Mengaku salah sungguh jarang terjadi di negara ini. Ketika banjir raya melanda Jakarta tempo hari tak seorangpun mengaku bersalah. Semua merasa tidak salah dan menyalahkan alam sebagai biangnya. Hmm aneh yaa padahal alam justru memberikan kita berbagai kehidupan ini. Ketika pembangunan jalan terbentur pembebasan lahan dan warga berlomba menutup jalan yang sedang dibangun maka tidak ada yang mengaku salah dan dibiarkan saja terbengkelai, kalau ditanya enteng dijawab warga tidak setuju harga lahan dan seterusnya.
Apabila mengaku salah lazimnya seseorang memang harus mundur dan kehilangan jabatan. Sudah menjadi semacam kultur bahwa hampir mustahil orang dinegeri ini rela melepaskan kursi empuk yang sudah diduduki sekian tahun. Secara riil bisa saja ini dimengerti karena begitu lepas dari jabatan empuk, lantas mereka harus kerja dimana. Berbeda jika satu atau dua pejabat yang katakan sudah memiliki bisnis mungkin siap mundur dan menekuni bisnisnya manakala terbentur suatu kesalahan. Namun bagaimana dengan sebagian besar pejabat/pegawai yang memang hanya itu profesinya semata. Normalnya bahwa siapapun tidak siap hidup susah dan mati-matian bertahan di kursi empuk yang didudukinya.
Lebih sulit lagi bila bentuk kebijakan atau suatu keputusan diambil secara kolektif baik oleh suatu institusi pemerintah atau swasta, sementara itu keputusan tadi berdampak terhadap masyarakat luas dan lingkungan. Keputusan membangun busway misalnya memiliki dampak lingkungan. Juga puluhan atau ratusan keputusan atau pemberian ijin perumahan baru termasuk di atas lahan serapan air atau situ/danau. Sebaliknya bantaran kali yang dihuni ratusan rumah liar justru dibiarkan atau kurang tegas menertibkannya.
Mengaku salah juga mustahil dilakukan oleh mereka-mereka yang umumnya bermain “safe” namun ketika terdapat keuntungan dari suatu keputusan/proyek berlomba saling menerima. Contoh gampangnya terjadi pada ijin trayek angkot yang terus ditambah karena adanya ijin berarti ada uang masuk/sogokan atas trayek yang dibuka. Ketika masyarakat mengeluh macetnya jalan karena membludaknya angkutan maka terbukti tidak ada baik orang atau institusi bersuara merekalah yang memberi ijin dan seterusnya.
Itulah warna birokrasi kita yang selalu tidak bisa dipahami oleh logika maupun masyarakat luas. Wewenang dan kuasa ada pada mereka namun dampak yang merugikan dari produk atas wewenang tersebut sering tidak mereka akui. Ada lagi hal mendasar yang bisa kita suarakan, sederhana saja, kemana perginya trotoar bagi pejalan kaki? Kenapa untuk berjalan kaki saja susahnya setengah mati. Mengapa tidak ada jalur khusus buat sepeda, motor roda dua, truk berat dan trailer, kendaraan pribadi ataupun bus serta angkutan umum. Rasanya segala jenis kendaraan dan pejalan kaki ditimpali kaki lima tumplek blek di jalur yang sama. Ya kemana lagi dampaknya kalau tidak menjadi macet dan semrawut.
Baiklah kita susun urutannya barangkali begini, Negara kita pada awalnya kaya raya, dikelola secara salah dan dikorupsi, pejabat dan pegawai negeri merasa nyaman, bekerja enak dan gaji tiap bulannya serta mustahil mesti mengundurkan diri meskipun berbuat salah. Sementara tatanan ruang dan fisik buruk, sumber daya alam perlahan habis, basic industri tidak ada, konsumsi tinggi, gengsi, sementara pendapatan terbatas ~ maka korupsi lagi. Berikutnya pengangguran makin tinggi, hidup susah, kondisi fisik di perkotaan semakin semrawut, semua berebut menggunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan golongan, semua bermain aman dan tidak pernah mau mengakui sesuatu dampak merugikan sebagai output dari kebijakannya dan seterusnya.
Kita hampir meyakini bahwa budaya mengaku salah dan mundur dari jabatan akan menjadi barang langka di negara ini entah sampai kapan, sampai segala permasalahan sosial terakumulasi dan mandeg total. Setelah itu kita semua akan miris memikirkan apa kelanjutannya.
Tuesday, February 13, 2007
Berani Mengaku Salah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment