Friday, October 10, 2008

Laskar Pelangi


Film layar lebar Laskar Pelangi sedang booming. Saat ini ditonton tidak kurang oleh 1,2 juta orang, jumlah yang cukup fantastis untuk sebuah film lokal. Film ini diangkat berdasarkan sebuah novel pertama karangan Andrea Hirata tahun 2005. Mengambil setting di pulau Belitong Sumatera Selatan, sebuah daerah pedalaman yang kaya sumber daya alam terutama timah.

Penambang Timah ibarat perusahaan sekaligus tuan yang menguasai daerah terpencil. Pabriknya besar, karyawan banyak, membangun prasarana umum seperti jalan, sekolahan dan bahkan fisik kota itu sendiri. Sekolah yang dibangun merupakan sekolah elit untuk masa dan kawasan itu. Tentu yang mampu bersekolah adalah keluarga yang mampu membayar. Diataranya keluarga karyawan industri timah tersebut. Sementara keluarga lainnya umumnya miskin dan tidak mampu menyekolahkan anaknya.

Setting diambil tahun 1974 dimana negeri ini sedang gencar-gencarnya membangun di berbagai bidang. Era pembangunan juga melibatkan investor baik BUMN maupun swasta guna membuka selebar mungkin lapangan kerja dan pembangunan fisik prasarana umum. Sebuah SD Muhammadiyah yang merupakan SD tertua di Belitong yang menekankan pendidikan keagamaan dan budi pekerti nyaris ditutup. Departemen Pendidikan setempat melayangkan surat, bila tahun ajaran ini tidak mendapat murid minimal sepuluh maka sekolah harus ditutup. SD yang sangat sederhana dan minim fasilitas ini sungguh kurang mendapat perhatian dari masyarakat untuk menyekolahkan anaknya kesana.

Bagi keluarga mampu akan memasukkan ke SD Timah yang komplit prasarana, sementara yang tidak mampu anaknya langsung membantu pekerjaan orang tua baik sebagai nelayan maupun buruh. Jadi kuli sejak kecil, begitu nasib anak keluarga miskin.

Dengan gigih SD Muhamadiyah yang hanya memiliki tiga pengajar dan sepuluh siswa -yang diperoleh dengan susah payah- akhirnya mampu mengantarkan kelulusan bagi siswa-siswanya. Meski pak Harfan, kepala sekolah akhirnya wafat kelelahan di meja kerjanya, namun dibayar lunas oleh kreatifitas dan kecerdasan siswa-siswanya.

Ini adalah gambaran antara hak memperoleh pendidikan yang layak bagi setiap anak usia sekolah di negeri nan kaya ini. Sungguh ironis manakala banyak anak keluarga miskin yang tidak mampu menyekolahkan anaknya sementara keluarga kaya bebas memilih sekolah berprasarana nan lengkap. Ditambah banyaknya sekolah berprasarana lengkap di kota besar yang nganggur tidak digunakan belajar mengajar.

Lintang adalah sosok anak cerdas nan miskin yang ditinggal mati ayahnya- yang sudah single parent, dan harus menghidupi ketiga adiknya. Dengan semangatnya Lintang mampu membesarkan ketiga adiknya dan menyekolahkan anaknya mencapai prestasi di sekolah. Ikal adalah sosok anak cerdas nan romantis yang akhirnya mendapat beasiswa Sorbone Prancis –termotivasi pacarnya Aling yang hijrah ke Jakarta. Masih ada kedelapan siswa lainnya dengan berbagai bakat dan kecerdasan alam. Ada Sahara; Mahar; A Kiong;Syahdan; Kucai ;Borek ;Trapani; dan Harun.

Pesan dari film ini cukup gamblang, bahwa sektor pendidikan baik dasar dan menengah haruslah menjadi perhatian serius pemerintah. Pahlawan pendidikan memang sebenarnyalah ada yakni merek-mereka yang bekerja mendidik dan mencerdaskan bangsa ini tanpa pamrih. Tidak jarang mereka tidak menerima gaji beberapa bulan karena ketiadaan dana sekolah. Kepuasan mereka manakala anak didiknya bisa menjadi cerdas dan berketrampilan guna bekal hidupnya.

Apakah Harapan begitu sederhana tersebut begitu susah terwujud, kita bisa lihat angka-angka anak usia sekolah yang terpaksa tidak atau putus sekolah. Jangan dilihat hanya di kota besar, justru lihatlah di daerah, di pedalaman di pulau selain jawa- Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Nusa Tenggara. Bahkan pulau jawa-pun tidak urung sering masih banyak anak putus sekolah.

Pendidikan sebagai dasar dari pembentukan manusia Indonesia seutuhnya mutlak diutamakan diatas bidang lainnya. Dengan terpuruknya kondisi negeri ini sekian lama jelas mengindikasikan sector pendidikan tidaklah optimal dilaksanakan dan diperhatikan.

Indikator pendidikan bisa saja dilihat dari berapa persen orang yang masih buta huruf, berapa anak putus sekolah, berapa anak lulus sekolah dasar, menengah, tinggi dan seterusnya.

Pada tataran lebih lanjut perhatian sebuah Negara atas pendidikan bisa dihitung berapa jumlah insinyur yang diluluskan, jumlah dokter, jumlah doktor, jumlah sarjana hukum/ekonomi dan seterusnya. Statistik menjelaskan bahwa kita masih sangat kedodoran untuk berbagai parameter di atas. Dengan jumlah penduduk katakanlah 240 juta kita lihat belum 1% yang menyandang berbagai gelar/profesi tersebut.

2 comments:

andreas iswinarto said...

Buku dan Film Laskar Pelangi menghentak khalayak, menggugah para guru, menginspirasi jutaan pembaca, menghardik dunia pendidikan di negeri ini. Asrori S. Karni menyebutnya The Phenomenon.

Buku Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis barangkali dapat melengkapi gambaran tentang bagaimana anak bila diberikan perlakuan yang tepat (memberikan hati seperti dilakukan bu Muslimah) dan kesempatan untuk berpartisipasi maka anak-anak dapat menjadi subyek/pelaku perubahan sosial yang luar biasa.

Salam hangat dan silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/buku-online-gratis-anak-anak-membangun.html

Anonymous said...

Laskar pelangi banyak menggugah banyak org utk lbh maju. Buku or filmnya juga sempat menghipnotis saya utk bersyukur dgn apa yg saya dapat and sll banyak memberi...

Warm regards,
Hazelnut Luver
http://sweetinside84.blogspot.com