Kembali kita melakukan pesta demokrasi dengan pemilihan langsung, umum, bebas dan rahasia 9 April kemarin. Pemilihan ini untuk memlih wakil rakyat yang akan duduk di dewan baik pusat maupun daerah. Fenomena pemilihan ini nampak semakin dinamis manakala beberapa pengamat melihat kecenderungan jumlah yang tidak memilih, biasanya disebut golongan putih- golput meningkat dari pemilu sebelumnya. Hari pencontrengan itu sendiri sudah berlangsung tenang meski tentu ada letupan kecil disana sini. Sebelum hari H, sempat diperbincangkan banyak wacana mulai dari daftar pemilih yang kurang akurat- banyak yang tidak terdaftar- atau anak kecil dan orang meninggal malah terdaftar dan sebagainya. Di salah satu media elektronik ada perbincangan untuk menunda pemilu karena salah satunya adalah faktor daftar pemilih yang menimbulkan polemic berkepanjanagan tadi. Yang juga heboh adalah kampanye dari calon legislatif yang memenuhi berbagai ruang public seperti jalan, gedung, pasar dan semua sudut yang ada. Tentu komisi pemilihan umum- KPU merupakan salah satu institusi paling sibuk dalam persiapan jelang pemilu ini.
Usai pencontreangan nuansa kembali heboh dengan hasil perolehan suara dari partai atau calon legislatif-nya. Bukan rahasia lagi kalau untuk bisa dicalonkan seseorang-entah anggota partai atau partisan mesti memiliki modal yang cukup.Ibarat nonton bioskop ya bayar dan beli tiket dulu baru boleh duduk dan melihat film-nya. Kalau anda ingin dicalonkan sebagai legislative anda harus melakukan tawar menawar dengan partai, apa yang anda bawa dan kontribusikan. Anggota partai itu sendiri-pun tentunya tidak serta merta dicalonkan kecuali memang ketua umumnya atau tokoh pendiri dari partai tersebut. Saking banyaknya partai ini banyak kejadian konyol pemilih yuang bingung entah dengan partai mana atau calon mana mesti dicontreng. Ada yang karena tidak tahu ya dicontreng yang paling atas, tengah atau bawah. Atau mencontreng calon yang paling cantik atau paling ganteng. Tidak sedikit yang mencontreng orang yang hanya dikenal entah itu artis atau caleg yang sering muncul di media.
Munculnya ribuan banner dan spanduk sebelum pemilu juga dibarengi berbagai promo dan iklan dari partai konstentan pemilu. Lagi-lagi bukan rahasia bahwa partai tersebut membelanjakan milyaran rupiah untuk bisa tampil dan show off di media entah cetak maupun elektronik. Bila diakumulasi seluruh belanja iklan dari partai tersebut bisa jadi mencapai triliunan rupiah. Sementara dari KPU sendiri jauh hari tentunya mesti menyiapkan prasarana pemilu seperti kertas pemilu, kotak, logistic, tinta, jaringan data, sumber daya manusia dan seterusnya. Saking hebohnya pesta dan gawean pemilu seolah pesta itu merupakan tujuan dari adanya suatu pemilu itu sendiri. Meski semuanya sepakat pemilu hanyalah proses demokrasi untuk memilih wakil rakyat. Kalau dari mindset agama konon seorang bijak yang ingin menjadi wakil rakyat justru akan merasa berat mengemban amanah dan tanggung jawab besar. Entah bagi calon legislative :amanah: itu begitu menarik seolah berhasil duduk di senayan atau kantor dewan merupakan prestige tersendiri. Atau bagi sebagian mereka menjadi anggota dewan identik dengan berbagai fasilitas yang wah dan terhormat. Nampak bagi para calon itu yang terlihat hanyalah hak, hak dan berbagai kesenangan nantinya bila terpilih. Hampir tidak terlihat bahwa menjadi wakil rakyat merupakan beban dan tanggung jawab luar biasa berat. Bayangkan Negara dengan 250 juta penduduk yang masih relative -maaf- miskin ! dengan pendapatan perkapita hanya $1000. Tentunya bagi yang arif jabatan ini sungguh berat. Apa daya semuanya berebut demi kilau berbagai hak dan fasilitas wah tadi yang rupanya menutupi sisi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Pemilu sudah dilakukan dan hasilnya mulai dihitung. Kembali negeri ini menjadi semacam ajang prediksi dan analisis berbagai pihak. Ada penghitungan cepat yang sudah diungkapkan dan keluar besaran angka perolehan tiap partai. Meski diberitakan jumlah daftar pemilih adalah 170-an juta sementara sampai hari ini baru sekitar 13 juta suara yang masuk dan dihitung. Terlepas dari berapa jumlah golput namun semua suara mesti dihitung. Komisi pemilu menghadapi tugas berat menghitung jutaan kertas suara dari seluruh negeri. Nampaknya penghitungan juga jauh dari selesai meskipun target waktunya konon sudah terlewati.
Gambaran berikutnya adalah mulai muncul banyak orang stress dari calon legislative yang perolehan suaranya sedikit. Sungguh hasil sangat jauh dari ekspetasi semula. Mereka bermimpi dengan modal sekian, belanja iklan sekian, nampang di banner sekian, dan berbagai maneuver, tebar pesona akan bisa membawanya ke kursi empuk anggota dewan. Apa daya rakyat pemilih jauh berbeda dengan Harapan dan persepsi caleg tersebut. Pemilih yang notabene masyarakat dengan mayoritas pendidikan rendah kebanyakan lebih bingung begitu membuka kertas suara yang besar lebar dan gambarnya banyak sekali. Dari gambaran awal perolehan suara nampak partai lama- status quo yang umumnya dipilih. Memang ada juga partai debutan mendapat perolehan diatas electoral threshold yang 2.5% namun mesti diimbangi dengan belanja iklan luar biasa besar. Tidak kurang dari Rumah sakit jiwa konon mengantisipasi dampak hasil pemilu bagi caleg. Mereka menyiapkan kamar dan perawat ekstra bila pasien jiwa bakal melonjak terutama dari caleg yang perolehan suaranya sedikit atau nol besar. Ada juga petugas penghitung suara kedapatan meninggal dunia karena dua hari tidak tidur dikejar target. Ibarat bermain sebuah game, kita tidak tahu dan tidak mampu untuk menyelasikan permainan yang terlanjur dimulai. Memang mesti diselesaikan namun rupanya permainan ini terlampau besar dan luas sehingga diluar kemampuan sumber daya yang ada.
Sementara dari pelaku politik sendiri yang entah sadar atau tidak bahwa penghitungan masih sangat kecil- berpijak hasil quick count yang tracknya beberapa kali mendekati akurat- nmulai saling bermanuver. Partai kecil tentunya bargaining juga kecil, yang besar akan seiring dan menjadi tumpuan partai lainnya. Karena hasil suara akan menentukan berapa kursi yang akan diperoleh. Meskipun kita Negara penganut asas parlementer periode kemarin kita juga memilih langsung presiden dan wakilnya. Nah dalam rangka pemilihan capres dan wakil mulai terjadi berbagai maneuver, nego, rencana koalisi, adu strategi dan seterusnya. Itu sudah merupakan kehalian dan makanana empuk politisi itu. Wajah-wajah mereka terus ad adi sana sejak negeri ini merdeka sampai hari ini. Rakyat banyak mungkin sudah jenuh dengan banyolan ala srimulat. Inilah puncak dan antiklimaks hiruk pikuk pesta demokrasi yang sedang terjadi. Meski kembali harus diingatkan bahwa terpilihnya wakil maupun eksekutif bukanlah tujuan akhir namun justru awal dari sebuah pekerjaan maha berat bagi bangsa ini. Mesti diingatkan kepada mereka yang yakin mampu menjadi anggota dewan bahwa tugas mereka bakal lebih berat ke depan. Manakala kelak mereka setelah terpilih hanya menjalani rutinitas belaka, datang, duduk, diam dan duit maka kembali rakyat dari negeri ini menjadi korban. Demikian juga presiden dan wakilnya- entah siapapun yang terpilih hanya sekedar rutinitas belaka- maka negeri ini bakal akan tetap terpuruk dan jauh dari kemakmuran bagi rakyatnya. Apalagi ibarat investasi- mereka sudah keluar modal berapa dan harus mengembalikan beserta bunga, untung, bonus dan seterusnya maka kembali kiprah kepemerintahan berjalan seperti puluhan tahun sebeklumnya. Atau mereka harus mengamankan posisinya demi kelanggengan. Kembali rakyat hanyalah obyek belaka yang dipakai dan disanjung saat butuh dan dihisap serta ditelantarkan saat tidak dibutuhkan.
Thursday, April 23, 2009
Pemilu Oh Pemilu
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment