Seorang abdi dalem –sebut saja pak Karyo- di kraton Jogya yang sudah mengabdi sejak umur 20-an tahun sampai umur 50-an tahun , bergaji 30 ribu perbulan terlihat di jalanan. Pak Karyo, harus mengayuh sepeda tuanya dari luar kota menuju kraton yang berjarak lebih dari 20 km. Setiap subuh pak Karyo berangkat kerja ke kraton sebagai abdi dalem, sore hari baru pulang. Demikian dilakukan bertahun-tahun. Untuk mendukung hidupnya pak Karyo juga berkebun di pekarangannya yang tidak seberapa luas. Kebunnya ditanami cabe dan sayuran lainnya. Bu Karyo bekerja serabutan layaknya perempuan di kampung. Ya mburuh, nyuci atau mencari kayu bakar.
Di kraton pak Karyo mendapat jatah makan siang berupa nasi, sayur, sambal dan lauk tahu atau tempe. Pagi hari sarapan hanya minum the tawar dan rokok lintingan. Untuk rokok pak Karyo biasanya membeli tembakau dan cengkehnya lantas dibuat lintingan dengan lembaran kertas. Pak Karyo memiliki 2 anak yang ber-sekolah. Guna membiayai sekolahnya anak-anaknya juga bekerja sepulang sekolah seadanya. Ya mengail, mencari kayu, atau membantu-bantu pekerjaan tetangga yang membutuhkan tenaganya.
Sementara di kampung lainnya, seputaran pinggiran Solo, kita masih akrab menemui station radio dengan gelombang SW/MW. Kalau di kota besar stasiun radio-nya kan bergelombang FM, dan hampir tidak ada lagi yang nyetel MW/SW tadi. Nah di kampung tuh, masih banyak radio-radio tadi, dengan penyiar yang umumnya bukan paruh waktu. Pemasukan guna mendongkrak operasional ya hanya dari iklan yang tidak seberapa. Stasiun radio tadi harus bersaing melawan TV atau radio FM yang jauh lebih besar dan kuat. Namun kita melihat bahwa radio SW/MW masih terus berjalan dan mengudara. Entah sampai kapan.
Lain lagi kehidupan beberapa rakyat kecil yang hidup di gunung kidul sono. Tanahnya kering dan gersang, sulit untuk menyuburkan padi. Kebanyakan mereka bertanam singkong dan setelah panen dikeringkan menjadi gaplek. Guna makan sehari-hari diolah sedikit beras dan dicampur tepung gaplek. Jadilah itu menu makan mereka yang sehari kadang hanya 1x makan. Sangat-lah ber-untung bila mereka mampu 3x makan.
PENGABDIAN
Pengabdianlah yang tetap mendorong pak Karyo terus mengayuh sepeda bututnya menuju kraton sebagai abdi dalem. Dengan pengabdian maka dengan sehari makan sekali bisa terus menghidupi tubuh renta-nya. Pak Karyo tidak peduli dengan harga-harga sembako yang naik tajam, bbm mahal, transport mahal atau gula yang makin langka. Pernah sepedanya rusak rantainya dan pak Karyo bingung bagaimana memperbaiki atau membeli rantai baru. Untunglah tetangga-nya seorang mahasiswa membantu memberikan rantai sepedanya yang tidak terpakai.
Mengabdi pada hidup-lah yang membuat orang kampung di gunung kidul terus bertahan. Meskipun hanya 1 atau 2x makan nasi campur gaplek, anugerah hidup tetap menopang tubuh-tubuh kurus untuk terus ke ladang. Terus dan terus sampai akhir jaman. Bisa menyekolahkan anaknya sudah merupakan anugrah tak terkira bagi kebanyakan orang kampung. Kebanyakan hanya mengenyam bangku SD atau SMP. Bisa lulus SMA atau kuliah adalah hal luar biasa bagi mereka.
Mengabdi agar terus bisa bekerja pula yang mendorong penyiar dan pengelola radio bergelombang SW/MW di kampung, tetap mengudara dan berbuat sebisanya. Sangat sulit bagi radi-radio tadi menambah peralatan atau membeli perangkat agar bisa mengubah menjadi gelombang FM misalnya. Ibaratnya pemain gurem, dalam persaingan yang ketat akan semakin berat bersaing dan cenderung terpinggirkan. Namun meski di pinggir tidak berarti harus mati kan.
NRIMO DAN PASRAH
Pak Karyo selalu nrimo dan pasrah dengan apa yang dia terima. Gaji 30 ribu selalu utuh dibawa pulang dan digunakan untuk keperluan keluarga. Tidak pernah ada keinginan sesuatu yang di luar jangkauannya. Bila hari itu ia bisa bekerja dengan baik, menikmati makan siang sayur bayam dan tempe dan pulang sore hari cukuplah baginya. Hari itu akan ditutup dengan minum the tawar dan rokok linting- sebelum pergi tidur dan bangun esok hari untuk kegiatan selanjutnya. Bila hari libur barulah disempatkan ke kebun merawat tanaman sayurannya.
Warga gunung kidul-pun cukup nrimo dan pasrah dengan apa yang bisa dinikmati. Kepasrahan yang sama juga dilakukan oleh para penyiar radio gurem yang mengudara seadanya dan mendapat pemasukan sekadarnya. Kepasrahan mereka tidak berarti mereka tidak mau berusaha dan mengubah menjadi lebih baik. Sampai tahap maksimal hanya rutinitas itulah yang menemani kehidupan mereka.