Heboh! itulah situasi kemarin ketika sepeda motor mesti lewat jalur kiri. Sebelumnya motor dengan leluasa bermanuver ke kanan, kiri, nyelip sana sini dan bahkan mengambil lajur lawan. Akhirnya meski agak lambat mulai disadari bahwa motor atau kendaraan roda dua semestinya punya jalur sendiri. Malaysia saja sudah lebih dulu memisahkan roda dua, roda empat bahkan pejalan kaki. Kalau di kita sangat sulit mencari jalur khusus pejalan kaki atau trotoar karena diatasnya sudah berdiri kaki lima bahkan termasuk tadi diambil sebagai jalur motor. Nah motor lagi pan biangnya. Mestinya sebelumnya sudah ada antisipasi ketika penjualan motor booming tembus di atas 5 juta per tahun. Dan industri motor juga bukan kemarin sore namun sudah berjalan sekian tahun terakhir. Toh ada pajak kendaraan motor di sana kan. Just utilize it as it should be. Namun inilah mindset klasik kita, selalu bertindak atas dasar kondisi terpojok atau kepepet. Kondisi jalanan semrawut, motor berlaku bak pemilik jalan pun kecelakaan semakin tinggi, barulah terpikirkan pembagian jalur.
Other cases, tentunya kita sekarang juga disibukkan dengan dibukanya jalan-jalan baru, baik arteri maupun jalan tol. Hal ini termasuk pembangunan fly over atau underpass guna lebih memperlancar akses lalu lintas. Namun tidak kalah seru adalah pembangunan tersebut sering terbentur belum tuntasnya pembebasan lahan antara pemerintah dengan warga pemilik lahan. Sering didapati jalan sebagian sudah dibangun dipatok warga yang merasa belum adil penggantian harga lahannya. Akibatnya terjadi pemborosan dan tertundanya proyek yang akhirnya menghambat pembangunan itu sendiri. Parahnya hal ini sering berjalan berlarut-larut.
Banyak lahan atau tanah entah itu dekat jalan tol atau arteri atau di pinggiran kota yang marak atau dihuni rumah-rumah “liar”. Kita namakan demikian karena umumnya kondisi rumah tersebut serampangan atau hanya semi permanent atau yang jelas itu adalah lahan Negara yang bukan untuk peruntukkan rumah. Kita juga yakin bahwa rumah-rumah tersebut tentunya tidak berdokumen resmi/bersertifikat. Anehnya jaringan listrik dan telepon bisa masuk ke lokasi bahkan terbentuk RT/RW dan kelurahan. Terjadilah bias dan persepsi ganda atas berdirinya perumahan tersebut. Ini hanyalah bentuk dari bom waktu ketika nantinya perkampungan makin ramai dan Negara hendak menggunakannya bakal timbul konflik sangat serius. Kenapa tidak pada awalnya ditegaskan bahwa tidak diperkenankan mendirikan bangunan apalagi sebagai tempat tinggal atas lahan Negara tersebut. Jadi banyak pihak yang memang tidak “clear” dari awalnya. Lagi-lagi hal ini menambah panjang daftar kultur dan warna samar kita.
Perencanaan, itulah yang sering kita abaikan. Kita terlanjur bertindak atas dasar kebijakan instant dan malas menata landscape maupun tata bangunan kita. Jadilah sebagian tadi merupakan ajang suka-suka belaka dan kesemrawutan bertata kota. Ini merupakan hal yang teramat kompleks dan melibatkan hampir semua aspek kehidupan social, hokum, ekonomi, tata kelola tanah dan bangunan maupun aspek kemasyarakatan lainnya.
Secara meluas dalam berbagai forum atau ajaran manajemen terlampau sering di ungkap mengenai Plan, Do, Check and Action, selalu ada plan-nya. Bahkan masyarakat kita begitu kental dengan plan ini, terbukti setiap ada masalah yang timbul selalu dibentuk tim pencari fakta, atau tim kecil lainnya dan seterusnya. Tugas dari tim ini salah satunya tentunya planning. Ironisnya pada tataran bernegara, aspek planning kita justru seringnya keteteran. Nasi sudah menjadi bubur, nah tinggal sekarang mau diapakan ini bubur. Bagaimana caranya agar tidak mubazir dan terbuang. Memang butuh effort dan upaya lebih berat ketimbang sesuatunya terencana dari awalnya. So, segala hal yang sudah terjadi yakni back log kita mesti diupayakan tidak mubazir, sementara yang masih ke depan let it put on the right track. Selalu rencanakan segalanya dari awal.
Wednesday, December 06, 2006
PLAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment