Dalam perjalanan ke kantor saya terusik melihat kondisi jalan kita yang makin macet ditimpali semrawutnya jalanan dengan motor, kaki lima, bus ngetem atau sampah berserakan dimana-mana. Hari demi hari berlalu makin nampak kesemrawutan bertambah parah tanpa adanya suatu disain, upaya, program pemerintah baik daerah atau pusat membuat keadaan lebih baik.
Sejak tahun 1992 saya masuk Jakarta dan Bekasi, tidak banyak perubahan dilakukan kecuali kemunduran dan makin banyaknya orang menyerbu Jakarta, semuanya dengan niat mencari kehidupan karena di tempat asalnya tidak banyak lapangan kerja. Ketimpangan itulah yang melanda kita dari dulu dan semakin tajam hari ini. Kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibukota demikian slogan yang akrab kita dengar. Kehidupan di Jakarta sangatlah keras dan kejam sehingga terciptalah manusia-manusia egois nan temperamen. Sedikit saja konflik akan berakibat amarah-amarah terlontar.
Transportasi yang ada semakin tidak nyaman. Bus-bus tahun 1970-an masih banyak yang dioperasikan, kok yo lolos kir yaa bus umur 25 tahun dengan asap buang hitam pekat bersilewaran bahkan lewat samping Istana Negara. Kondisi jalan lebih parah lagi dimana setiap saat jalan tol dalam kota Jakarta selalu padat merayap nggak ada jedanya dari pagi, siang, sore maupun malam hari. Kalau mau lancar barangkali kita harus lewat jam 05.00 subuh atau jam 00.00 malam, baru tuh jalanan lancar.
Ada juga goro-goro dari pemerintah yakni dengan membangun sarana busway yang mengambil satu ruas jalan di jalur padat. Sudah jalanan sempit dibeton lagi dan banyak pepohonan yang ditebang demi area busway. Adalagi monorail yang pembangunannya hampir dua tahun dan tidak kunjung selesai, hanya mempersempit jalan dan menambah kemacetan.
Akibatnya masyarakat beralih mengendarai kendaraan pribadi ya mobil atau motor yang jumlahnya jutaan. Sungguh kualitas kehidupan yang ada terus semakin menurun karena biaya sosial yang makin tinggi, stress, konflik dan beratnya menjalani kehidupan keseharian.
Lapangan kerja yang relative sedikit tidak dapat menampung jumlah lulusan dari perguruan tinggi. Birokrasi nan rumit menghambat datangnya investasi asing sementara pebisnis lokal tidak kunjung mampu bersaing di tataran global. Kita melihat proses pemiskinan banyak terjadi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Di kota keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anak akan semakin berat kehidupannya. Di desa sawah dijual untuk kuliah, usai lulus nganggur dan menambah beban berat keluarga.
Generasi muda kita kurang minat pada bidang-bidang produktif macam sains, kedokteran, teknologi maupun industri, dan lebih hingar bingar dengan model profesi instant macam dunia entertainment—nyanyilah, dancinglah, DJ-lah. Band band pemula booming dan menjadi idola kaum muda kita. Kaum muda lebih banyak yang nongkrong di cafĂ©, mall ketimbang meneliti dan menggeluti buku di perpustakaan, laboratorium maupun kampus. Generasi muda kita telah kehilangan identitasnya dan terbungkus dengan gaya kebarat-baratan yang tidak jelas arahnya.
Pemerintah kita puluhan tahun berkutat dengan soal birokrasi dan formalisasi ketimbang tindakan konkrit membangun dan mensejahterakan rakyatnya. Slogan berantas KKN- kolusi, korupsi dan nepotisme tinggalah slogan dan tidak pernah jelas siapa koruptornya, sementara asset dan anggaran Negara benar-benar raib, sungguh suatu fenomena yang sangat aneh.
Akhirnya gempa bumi, bencana alam, banjir, gunung merapi, gas lumpur-pun datang bertamu dan meramaikan pesta hiruk pikuk negeri nan gamang ini. Bentar lagi akan bergabung tambahan tumpukan hutang luar negeri yang akan turut bernyanyi di pesta ini.
Pesimistik, optimistik hanyalah abstraksi biasa dan bakal tidak dapat menutupi kenyataan dan realitas yang ada. Dengan seabreg realitas di sekitar kita, masa depan akan tak terhindarkan. Apakah kehidupan hanya akan kita nikmati saat ini saja ? atau masih adakah tanggung-jawab terhadap anak cucu generasi mendatang? Tengoklah hari esok dengan nurani.
Thursday, June 15, 2006
Masa Depan Kita
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment