Wednesday, February 07, 2007

Kerugian Banjir

Menyusul bencana banjir yang melanda Ibukota dan sekitarnya, Bappenas melalui ketuanya mengatakan bahwa nominal kerugian dari bencana tersebut di atas 4 triliun rupiah. Hmm sungguh jumlah yang tidak sedikit. Sementara ada berita lainnya bahwa potensi kerugian yang ditanggung asuransi mobil bisa berkisar 400 milyar rupiah dan seterusnya. Perkiraan kerugian tersebut dikeluarkan sangat cepat dan besar kemungkinan bakal berbeda dengan jumlah sebenarnya. Bila 70% area Ibukota terendam banjir plus area sekitarnya sementara jumlah penduduk Ibukota saja 12 juta orang, katakan ditambah daerah sekeliling jumlahnya menjadi 18 atau 20 juta maka dapat diketahui berapa sebenarnya jumlah masyarakat korban banjir.

Berikutnya terdapat informasi bahwa uang beredar nasional sekitar 80% berada di Jakarta dan sekitarnya maka makin menambah ngeri berapa sebenarnya jumlah kerugian. Masyarakat luas tentunya belum bisa menyuarakan berapa kerugian material dan juga immaterial yang ditanggung karena yang penting jiwanya dulu selamat. Prioritas pertama adalah keselamatan jiwa dan berikutnya baru bagaimana survival bertahan hidup dan menanggulangi ancaman berbagai penyakit bawaan banjir.

Coba simulasikan bila sebuah keluarga menengah dengan katakan berbagai perangkat rumah tangga, elektronik dan sebagainya, rasanya kalau hanya 20 sampai 30 juta saja ada. Belum termasuk mobil, motor dan asset lainnya. Sehingga katakanlah kerugian satu rumah bisa mulai dari puluhan juta sampai mendekati milyar. Hal ini kenapa jumlah 4 triliun saja nampaknya terlampau kecil untuk jumlah kerugian sebenarnya dari masyarakat korban banjir ini.

Belum termasuk kerugian non material seperti kepanikan, cemas, trauma, was-was dan berbagai ketidaknyamanan lainnya yang tidak bisa dinilai dengan sekedar besarnya nominal uang. Ada lagi potensi kerugian baik dari masyarakat atau pelaku bisnis karena tertundanya dan gagalnya transaksi bisnis atau bahkan obyek transaksi itu sendiri.

Inilah berbagai bentuk dari kerugian hilangnya asset masyarakat karena bencana alam yang di luar jangkauan untuk menghentikannya. Meski konteks bencana alam ini patut lebih dalam dibahas karena sebagaimana diketahui bersama bahwa banjir semacam ini yang juga terjadi sebelumnya mestinya bisa dikelola dengan baik.

Lantas kira-kira bentuk kompensasi apa yang bakal diterima masyarakat setelah banjir usai. Nampaknya bakal tidak ada kompensasi apapun, kecuali yang asetnya dicover asruransi. Alih-alih bakal terkompensasi bahkan masyarakat mesti bersiap bekerja lebih keras lagi karena menghadapi infrastruktur fisik yang semakin rusak. Jalanan makin parah, kemacetan semakin runyam, kondisi dunia bisnis terpukul, lapangan kerja tetap susah dan bertahan hidup menjadi semakin berat.

Bukankah kebutuhan dan potensi belanja tidak berkurang dan bahkan bertambah pasca banjir. Bagi yang membiayai anak sekolah ya tetap, biaya transport ya tetap, harga barang-jasa justru berpotensi naik karena terganggunya distribusi dan logistic. Belum harus memperbaiki atau mengganti berbagai perabot dan peralatan elektronik semacam TV, tape dan lainnya.

Nampaknya berat nian biaya ekonomi dan biaya social yang ditanggung masyarakat Jabodetabek dari waktu ke waktu. Kita perkecualikan sekelompok kecil komunitas superkaya yang kena banjir namun tetap bisa nyantai di hotel, bisa beli mobil baru lagi, peralatan elektronik baru dan sebagainya.

Akhirnya hal ini patut menjadi perenungan siapapun baik pemerintah, pemegang kuasa maupun kaum elit bahwa bencana apapun yang menimpa tetap masyarakat banyak yang paling menanggung derita. Masyarakat banyak yang notabene adalah rakyat itu sendiri sekali lagi harus menelan pil super pahit dari kehidupan yang kadang tidak fair ini.

1 comment:

SaRdEnCiS said...

5 tahun yang lalu banjir besar seperti ini pernah terjadi di Jakarta. Dah ga aneh. Mungkin seperti itu pernyataan yang akan dilontarkan orang-orang Jakarta. Tapi, banjir kali ini bener-bener dasyat..
Hampir 70% Kota Jakarta terendam banjir..
Deretan angka kerugian pun mulai dihitung.
Nah,kalo tahu ini sudah rutin di Jakarta kenapa tidak ada penanggulangannya???
Alesannya biayanya mahal..
Ah, bangun busway aja bisa..
Kayanya, orang-orang di atas sana terlalu sibuk membuat Jakarta tampil glamm yah..
Malah penyebab banjir kemarin dibilang emang itu mah faktor alam..
Trus kalo faktor alam kita diem aja gitu.. Pasrah gitu..
Please, deh.
Ktnya, konon pas masih penjajahan Belanda (kalo gak salah) usaha untuk penanggulangan banjir udah ada.
Trus dengan alasan ga ada biaya ga diteruskan.
Padahal dari zaman penjajahan ke sekarang kan dah lumayan lama.
Kenapa masalah ini ga diutamakan?
Coba kalo dari dulu usaha ini dah mulai dijalankan, kayanya kejadiannya bisa lain..
Sayang banget yah..

Dan ada yang bikin saya terbengong-bengong ketika melihat Bapak-Bapak membahas masalah ini di atas sana. Kok bisa yah kalian tertawa-tertawa gitu. Sedangkan di luar sana orang-orang sedang bersedih, kelaparan, kedinginan, dan mulai terjangkit beberapa penyakit.
Dan yang lebih aneh lagi, ada yang bilang kalo banjir kemarin tidak terlalu parah. Ih..Kok bisa sih bilang kaya gitu.
Bangun dong..jangan tidur mulu kerjanya..!!!
Ada juga yang bilang kalo pemberitaan di media-media massa terlalu dibesar-besarkan pake istilah "Seolah-olah dunia mau kiamat". "toh mereka masih bisa tersenyum.."
Ya ampun.. Liat dong..
Itu emang keadaan yang sebenarnya.
Mereka tersenyum seperti apa?
Kayanya rasa empati pada diri mereka sudah hilang.

Entah kenapa, saya merasa geram aja melihat tingkah dan perkataan orang-orang di atas sana. Mereka sih enak ga terkena banjir. Yah, kalopun terkena banjir kan tinggal lari ke hotel, beres kan..
Harta rusak atau hilang terbawa banjir??
No problem. Tinggal beli aja yang baru. Beres kan..

Iyah, Bapak. Nah, yang lain???
Mereka kelaparan, kedinginan, dan kebingungan. Rasa was-was dan trauma pada diri mereka tidak mudah untuk diobati..
Liat dong berapa korban jiwa yang melayang..
Bayi yang berumur beberapa bulan harus rela tercabut nyawanya karena kedinginan..
Masih bisa tertawa..???!!!

Ibu-ibu yang memiliki balita harus rela berjalan kaki berkilo-kilo buat mencari makan anaknya.. Dan, apa hasilnya?
Mereka terpaksa pulang dengan tangan kosong..
Sekalinya ada, alesannya karena tidak terdaftar..
Ya, ampun...
Pada ke mana rasa kemanusiaan kalian..

Coba deh tengok kawasan Bogor atas menjelang Puncak..
Perbukitan yang seharusnya jadi area resapan air malah disulap jadi gedung-gedung mewah buat acara refreshing.. Suntuk yah sepekan kerja di Jakarta..
Enak yah tidur di udara yang sejuk..
Ongkang-ongkang kaki, nonton TV, berenang, maen-maen, ketawa-ketawa..

Padahal, di bawah kalian ada yang menangis...
Sungguh orang-orang yang aneh...

Yah, mudah-mudahan aja sekarang matanya dah pada melek karena tersiram air banjir...