Kemarin ada acara ke Demak dan menyempatkan untuk napak tilas di makam Baruklinting dan Lembah Putri di belakang Masjid Agung Demak. Juru kuncen yang bernama mas Agus dengan ramah menceritakan hikayat dari Baruklinting, asal usul Rawapening dan petilasannya sampai ke Demak. Menurut beliau Baruklinting itu mukso (menghilang), meski makam/petilasan terdapat di sana. tidak terasa waktu setengah hari dihabiskan dengan diskusi dan mendengarkan wejangan dari kuncen yang masih muda tersebut, bahkan baru diberikan seorang anak beberapa hari sebelumnya. Kita diberi kesempatan untuk melihat, termasuk kayu bekas lesung, yang dibawa dari Rawapening. Kayu lesung tersebut memang tinggal bentuk papan, namun sudah disahkan Pemerintah sebagai bukti sejarah. kita juga berkesenmpatan sholat di Masjid Demak, dan Masjid Sunan Kalijaga, Demak. Di belakang masjid Demak adalah makam para Raja Demak seperti Raden Patah dan Sultan Trenggono, Arya Jenar, Arya Penangsang, Kuda-nya, dan masih banyak lagi.
Dari KabarIndonesia - Pada zaman dahulu kala, di suatu wilayah di Jawa Tengah, ada sebuah desa yang dihuni oleh orang-orang yang rajin dan tekun. Mereka hidup dengan rukun dan saling membantu. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semua senang bergotong royong dalam melakukan tugas bersama.. Seperti pada suatu pagi, ada seorang penduduk yang memiliki hajat pesta syukuran. Tetangga-tetangga pun banyak datang berdatangan. Para lelaki menyumbangkan tenaga dengan membangun tenda tratag, mempersiapkan hiburan gamelan, dan sebagainya. Sedangkan kaum perempuannya pun dengan senang hati berkumpul untuk membantu mempersiapkan memasak. Mereka merencanakan untuk menyediakan makan yang lezat dan enak. Untuk itu, diperlukan berbagai macam peralatan memasak, seperti pisau, panci, dan banyak lagi. Maka para perempuan pun membawa pisau masing-masing dari rumah.
Ada seorang ibu yang sedang mengandung, yang ingin ikut membantu dalam kegiatan memasak bersama itu. Dia pun bermaksud membawa sebuah pisau dari rumahnya. Tetapi sayangnya dia tidak dapat menemukan sebuah pisau pun di dapurnrya. Maka diputuskannya untuk meminjam pisau dari suaminya. Dia bergegas menemui suaminya, meminta izin untuk meminjam pisau.
"Pak, bolehkan aku meminjam pisaumu?" tanya si istri lembut.
"Pisauku? Untuk apa, Bu?" suaminya ganti bertanya heran. "Bukankah di dapur Engkau memiliki beberapa pisau, mengapa Engkau meminjam pisauku?" sambungnya. "Aku memang memiliki beberapa pisau. Tetapi entah mengapa aku tidak bisa menemukannya barang satu pun. Aku memerlukannya untuk membantu tetangga kita, untuk memasak bersama. Boleh, ya, Pak?" kata si istri.Suaminya berpikir sejenak, menghela nafas, kemudian akhirnya berkata, "Baiklah. Engkau boleh meminjam pisauku. Tetapi ingat, Bu, jangan sekali-kali Engkau menyelipkannya di dadamu. Berbahaya. Apalagi mengingat Engkau sedang mengandung anak kita. Daripada terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, jagalah selalu pisauku ini."
Si istri mengangguk menurut. "Baik, Pak, terima kasih. Pisau ini akan kujaga, tidak akan hilang." katanya. "Kalau begitu aku berangkat dulu ke rumah tetangga, ya, Pak."
"Baik, Bu, berhati-hatilah. Sekali lagi, jangan Kausimpan pisau itu dengan cara menyelipkannya di dadamu." Si istri kembali mengangguk dan beranjak pergi menuju ke rumah tetangganya. Maka perempuan itu pun mulai memasak bersama dengan perempuan-perempuan lain. Pada waktu memasak, semuanya sibuk, dan tak ada tempat untuk menyimpan pisau. Tanpa disadari, perempuan tadi menyimpan pisau suaminya di dadanya. Rupa-rupanya dia melupakan nasihat suaminya tadi. Dan karena dirasa semuanya baik-baik saja, dan ketika kegiatan memasak sudah selesai, dia pun pulang ke rumahnya.
Beberapa bulan berlalu, tibalah waktunya bagi perempuan itu untuk melahirkan. Alangkah terkejutnya dia, ketika mendapati anaknya berwujud seekor ular! Bukan seorok bayi, melainkan binatang melata yang begitu panjang. Kedua orang tuanya segera memahami, bahwa ini adalah akibat perbuatan si istri yang menyelipkan pisau di dadanya sewaktu mengandung. Maka segera setelah kelahiran anaknya itu, mereka berdoa meminta petunjuk kepada Yang Kuasa, apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Yang Kuasa pun memberi jawaban atas pertanyaan mereka, "Pisau itu bukan pisau biasa, dan anakmu pun bukan ular biasa. Dia adalah Baruklinting, salah satu utusanku. Bawalah dia ke bukit di desa, dan biarlah dia bertapa dengan cara mengelilingi bukit itu dengan tubuhnya. Seluruh tubuhnya haruslah dapat mengelilingi bukit itu."
Maka berangkatlah Baruklinting ke bukit desa, dan mengelilingi bukit itu untuk bertapa. Walaupun bukit itu tidak begitu besar, dan tubuh Baruklinting pun cukup panjang, akan tetapi seluruh panjang tubuhnya belum mencukupi untuk mengelilingi bukit tersebut. Ujung kepalanya belum dapat bertemu dengan ujung ekornya, hanya kurang beberapa sentimeter. Tetapi Baruklinting bertekad untuk mematuhi perintah Yang Kuasa. Maka dia pun menjulurkan lidahnya, dan dengan demikian seluruh bukit itu dapat dijangkaunya.
Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan pun berganti. Baruklinting bertapa selama bertahun-tahun lamanya. Kedua orang tuanya sudah meninggal, dan orang-orang yang hidup di desa pun sudah banyak yang berganti. Tanah tempatnya bertapa, bahkan tubuhnya sendiri, mulai tertutupi rumput.Suatu saat, penduduk desa itu berniat untuk mengadakan kegiatan bersih desa. Sebagai ungkapan syukur atas segala rezeki yang diterima, juga permohonan agar dijauhkan dari marabahaya, penduduk desa akan membersihkan seluruh pelosok desa. Maka setiap orang pun bergotong-royong untuk mengikuti kegiatan tersebut. Ada yang menyiangi rumput, merapikan tanaman, bahkan ada yang membersihkan sungai. Ada juga beberapa warga yang sampai di kaki bukit untuk membersihkan daerah itu. Mereka bekerja dengan menggunakan celurit, parang, dan lain-lain.
Siang itu, saat melepas penat, beberapa penduduk beristirahat sambli duduk-duduk di kaki bukit. Tanpa disengaja, seseorang menancapkan parangnya ke tanah. Betapa terkejutnya dia dan penduduk desa lain, karena mendapati darah keluar dari tanah yang mereka duduki. Mereka pun segera membersihkan rerumputan yang ada, dan mereka mendapati seekor ular mengelilingi bukit tersebut.
"Kawan-kawan, marilah kita sembelih ular ini, dan dagingnya kita buat pesta untuk seluruh desa!" ajak seorang dari mereka. Semua menyetujui rencana itu. Kaum perempuan kembali disibukkan dengan kegiatan memasak bersama, sedangkan kaum laki-laki juga sibuk mempersiapkan keperluan pesta. Mereka bergotong royong bersama. Maka mereka pun menyembelih ular itu, memotong-motongnya menjadi bagian kecil-kecil untuk disantap bersama. Daging ular itu begitu besar, sehingga setiap warga desa dapat menikmati masakan daging ular tersebut.Dari sekian banyak potongan daging-daging kecil itu, tanpa disadari, ada sepotong daging yang menjelma menjadi seorang bocah laki-laki. Dialah Baruklinting, utusan Yang Kuasa, yang belum menyelesaikan pertapaannya. Dia kurus, dekil, dan penuh kudis di sekujur tubuhnya, bahkan menebarkan bau yang tidak sedap.
Kehadirannya begitu mencolok di tengah-tengah pesta desa, di mana orang-orang lain berdandan rapi dan harum. Mereka makan dan minum sepuasnya, berpesta bersama. Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa, dan menemui beberapa orang warganya.
"Tuan, nampaknya Tuan sedang berpesta. Bolehkan saya meminta sedikit makanan?" tanyanya kepada seorang laki-laki gagah. Lelaki itu mengernyitkan dahinya, lalu menutup hidungnya karena bau yang tidak sedap dari tubuh Baruklinting. "Siapa kau?" laki-laki itu balas bertanya."Namaku Baruklinting, Tuan. Saya melihat ada banyak makanan di sini, dan saya lapar sekali, Tuan. Kasihanilah saya," katanya memelas.
"Baruklinting? Aku tidak mengenalmu. Engkau bukan penduduk desa ini. Dengan tubuh dekil, kudisan, dan bau seperti itu, Engkau tidak pantas makan bersama-sama dengan kami. Pergilah!" laki-laki itu mengusirnya.
Baruklinting kemudian mendekat kepada seorang perempuan di sana."Nyonya, bukankah Nyonya yang memasak semua makanan ini?" tanyanya lemah. Perempuan itu memandang Baruklinting dengan heran. Dia pun segera menutup hidungnya, tidak tahan dengan bau tubuh Baruklinting. "Memang betul, kami kaum perempuan yang memasaknya. Kaum lelaki mendepatkan seekor ular yang besar, cukup untuk dimakan seluruh penduduk desa ini. Maka kami pun memotong-motong daging ular itu dan memasaknya" jawabnya. "Bolehkah aku minta sedikit masakan Nyonya?" tanya Baruklinting. Perempuan itu menggeleng.
"Tidak, tidak. Pergilah kau, tubuhmu kudisan dan bau. Selera makan penduduk desa ini akan hilang karenamu. Pergilah!" perempuan itu pun mengusir Baruklinting pergi.
Untuk ketiga kalinya, Baruklinting mendekat ke arah penduduk desa. Kali ini dia menuju ke seorang anak laki-laki. "Kak, bolehkah aku ikut makan bersamamu? Maukah engkau membagi sedikit makananmu untukku?" tanyanya. Anak laki-laki itu terkejut, dan langsung pergi tanpa menjawab. Dia merasa takut dan jijik melihat rupa Baruklinting. Baruklinting merasa sedih, karena penduduk desa itu tidak mau berbagi, dan hanya menilai seseorang berdasarkan penampilan luar saja. Semua hanya mementingkan pesta dan senang-senang, tanpa menghiraukan orang yang kekurangan.
Maka Baruklinting kemudian mengambil sebatang lidi dan membawanya ke tengah-tengah pesta. Orang-orang merasa heran atas tingkah lakunya. Baruklinting menancapkan lidi itu di tanah, kemudian berkata dengan lantang, "Hai kalian semua, kalian yang gagah dan pemberani, coba lihat ke sini. Aku mengadakan sayembara bagi kalian : Siapa yang bisa mencabut lidi ini, akan mendapat hadiah!" kata Baruklinting dengan entengnya. Setiap orang di situ terperangah. Mencabut sebatang lidi dari tanah, yang ditancapkan oleh seorang bocah kurus dekil, tentu bukanlah hal yang sulit. Mereka adalah orang-orang yang sehat dan berbadan tegap. Dan setiap orang menginginkan hadiah.Maka satu per satu mulai mencoba mencabut lidi kecil itu. Tetapi anehnya, tidak ada satu orang pun yang mampu melakukannya. Dari anak kecil, pemuda kekar, ibu rumah tangga, sampai kakek-kakek, semua tidak mampu mencabut lidi itu. Lidi tersebut seolah-olah memiliki akar kuat yang menancap di tanah itu.
Ketika setiap orng sudah menyerah, maka Baruklinting pun maju ke depan dan berkata "Wahai semua penduduk desa, ketahuilah, aku adalah utusan dari Yang Kuasa yang sedang bertapa di kaki bukit. Pertapaanku telah kalian ganggu. Kalian memasak dagingku untuk pesta ini. Dan yang lebih memprihatinkan, kalian tidak mau berbagi kepada sesama yang kekurangan. Seharusnya kalian malu, karena menilai anak kudisan tidak layak makan bersama, padahal dia juga ciptaan Tuhan." Setiap orang merasa sadar dan malu."Maka hari ini Yang Kuasa akan menghukum kalian."
Baruklinting mecabut lidi tersebut, dan dari lubang bekas lidi itu memancar air. Air mengalir terus-menerus, bahkan mulai membanjiri pemukiman penduduk. Mereka pun berlarian menyelamatkan diri. Tetapi terlambat, air sudah menggenangi seluruh daerah itu, menjadi sebuah rawa. Dan sejak saat itu, dari kata amba yang berarti luas, dan rawa, daerah di sekitar itu dikenal dengan nama Ambarawa. Itulah asal mula nama Kota Ambarawa, yang mengingatkan kita pada legenda Baruklinting dan nasihatnya untuk tidak membeda-bedakan sesama yang membutuhkan pertolongan. (Diceritakan kembali oleh Lucia)
Tuesday, July 06, 2010
Hikayat Baruklinthing
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment