Amazing ! sekitar 600 ribu rakyat Indonesia memiliki asset sebesar 600 trilliun. Sebuah media nasional memberitakan bahwa banyak orang Indonesia beraset diatas 250 juta rupiah lebih mempercayakan pengelolaan dananya kepada fund manager asing ketimbang local. Alasannya adalah produk yang lebih beragam serta tingkat return yang lebih tinggi.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari kondisi ini. Satu hal misalnya kita bisa saja bangga dan turut “gembira” karena sebagian dari masyarakat kita memiliki asset yang besar. Entah ini merupakan dampak positif pembangunan atau tingkat kesejahteraan kita memang sudah tinggi.
Perspektif lainnya adalah bahwa semestinya terdapat suatu gambaran wajar dari sebuah negara dengan ratusan juta warganya. Maksudnya wajarkah bila konon kita memiliki 60 juta rakyat miskin sementara sekelompok kecil justru mengantongi asset sedemikian besarnya. Bisa saja hal ini terjadi karena perbedaan tajam entah itu nasib atau kinerja kedua kelompok tadi. Ada misalnya argument, lho kenapa orang heran asset saya ratusan juta atau milyaran jika saya adalah seorang CEO yang gaji pertahunnya mendekati 500 juta misalnya.
Ada skema akuntabilitas sebenarnya yang bisa dilakukan guna validasi kewajaran kepemilikan asset tadi. Bagi pegawai negeri ada prosedur pelaporan kekayaannya terhadap Negara. Gunanya adalah sama yakni melihat kewajaran pertambahan asetnya ketika habis masa jabatannya. Bagi pegawai swasta memang belum ada ketentuan wajib lapor jumlah asetnya, namun dari sector pajak sudah ada kewajiban mendaftarkan nomor pokok wajib pajak. Media ini dapat sebagai salah satunya mendata asset dari wajib pajak atau masyarakat itu sendiri. Hanya nampaknya sosialisasi NPWP bagi masyarakat kok belum optimal. Dus, semuanya mengandalkan kepada kejujuran dan goodwill dari masing-masing warga negara.
Gap masyarakat beraset jutaan atau milyaran dengan masyarakat miskin tentunya makin menganga lebar. Konon ada semacam anggapan bahwa hanya katakanlah kurang dari 5% anggota masyarakat yang menguasai 90% asset negara ini. Hal ini bisa saja mendekati fakta manakala terungkap bahwa misalnya hanya sekitar 600 ribu orang saja beraset 600-an triliun.
Makin banyak kemudian pekerjaan rumah dan berbagai hal yang perlu dibenahi terkait dengan masalah distribusi pendapatan yang sedemikian mengalami kesenjangan. Menyusul berikutnya adalah transparansi kepemilikan asset sebagian masyarakat kita apakah cara memperolehnya benar dengan jalan wajar atau terindikasi adanya korupsi di sana. Pekerjaan besar nan paling ditunggu yakni pengungkapan jaringan korupsi di Negara ini layak menjadi makin prioritas kalau tidak ingin Harapan dan kepercayaan rakyat berangsur hilang ~ yang barangkali memang sudah hilang. Hal mana sudah berjalan puluhan tahun.
Bukan lantas kita menuduh bahwa mereka yang beraset besar semuanya korup, namun bahwa akuntabilitas dan transparansi dari asset tersebut layak diungkapkan. Rasanya kita tidak ingin sejarah bangsa ini utamanya mengenai distribusi ekonomi yang pada awalnya sudah dimulai dengan gelombang korupsi “masal” yang mengorbankan kesejahteraan jutaan rakyat banyak juga diakhiri dengan kondisi yang semuanya dianggap berjalan sebagaimana mestinya tanpa tindakan justice for all. Kita bisa saja teringat sebuah film “dark justice” yang mengisahkan bahwa keadilan ditegakkan langsung dengan tindakan fisik di jalanan. Kita sepakat bahwa hukum masih wajib dijunjung tinggi dan ditegakkan. Jangan sampai dark justice atau keadilan rakyat menjadi pilihan pahit yang terpaksa diambil.
Tuesday, November 28, 2006
600 trilliun
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment