Kehidupan kita ternyata banyak sekali sisi dan perniknya. Misalnya masa kecil kita dari lahir sampai umur lima tahun dipenuhi dengan kegiatan bermain, mencari teman, mengenal benda, bersosialisasi dan seterusnya. Masa ini yang jelas egois kita masih menonjol dan ibaratnya semuanya harus menuruti kemauan kita. Aku dan keinginan aku-lah yang harus dituruti, atau aku bakal menangis keras-keras bila mainan atau barang yang kuinginkan tidak dituruti.
Enam tahun kedua yakni dari enam sampai dua belas tahun dimana kita masuk sekolah dasar proses kehidupan berlanjut. Ego kita masih besar namun perlahan akan berbenturan dengan ego teman-teman kita, aturan normatif lingkungan kita dan ajaran guru-guru kita. Tentunya kita semakin dewasa dan sudah bisa mulai berbagi, belajar berbagai perasaan, menegaskan cita-cita kita kelak ingin jadi apa dan seterusnya.
Demikian seterusnya sampai kita menempuh sekolah menengah, kuliah, lulus, mencari kerja, pacaran dan berumah tangga. Bahwa proses kehidupan kita ternyata berlanjut dan membentuk hirarki yang semakin komplek dan tinggi. Kita juga akrab dengan kondisi pencarian identitas diri, dimana digambarkan kita yang labil mencoba menjadi stabil dan menjadi dewasa.
Ada hal menarik bahwa manakala kita mencoba melakukan perenungan bahwa ternyata hidup kita bukan lah semata untuk kita. Bahwa kita menjalani kehidupan haruslah seimbang dan selaras baik dengan sesama kita, dengan lingkungan sekitar, dengan alam semesta dan terutama dengan aturan yang digariskan Tuhan Semesta Alam. Sekalipun kita telah mencapai tahap tertentu dimana kita dikatakan berhasil, mapan, mencapai tempat terhormat dalam masyarakat dan seterusnya, manakala kita tidak menyeimbangkan unsur tadi, maka kita bakal merasa ada yang kurang.
Pagi hari bangun, mandi, sarapan dan kerja. Di kantor tekun bekerja dalam ruangan, bahkan makan siangpun di ruangan kerja. Larut malam baru pulang dan bahkan sabtu atau minggu kadang ke kantor lagi atau ketemu rekan bisnis di caffe atau lapangan golf dan seterusnya. Pola ini ternyata sangat pincang dan betapa tidak seimbangnya warna kehidupan kita.
Ternyata kita perlu pergi ke Masjid, Vihara atau Gereja, sesuai agama kita. Kadang kita harus ngobrol dengan tetangga kita, bahkan dengan anak kecil depan rumah kita. Kita juga kadang perlu jalan-jalan di kampung sebelah perumahan kita, menyusuri kali, duduk-duduk di pinggir kali, melempar kerikil ke tengah kali dan kegiatan sepele lainnya. Kita memang membutuhkan menyatu dengan alam sekitar kita, menghirup lepas hawa pagi atau sore hari.
Bahwa kehidupan kita tidaklah berhenti pada karir hebat kita atau dibatasi dinding rumah dan pagar kita. Kehidupan kita adalah alam ini semuanya dan sesama manusia. Kita dan orang lain adalah sama dan saling membutuhkan dan saling membantu. Teroboslah batas-batas yang mengekang hidup kita. Jabatan, istana, vila, rumah mewah, mobil bagus, status sosial, orang kota dan seabreg atribut lainnya merupakan kurungan emas belaka. Sehingga bagi siapa saja yang merasa sudah mencapai tahap tertentu kehidupan dan merasa ada yang hilang dan kurang maka tengoklah sesam kita, tengoklah pak Fulan tukang sayur, pak kromo buruh bangunan, rangkulah mereka, menyatulah dengan alam, turunlah ke kali dan celupkan kaki kita, niscaya alam dan saudara kita akan melengkapi sisi yang hilang. Kadang menangislah malam hari ke Sang Pencipta, niscaya bathin kita terteduhi. Selamat bekerja !
Friday, June 23, 2006
Kita dan Hidup
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment