Bencana banjir besar lima tahunan di Jabodetabek, Banten dan Jabar menginjak hari keenam. Tidak penting ini hari kelima, keenam atau ketujuh, yang jelas bencana banjir kembali datang dan menghanyutkan harta, benda bahkan jiwa pun melayang. Banjir kali ini relative dasyat datangnya dan begitu cepat. Musim kemarau panjang sebelumnya dan musim hujan yang agak terlambat menambah panic dan tidak terduganya bahwa air bah datang bak meteor, menyapu segalanya sampai ketinggian 8 meter. Memang di televisi ketinggian air dikabarkan semeter sampai empat meter, tapi temen kantor saya mengalami banjir dengan kedalaman 8 meter, karena rumah lotengnya yang didesain tinggi masih kebanjiran setinggi dengkul! Memang rekan kita ini tinggal di bantaran kali yakni daerah Condet, Jakarta Timur, namun tidak urung debet air begitu diluar dugaan. Praktis segala peralatan elektronik, perabot rumah habis tersapu air dan memaksa penghuni mengungsi ke area lain.
Secara arif kita bisa berujar, toh semuanya mengalami banjir dan rata penderitaanya mengingat 70% Jakarta dan sekitarnya terendam air. Bekasi misalnya dari 12 kecamatan 11 diantaranya terendam. Jakarta dengan sekitar 13 kali besar yang berhulu di Bogor dan sekitarnya berlomba mengirim air bah ke daratan di bawahnya. Bila diurutkan kali tersebut berasal dari pegunungan sekitar Bogor, mengalir ke bawah ke Depok, Jakarta selatan, pusat terus ke Utara, Barat dan berakhir di laut Jawa. Apa pasal, air bukannya segera berlalu ke laut namun merambah dan main-main ke hilir sungai yang notabene dihuni pemukiman padat penduduk. Seolah banjir merupakan takdir belaka dan kita diminta untuk sabar dan menerima pasrah kedatangan derasnya air bah tersebut.
Banyak pengamat yang menulis baik di koran atau bicara di televisi dengan panjang lebar mengenai musibah banjir ini. Berhubung kejadian banjir merupakan agenda “rutin” tiap tahun yang datang tiap musim hujan tiba maka gambarannya nampak seputar itu-itu saja dan semuanya dipaksa memaklumi belaka. Dimulai dari berkurangnya daerah resapan air di Puncak, Bogor, karena dibangunnya banyak vila milik orang kaya di Jakarta. Ditambah area bantaran kali dipakai dan didirikan bangunan rumah kaum yang terdesak kejamnya ibukota yang otomatis membuang sampah, mempersempit badan sungai dan menghambat pengelolaan sungai dan seterusnya. Salah kaprahnya tata ruang kota yang mana setiap inchi tanah dibisniskan dan dibangun entah rumah atau bangunan komersial yang intinya adalah bisnis dan perburuan profit untuk sebesar-besarnya kemakmuran pengusaha dan pemberi ijin tadi.
Praktis ketika diguyur hujan jangan kata lebih dari tiga jam, bahkan satu jam hujan deras saja sudah membuat lumpuh kota megapolitan ini karena tergenangnya jalan dan macetnya kendaraan yang melewatinya. Lengkap sudah segala aspek terciptanya banjir akbar dan penenggelaman segala yang ada. Dengan begitu komplek kondisinya dan begitu sering terjadinya sehingga seolah menjadi semacam pembenaran bahwa banjir tak terelakan.
Bila kita coba melihat bahwa negeri Belanda yang mayoritas daratannya atau hampir semua daratan- berada di bawah permukaan laut yang logisnya tenggelam namun tidak, maka yang namanya air ternyata dapat dikelola dengan baik. Apalagi kita yang jelas daratannya jauh diatas permukaan laut lha malah terus kebanjiran maka lagi-lagi semua berpaling kepada pengelolaan air, hujan, kanal dan kalinya. Konon lagi ada proyek banjir kanal triliunan rupiah dan seterusnya namun tak urung banjir bahkan makin menggila. Masih belum terhitung berapa kerugian masyarakat akibat banjir raya ini. Memang tidak bisa semua penyebab di pundak pemerintah, namun perilaku masyarakat dan pengaturan lingkungan juga turut menjadi penyebab bencana ini.
Siapa menanam mereka juga yang menuai. Kita semua telah berlomba mengeploitasi alam dan lingkungan kita tanpa rambu-rambu yang benar. Segala ruang, seinchi lahan semuanya digunakan sekedar mengejar keuntungan belaka. Sudah terlampau lama perilaku kehidupan kita menyimpang dengan mengesampingkan lingkungan kita. Hutan banyak ditebangi, bangunan dibangun dimana-mana tanpa menghiraukan resapan air sementara fungsi kali sudah bergeser jauh.
Pilihan ditangan kita, pengin makin amburadul dan makin tenggelam bumi kita berpijak atau kita siap mengoreksi gaya hidup kita. Koreksipun bakal butuh waktu lama dan biaya yang sangat mahal. Kali harus dikembalikan fungsinya sebagai akses air. Resapan air jangan lagi ditimbuni dengan beton dan bangunan. Pengelolaan sampah juga harus disiplin dan jangan asal membuang sembarangan. Dengan pengelolaan yang benar saja belum tentu kita bebas banjir apalagi kalau semua dilakukan semaunya sendiri. Sudahkah kita berhitung berapa keuntungan yang diperoleh dibandingkan hilangnya asset masyarakat luas termasuk kita yang sekejap tersapu air. Janganlah kita sudah tahu namun berpura dan acuh tak acuh sambil berujar ah ntar banjir juga reda. Berpikirlah setidaknya buat generasi mendatang agar jangan samnpai terwarisi sebuah ibukota negara yang segera terendam begitu hujan turun. Relakah ibukota ini menjadi danau nan luas dan menengelamkan segala yang ada.
Tuesday, February 06, 2007
Banjir
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment