Ada apa dengan mudik yaa. Setiap tahun menjelang berakhirnya bulan puasa maka bakal diramaikan dengan persiapan mudik. Berbagai atribut mudik bakal makin terlihat seiring makin dekatnya ujung dari bulan romadhon ini. Berbagai Mall, pasar tradisional dan pusat perbelanjaan lain bakal dipenuhi orang atau keluarga yang berbelanja kebutuhan lebaran atau kebutuhan mudik tersebut. Konon Jakarta adalah kota dimana beragam orang daerah di Indonesia berkumpul. Behubung pusat dan sentra ekonomi ada di Jakarta maka makin banyaklah kaum urban mengadu untung dan mencari pekerjaan. Jadilah Jakarta menjadi kota multi etnis atau multi penduduk yang dihuni oleh mayoritas kaum pendatang. Penduduk asli Jakarta yang akrab disebut betawi-pun bahkan mulai tenggelam diantara hiruk pikuk kaum pendatang. Yang namanya pendatang maka tentunya memiliki kampong aslinya. Entah dari sesame pulau jawa, sumatera, sulawesi dan seterusnya. Jadilah tiap lebaran jutaan pendatang tadi melakukan tradisi tahunan menjelang idul fitrie yakni mudik atau pulang kampoeng..
Fenomena mudik tiada habisnya dikupas dan dianalisi waktu demi waktu. Bagi yang tidak pernah mudik atau memang asli asal kota Jakarta tadi misalnya tidak habis pikir kenapa tradisi ini berjalan terus. Bahwa mudik memang identik dengan perjalanan panjang, macet dan melelahkan. Bahwa mudik memang identik dengan menyatakan bahwa kita benar orang daerah atau orang perantauan. Bahwa mudik seiring dengan makin mahalnya BBM dan ongkos transportasi adalah membutuhkan banyak biaya. Bahwa mudik adalah ritual yang kadang sulit dimengerti sebagian orang. Kenapa orang rela bercapek ria macet dan menempuh ratusan kilometer padahal kalau hanya pulang bisa memilih waktu lainnya kan, yang tidak berbarengan misalnya. Itulah sedikit mudik dan tanda tanya yang menyertainya.
Bagaimana dengan pemikiran dan pembelaan golongan yang memang mudik setiap tahunnya. Tentunya bakal tidak kalah banyaknya argument yang bisa dilontarkan. Bahwa kampong halaman identik dengan tanah kelahiran atau leluhur yang memiliki nilai-nilai histories. Bahwa di daerahlah berkumpul akar keluarga besarnya. Ritual mudik juga ibarat charger battery dimana battery kehidupan yang sebelas bulan sudah sedemikian buram dan perlu sentuhan segar. Dengan mudik ibaratnya pikiran kita menjadi fresh kembali, segar dan siap bekerja berat. Mudik memanglah melelahkan dan macet, namun segalanya bakal terbayar lunas beserta bunga-bunganya manakala kita sampai di rumah, bertemu handai taulan dan merasa kembali menjadi bagian dari kampong halaman. Bagi etnis jawa konon mudik sangatlah mustahil tidak dilakukan karena semangat mudik memang membara dalam dada. Makanya ada pepatah yang mengatakan, mangan ra mangan asal ngumpul atau makan tidak makan yang penting berkumpul, sehingga kenapa ritual mudik wajib dilakukan. Mudik juga menjadi ajang promosi bahwa si A atau si fulan berhasil tuh dalam rantauanya dengan mudik bermobil dan membawa banyak uang. Hal ini mengapa semakin banyak orang yang merantau dan dampaknya adalah jumlah pemudik bakal terus meningkat.
Terlepas dari duduk masalah sebenarnya dan pergeseran nilai-nilai mudik, setidaknya mudik adalah merupakan ajang pemerataan pendapatan masyarakat. Berapa milyar atau triliun rupiah uang dari Jakarta atau kota besar lainnya dapat terbagi ke daerah asal perantau. Konon lagi rumah makan warteg asal tegal telah menyumbang sekian milyar ke kampong halaman. Juga perantau asal wonogiri, solo atau sleman dan seterusnya turut menyumbang pendapatan putra daerah. Meski periode mudik berkisar hanya sebulan nampaknya cukup significant nominal yang disumbang bagi roda perekonomian baik pada sector transportasi maupun sector terkait lainnya semacam home industri, makanan atau pariwisata.
Monday, October 16, 2006
Mudik
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment