Pagi ini karena harus mampir ke suatu tempat menyelesaikan suatu urusan saya bermaksud menuju kantor. Berhubung jaraknya tidak terlampau jauh saya mencoba memanggil bajaj. Tentunya kita semua kenal belaka makhluk bajaj itu seperti apa. Ya benar, sebuah vespa yang dimodifikasi dapat memuat 3 orang termasuk sopirnya. Bajaj pertama yang saya panggil menolak serya berujar-- maaf saya tidak tahu dimana setiabudi yang bapak tuju. Nanti saya tunjukkan jalannya teriak saya, terlanjur deh sang bajaj sudah ngacir. Kepikir juga mau ngambil taxi, tapi tidak lama sebuah bajaj melintas lagi dan saya panggil. Pak setiabudi berapa ya? saya tanya, lima belas ribu jawab sopir bajaj ber-baju lusuh. Wah itu sih tariff taxi argumenku, tujuh ribu ya—sepuluh deh jawabnya dengan mimik datar. Akhirnya setelah perjuangan alot tercapai kesepakatan delapan ribu rupiah.
Sopir bajaj itu sudah berumur dengan baju yang sangat lusuh, mesin bajaj yang berisik dan tidak bisa berjalan kencang—jalannya lambat kayak siput. Di tengah Jakarta jam 10 pagi terasa begitu panasnya terik matahari menerobos atap bajaj. Berkali-kali bajaj berhenti karena macet dan giliran jalan lengang bajajpun berjalan pelan, karena memang tidak bisa cepat. Rasanya hanya berlari sekitar 20 km per jam. Dari belakang saya perhatikan bapak tua sopir bajaj dengan kulit kecoklatan terbakar matahari setiap hari. Wajahnya datar dan sabar menapaki jalanan ibukota yang begitu semrawut. Pantaslah perilaku bajaj suka seenaknya karena memang dituntut begitu. Kalau bajaj antrian dengan mobil lainnya selain panas, asap dan lama menempuh jarak juga target setoran bisa tidak tercapai. Makanya sudah alami bajaj akan jalan berkelok-kelok, menyerobot jalan karena tuntutan keadaan.
Di saat kita berada dalam mobil pribadi kita selalu menilai—ah sopir bajaj ngga tahu aturan, main serobot seenaknya, jalan pelan dan ngga mau antri. Kita melihatnya dari sudut pandang pengendara mobil pribadi yang nyaman ber-AC dan aman bahwa bajaj adalah biang kerok jalanan dan kerap bikin macet jalan. Belum kalau kebetulan nyerempet kendaraan kita wuih sebelnya—boro-boro mau ngganti, paling banter hanya pasang badan, maaf pak tidak sengaja—maaf saya belum dapet tumpangan dan seabreg kalimat klise lainnya. Paling banter kita gondok dan siap-siap merogoh kocek untuk memperbaiki bekas serempetan.
Sebaliknya dari dalam bajaj sudut pandang kita akan berubah drastis. Begitu beratnya keseharian penarik bajaj, panas, macet, penumpang rewel, mesin bajaj tua, berisik, polusi dan seabreg ketidakenakan lainnya, masak nggak boleh selap selip, pan kitanya kecil mana beroda 3 lagi. Situ enak di dalam mobil mewah ber-AC, nyaman, aman duduk bersama cewek cantik lagi, nah lho.
Sudut pandang kita memang bakal subyektif dalam melihat dunia di luar kita. Dibutuhkan suatu pemahaman komprehensif nan obyektif dalam melihat setiap hal. Sebagaimana sang pemilik mobil pribadi melawan sopir bajaj di atas. Itulah pangkal timbulnya konflik manakala setiap orang memegang kebenaran dari sudut pandangnya. Tidak berlebihan sopir bajaj berperilaku seenaknya karena keadaan mendorongnya berbuat seperti itu. Sebaliknya tidak berlebihan pula sang pemilik mobil mewah menuntut jalanan tertib karena merasa membayar pajak, dan seterusnya. Ah jadi ingat pelajaran SD saya bahwa ternyata kita haruslah memiliki pengendalian diri. Jadi inilah salah satu kuncinya agar benturan perasaan benar kita terkendali. Hmm seandainya semuanya memiliki pengendalian diri yang baik, alangkah damainya hidup ini.
Pak pak sudah sampai, kata sopir bajaj membuyarkan lamunan saya. Oh yaa ternyata saya sudah di setiabudi dimana kantor berada. Ini pak sepuluh ribu, kembalian silakan diambil saja kata saya sambil bergegas keluar bajaj. Terima kasih pak, balas sopir bajaj berwajah coklat terbakar sambil melanjutkan tugasnya mengelilingi jalanan ibukota mengejar setoran.
Wednesday, July 19, 2006
Dari Sudut Mana
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment