Tuesday, October 10, 2006

Pertanian

Negara kita “sempat” terkenal dengan sebutan negara agraris karena luas lahan produktif yang dimilikinya. Dengan bekal luas lahan dan sumber daya manusia maka mestinya kita bisa lebih optimal dalam menghasilkan produk pertanian ketimbang yang kita capai hari ini. Produk pertanian tersebut bisa berupa beras dan sejenisnya, buah, sayur atau singkatnya produk hasil bumi. Dalam konteks ini barangkali bisa termasuk disebutkan pengembangan produk pendukung-nya seperti pupuk, peralatan pengolah lahan, peralatan panen, peralatan pengupas gabah dan seterusnya.

Bicara pertanian pada dasarnya sangatlah luas lingkupnya, sehingga kita fokuskan saja pada budi daya beras yang merupakan makanan pokok kita. Belum lupa dalam ingatan kita di era 1980-an kita pernah berswasembada beras. Artinya produksi beras mencukupi bagi kebutuhan nasional dan lebihnya dapat diekspor. Bila produksi cukup selain terjaminnya kebutuhan pangan juga tentunya harganya akan dapat dikontrol, atau diserahkan mekanisme pasar.

Sebagai Negara yang berkutat mengolah komoditas beras puluhan tahun sudah semestinya kita menguasai seluk beluk mulai dari pembibitan, penyemaian, penanaman sampai pemanenan. Idealnya kita haruslah memiliki berbagai jenis padi mulai dari yang umur panen pendek, bulir padinya banyak, yang rasanya enak dan seterusnya. Produktifitas-nya mudah diukur dengan salah satunya dengan menghitung berapa ton padi/gabah dihasilkan untuk setiap hektar lahan misalnya. Rasanya untuk produktifitas perhektarnya kita masih jauh di bawah Thailand, Taiwan atau Jepang misalnya dan masih sangat luas bisa ditingkatkan lagi. Makanya tidak heran beras Thailand merajalela di pasar kita.

Dengan banyaknya ahli pertanian kita, termasuk fakultas pertanian di berbagai perguruan tinggi bukan mustahil mengembangkan bibit padi unggul yang mudah tanam namun hasilnya optimal. Sudahkah hal ini kita capai, nampaknya belumlah menggembirakan.

Aspek pendukung pertanian misalnya pupuk juga belum kunjung tuntas dalam arti mudah diperoleh dengan harga terjangkau oleh petani kita. Sering terjadi pupuk langka keberadaannya dan kalaupun ada harganya selangit. Kenapa hal ini belum menjadi perhatian utama kita.

Fakta di lapangan bahwa kondisi petani kita masih jauh dari sejahtera. Terlampau banyak petani yang kehidupannya marginal dan belum menikmati peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pernah ada yang namanya koperasi unit desa dan koperasi lainnya yang dimaksudkan membantu petani dalam hal pengadaan pupuk maupun penyerapan hasil panen, namun terakhir kok gaungnya mulai hilang.

Mustahikah bila sector pertanian diangkat menjadi backbone kita, menjadi tulang punggung perekonomian kita. Dengan berbagai modal yang dimiliki mestinya hal ini bukanlah mustahil. Fokuskan pada riset dan pengembangan bibit padi sampai dihasilkan berbagai jenis bibit unggul sesuai kebutuhan. Fokuskan pada pembangunan lebih banyak pabrik pupuk dan jalur distribusinya agar pupuk mudah dan murah diperoleh. Kembangkan terus teknologi pertanian sehingga konteks pertanian berubah menjadi konteks yang makin canggih dan berteknologi. Janganlah tahun demi tahun teknologinya usang tanpa ada perubahan dan peningkatan.

Wujudkan semuanya dengan hal konkrit dan tindakan nyata di lapangan. Janganlah pertanian hanya menjadi sector kelas dua yang penanganan dan pengelolaan puluhan tahun stagnant belaka. Diperparah dengan saling berlomba melakukan import beras yang semestinya bisa dihindari dan dananya bisa dialihkan pengembangan produk pertanian.

No comments: