tinggi dan seterusnya.

Pada tataran lebih lanjut perhatian sebuah Negara atas pendidikan bisa dihitung berapa jumlah insinyur yang diluluskan, jumlah dokter, jumlah doktor, jumlah sarjana hukum/ekonomi dan seterusnya. Statistik menjelaskan bahwa kita masih sangat kedodoran untuk berbagai parameter di atas. Dengan jumlah penduduk katakanlah 240 juta kita lihat belum 1% yang menyandang berbagai gelar/profesi tersebut.
Read More ..

Tuesday, October 07, 2008

Financial Crisis


“Gubernur Bank Indonesia Boediono menyatakan, ancaman krisis keuangan global akan berlangsung selama enam bulan sampai satu tahun ke depan. Pemerintah harus siap menghadapi krisis keuangan dunia sampai 2009. Menurut Boediono, krisis keuangan global tersebut merupakan ancaman serius karena menyangkut negara-negara utama dunia. Dia meminta pemerintah merapatkan barisan menghadapi ancaman tersebut. “Jangan sampai krisis mempengaruhi rumah kita,” katanya setelah rapat dengan para menteri bidang ekonomi di Departemen Keuangan kemarin. Dia mengatakan, proses pemulihan krisis butuh waktu lama, sampai dua tahun. Krisis keuangan global itu bermula dari Amerika Serikat. Kredit perumahan di negeri itu macet dan membuat banyak firma keuangan bangkrut, seperti Lehman Brothers dan Washington Mutual. Salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia, American International Group (AIG), juga terkena imbasnya. Industri keuangan terguncang. Sampai-sampai Presiden George W. Bush meneken pengucuran dana talangan sebesar US$ 700 miliar atau sekitar Rp 6.500 triliun untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan AS.”

Hari-hari terakhir, di sela-sela kesibukan masyarakat merayakan Lebaran 2008 dan ritual mudik meski jalanan selalu macet dan kali ini sepanjang 25 kilometer kembali masyarakat perlahan dipusingkan akan datangnya krisis keuangan seperti cuplikan berita di atas. Konon mayoritas warga Amerika membeli asset-asetnya termasuk rumah dengan cara leasing. Sehingga macetnya pembayaran KPR tersebut berdampak hebat pada industri keuangan negara adidaya tersebut. Efek domino berikutnya eksistensi banyak perusahaan besar terancam ambruk.

Dan dampak dari “batuk atau demamnya” sang adidaya segera berpengaruh kepada tiga kekuatan ekonomi lainnya seperti Eropa, Jepang, China dan tidak ketinggalan negeri bernama Indonesia. Keempat pilar ekonomi dunia segera merata terkena imbas langsung dari krisis keuangan dari negeri dengan kekuatan ekonomi terbesar itu.

Hmm berat nian beban hidup, belum pulih dampak kenaikan bbm tempo hari bahaya krisis keuangan mengintai. Siapa yang bakal terkena dan paling menderita dapat dipastikan masyarakat Indonesia lapisan menengah bawah. Warga dengan kemampuan ekonomi menengah atas lumayan survive cukup dengan pengetatan ikat pinggang dan kelola-ulang konsumsinya. Bagaimana kalau nilai tukar rupiah mulai melambung akibat penarikan dana oleh investor asing. Belum lupa krisis moneter yang terjadi tahun 1997 yang meluluhlantakan kehidupan rakyat banyak. Belum lupa bunga KPR melejit tinggi menjadi puluhan persen dan masyarakat tidak mampu lagi membayar cicilan rumah. Sementara sekelompok masyarakat menengah atas tergiur bunga tinggi dan sibuk mendepositokan uangnya. Mandeglah sektor riil. Banyak perusahaan tutup atau menghentikan operasinya dan kembali buruh kecil menjadi korban.

Pemerintah akan diuji dalam melindungi rakyatnya dari hempasan krisis keuangan kali ini. Pemerintah kembali diuji manakala nilai tukar rupiah berpotensi terjun, harga barang dan jasa berangsur naik, dan inflasi pun bakal meningkat sementara pendapatan masyarakat cenderung tetap. Moral-nya Pemerintah haruslah heroik dan mengutamakan membela rakyat miskin dalam krisis ini. Mengendalikan inflasi dan stabilisasi harga kebutuhan pokok menjadi PR utama. Pertahankan juga sector riil dan selamatkan buruh kecil dari ancaman PHK.

Yang jelas dengan lesunya ekonomi keempat pilar global tadi akan berdampak langsung pada ekspor dan daya saing nasional yang saat ini sudah rendah. Perekonomian nasional banyak ditopang dari pendapatan ekspor dan apa jadinya manakala ekspor berkurang drastis. Darimana diperoleh tambalan penopang ekonomi nasional tersebut. Hal ini cukup berat dan semua berpulang kepada Pemerintah termasuk rakyatnya. Bisakah ketergantungan impor dikurangi dan penggunaan produk dalam negeri dimaksimalkan. Bisakah industri bertahan manakala harga bahan baku impor melonjak. Bisakah menggantinya dengan sumber daya dan bahan baku lokal.

Itulah lingkaran setan yang selama ini tidak mampu untuk dibendung. Namun ada satu fenomena saat krisis lalu masyarakat pedesaan memiliki tingkat survival tinggi. Kenapa, karena kebutuhan mereka dapat dipenuhi dengan sumber daya di sekitarnya. Hampir tidak ada barang impor yang mereka konsumsi. Bagaimana bagian masyarakat modern atau perkotaan. Akankah kita sanggup bertahan, kita sendiri yang bisa menjawab. Apakah kita bisa menggunakan produk sendiri serta mengurangi konsumsi produk impor. Bisakah kita mengganti makanana fast food dengan ubi, singkong atau nasi pecel. Bisakah kita memakai baju buatan penjahit lokal menggantikan baju bermerk yang selalu kita beli. Bila kita mampu beli mobil apakah kita memilih yang kandungan lokalnya paling tinggi. Bisakah kita mengorbankan gengsi dan gaya hidup metropolitan?
Read More ..