Etika bisnis sudah sangat lazim berjalan di negara maju dimana pasar dan masyarakat umumnya berpendidikan tinggi. Taraf hidup mereka juga memang sudah tinggi, hukum benar-benar ditegakkan dan hak-hak individu sangat diperhitungkan. Pembeli atau konsumen yang tidak puas ataupun mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan standard industri atau legalitas bisa mengadu ke yang berwenang.
Dalam salah satu film “Good Burger” digambarkan persaingan dua gerai burger. Good burger menjajakan burger secara wajar sementara pesaing melakukan praktik melanggar etika. Guna mematikan pesaing mereka mendirikan gerai persis di depan Good burger dengan bangunan megah. Yang membuat pelanggan bertekuk lutut adalah potongan daging-nya sangat besar, hampir dua kali lipat good burger sementara harga jual sama.
Praktis pelanggan berduyun ke gerai baru dan Good burger-pun kehilangan pelanggan. Singkat cerita ternyata burger yang dagingnya besar adalah hasil suntikan kimiawi. Akhirnya terbongkarlah bisnis akal-akalan tersebut dan pengelola-pun diseret hokum oleh polisi. Happy endingnya bisa ditebak Good burger kembali mendapat pelanggan dan bisnisnya dapat berjalan lancar.
Bahwa bisnis haruslah memiliki etika adalah sudah seharusnya. Karena konsumen atau pelanggan juga memilik hak mendapat produk yang benar. Tentunya saat ini kita belum lupa kecelakaan yang melibatkan salah satu perusahaan penerbangan swasta. Konon dari berita terakhir dikabarkan bahwa pesawat meledak dan menghujam ke laut bak meteor. Praktis seluruh penumpang diduga tidak ada yang selamat.
Pada kali lainnya dikabarkan bahwa perusahaan tersebut melakukan pelanggaran etika guna mengejar tiket yang murah. Konon sisi maintenance dan safety-nya agak terabaikan, sehingga terjadilah bencana tersebut.
Kejadian lainnya ada produk obat nyamuk yang laris manis. Sang produk begitu ampuh membasmi nyamuk dan seterusnya. Akhirnya diketahui terkandung zat berbahaya dalam produk tersebut. Produk distop dan berhentilah bisnisnya.
Apakah pebisnis yang melakukan pelanggaran etika memang hanya cukup dihentikan bisnis-nya tanpa ada tindakan hukum. Barangkali ukurannya adalah apakah ada korban jiwa atau pelanggan yang terancam keselamatannya. Sudah merupakan kondisi biasa bahwa pelanggan/konsumen kita sangat kurang perlindungan haknya.
Memang sudah ada yayasan semacam YLKI yang mencoba membela kepentingan konsumen. Namun tindakan kongkrit mengenai penegakkan hak ini belumlah optimal. Tidak dipungkiri masih banyak pelaku bisnis baik skala kecil maupun besar yang nakal. Tayangan di televise dalam program investigasi sering menangkap praktik bisnis yang melanggar etika ini. Ada bakso tikus, buah dipakai pewarna, makanan dengan pengawet sampai produk kadaluarsa tetap dijual.
Hukum alamnya adalah pebisnis yang nakal sepatutnya akan berhenti dengan sendirinya karena semua pelanggan pergi. Namun ya itulah potret mayoritas orang kita umumnya terlampau lugu, berpendidikan rendah dan yang jelas taraf hidup belum sejahtera. Dengan kemampuan daya beli terbatas bagaimana bisa pilih-pilih dalam membeli produk.
Nampaknya perlu (atau barangkali sudah ada) dibentuk Badan Nasional Etika Bisnis. Tentunya diharapkan badan ini mampu menjadi penegak hak konsumen dan pelurus praktek pelanggar etika bisnis.
Friday, January 12, 2007
Business Ethic
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment