Thursday, September 07, 2006

Doktor

Seorang dosen yang bergelar doctor konon di negeri ini hanya digaji 2 juta-an, atau setara dengan gaji lulusan STM yang bekerja di industri. Padahal untuk mendapat gelar doctor investasi yang dikeluarkan sangat luar biasa. Waktu, tenaga, biaya dan juga otak. Waktu-nya adalah selepas S1 masih ditambah S2 selama 2 tahun lalu doctor itu sendiri bisa 4 atau 5 tahun lagi atau keseluruhan dapat mencapai 23 atau 24 tahun !! Dan ini hanya sekolah doang. Coba waktu selama itu digunakan untuk mengumpulkan pasir misalnya atau untuk membuat batu bata, maka akan terkumpul berapa ribu atau juta kubik pasir atau jutaan batu bata. Tenaga yang dikeluarkan apalagi, bayangkan 24 tahun sekolah, berapa energi yang dihabiskan. Besarnya biaya apalagi --tidak terkira besarnya mengingat biaya S1 saja sudah mahal. Dan juga otak, karena tanpa otak encer kita tidak bakal bisa lolos S2 dan selanjutnya menyelesaikan S3 tersebut. Namun penghargaan yang diterima? Benar-benar tidak sepadan dan bahkan tidak cukup pantas untuk disebut penghargaan.

Itulah fenomena doctor di Negara republic bbm ini. Sungguh antara usaha, prestasi dan kerja keras sangat tidak seimbang. Kenapa kenyataan ini makin memberatkan orang untuk memiliki niat sekolah sampai jenjang dokor. Bukan semata alasan biaya atau otak encer, namun lebih karena realita bahwa buat apa sekolah tinggi kalau investasi yang dikeluarkan tidak sepadan. Dengan skema apresiasi seperti itu hal ini cukup berdampak pada warna maupun nilai profesi di masyarakat kita. Jarang ada nasehat bijak, bila ingin pintar sekolahlah yang tinggi sampai doctor. Nanti bila sudah pintar bisa bekerja yang menghasilkan uang. Atau bila sudah pintar bisa membuat perusahaan sendiri. Meski kondisi sekarang untuk memulai usaha butuh modal, koneksi dan jaringan juga. Bahkan sering ada anekdot, buat apa sih sekolah sampai jenjang doctor kalau bakal tidak jelas mau bekerja dimana. Perusahaan mana sudi merekrut doctor. Paling banter menjadi dosen tadi yang dijelaskan gajinya kecil atau setara dengan lulusan STM kerja di pabrik.

51 tahun sudah kita merdeka dan berapa orang doctor yang sudah lulus di negeri ini. Adakah 10 ribu saja, rasanya tidak kan. Dari sekitar 250 juta penduduk, atau jauh di bawah seper-ribu persen, coba seper-ribu persen. Ditambah sekarang sekolah sudah bergeser menjadi ajang bisnis yang berbiaya mahal, tentunya makin memustahilkan lagi semangat atau cita-cita orang untuk menyelesaikan jenjang doctor ini. Kuliah negeri saja perlu puluhan juta rupiah untuk sampai lulus. Apapalgi swasta yang umumnya lebih mahal. Jelasnya biaya yang dikeluarkan minimal adalah ratusan juta agar ada tambahan embel-embel doktor. Uang segitu darimana dapetnya, berapa banyak yang mampu dan setelahnya tidak jelas kapan balik modalnya. Memang tidak ada yang nyuruh mengapa hitungannya mesti balik modal. Toh ilmu tidak bisa dinilai dengan uang. Namun kondisi dan realita sekarang ya begitu. Berapa besar investasi, berapa lama balik modalnya serta bagaimana hitungan untungnya.

Ada barangkali perttanyaan menggelitik , kalau ingin mencari ilmu setingginya pan tidak harus menggapai doctor toh, bisa autodidak, bisa membaca, bisa merantau, bisa bertanya , bla bla. Pada konteks ini kita hanya menggaris bawahi bahwa pendidikan adalah proses pemikiran yang lama. Adanya eksistensi sekolah juga merupakan suatu kesepakatan panjang bahwa mencari ilmu yang resmi ya di sekolah. Sekolah akan melahirkan lulusan tertentu, sehingga jenjang akademis merupakan suatu jalur formal dalam system pendidikan kita. Kenapa kita membahas doctor adalah dalam kaitan ini, sehingga tidak semata bahasan mencari ilmu sebanyaknya atau setingginya. Apakah lantas dengan semakin banyak doctor akan menjamin Negara kita semakin maju. Jawabnya memang relative, namun tentunya lebih banyak doctor akan lebih memungkinkan Negara kita membangun dan maju ketimbang sedikit doctor.

Begitulah cerita doctor di Negara kita. Untuk mendapatkannya begitu sulit dan lama namun setelah didapat belum jelas jaminan apresiasinya. Namun kiranya jangan mengurangi semangat kita bila berobsesi paripurna dalam akademisi. Semoga ada bentuk balasan lain selain sekedar apresiasi materi belaka. Karena kita rasa konteks kita juga bukan soal materi, namun lebih dari itu. Konteksnya adalah keadilan dan kepantasan. Bila ternyata cara pandang dan kebijakan kita sudah bergeser maka belum terlambat diluruskan. Hargailah dunia pendidikan.

No comments: