Wednesday, March 28, 2007

And Justice For All,,,

Sebagaimana sudah diperkirakan sebelumnya bahwa semua kembali seperti biasa, - business as usual - usai berbagai bencana menghantam. Banjir besar tempo hari yang disebabkan oleh salah satunya berubahnya fungsi resapan air menjadi bangunan permanent tidak mengubah tindakan kita. Tetap saja pembangunan mall, pusat perbelanjaan, perumahaan dan berbagai bangunan fisik lainnya dilakukan secara gencar seolah kejadian kemarin kita sudah lupa tuh – mengutip iklan obat sakit kepala.

Saat ini dan beberapa waktu kemarin banyak pekerjaan proyek di kota besar, utamanya di Jakarta gencar dilakukan. Diantara proyek tersebut misalnya pembangunan fly over, underpass dan yang kemarin bekasnya masih adalah jalur busway dan jalur monorail. Biasanya proyek atau pembangunan public facility ini dianggap crashed program dan prioritas dikebut dan dikerjakan 24 jam sehari, seiring tujuan mulia sejak awalnya. Namun di kita nampaknya hanya angan belaka berharap proyek tadi dikebut siang malam. Satu underpass saja bisa memakan waktu dua tahun sementara proyek busway, meski sekarang sudah berjalan telah begitu melelahkan pengguna jalan karena menyempitnya lebar jalan dan makin macetnya kendaraan. Proyek monorail bahkan sekarang dibiarkan begitu saja dan tidak jelas kelanjutannya.

Pun pemerintahan kita dengan paket cabinet bersatu juga nampak berjalan seperti biasa dan nampak belum banyak hasil konkrit yang dinikmati rakyat. Masalah klasik seputar terbatasnya supply beras dan harganya yang melambung masih terus berulang.

Di sector good government macam KKN, korpusi kolusi dan nepotisme terasa makin jenuh kita mendengarnya namun belum ada kakap atau bawal, eh tersangka apalagi pelaku korupsi. Memang aneh ada asset yang dikorupsi tapi pelakunya tidak ada.

Apa yang kita kemukakan semuanya bukan hal baru dan faktanya terjadi di sekitar kita. Yang kita hendak selalu ingatkan adalah pola pikir dan mindset kita yang harus berani berubah saat ini juga. Janganlah kita selalu bersikap sok benar dan berpura-pura. Masih mending saat ini terdapat para cendekia, ulama, pemuka agama dan tokoh masyarakat yang selalu menyuarakan hal yang benar. Karena bila berbagai lapisan masyarakat yang peduli pada nasib bangsa ini ini menjadi lelah dan berhenti mengingatkan, kita tidak tahu lagi akan jadi seperti apa.

Kita tidak hendak menjadi khawatir berlebihan atau bersikap seolah besok akan kiamat. Kita tentunya menyadari belaka bahwa kehidupan bukan saat generasi kita sekarang namun ada kehidupan anak dan cucu kita semua. Ironisnya kiat semua mencari nafkah bahkan kadang dengan korupsi segala tujuannya tidak lain untuk kesejahteraan anak cucu kita. Pola pikir kita selama ini terlampau ego dan sangat salah. Kita mengumpulkan sebanyak mungkin harta dan kekayaan pada dasarnya untuk jaminan keluarga, anak cucu dan keturunan kita. Berbagai cara termasuk KKN kita lakukan demi orang yang kita sayangi. Kita lupa bahwa cara ini justru menghancurkan lingkungan dan masyarakat luas dan imbasnya akan menimpa anak cucu kita. Akibat KKN timbul biaya tinggi dan merugikan lebih banyak orang. Alih-alih keturunan kita hidup sejahtera ke depan justru untuk mencari pekerjaan saja susah. Bicara harta warisan akan tahan berapa lamakah dan sungguh tidak imbang dengan tujuan awal tadi – menjamin sejahtera keturunan kita. Saat ini pun sudah terjadi gambaran ruwetnya kehidupan bernegara kita beserta eksesnya. Lapangan kerja susah, pengangguran semakin banyak, sumber daya alam habis dan basik industri kita rapuh. Apa yang kita tuai adalah semata makin merosotnya kesejahteraan masyarakat luas dan makin susahnya mencari sekedar penghidupan.

Benang merah yang hendak kita angkat adalah kita harus berani berubah saat ini juga. Mindset dan attitude kita harus dikembalikan ke jalurnya. Selalu bertindak dan berjalan di atas rel kebenaran harus menjadi acuan kita. Rambu lainnya adalah batas hak kita dengan hak orang lain. Hak setiap orang harus dijunjung tinggi dan jangan terus menurutkan ego kita belaka. Kembalikan rakyat sebagai nakhoda biduk pembangunan ini dan ciptakan akses terhadap sumber daya yang ada secara fair. And justice for all,,,
Read More ..

Thursday, March 15, 2007

Nihon,,

Saya pernah mengalami 5 tahun kerja di perusahaan Jepang. Apa yang bisa kita dengar atau alami sehari-hari bahwa memang benar orang Jepang adalah pekerja keras. Mereka bisa bekerja dengan tekun dan focus dari pagi hari sampai larut malam. Bos saya bernama Kashiwakura adalah pria yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Dalam setahun hanay beberap hari beliau pulang ke negerinya. Waktunya banyak digunakan bekerja di perusahaan. Bos saya ini termasuk senior di perusahaan dan menjadi tangan kanan President Direktur. Bos saya menggantikan pejabat sebelumnya – Yoneyama yang dipanggil ke kantor pusat di Tokyo. Hari-hari pertama dating ke kantor bos banyak belajar tentang situasi pekerjaan. Belum banyak teguran atau pertintah diarahkan ke kita-kita. Selang tiga bulan mulailah bos menunjukkan kelasnya.

Setiap pagi dan sore semua dikumpulkan untuk membahas pekerjaan. Kita belum boleh pulang kecuali urusan esok sudah benar-benar pasti. Karena perusahaan ini merupakan pabrik maka segala sesuatu bisa saja dijadwalkan dan kita harus memenuhi semua jadwalnya. Konsepnya sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Sejauh kita sudah melakukan sesuatunya dengan benar maka kita tidak akan disalahkan. Namun bukan berarti kita bebas teguran atau amarah. Pernah ada seorang karyawan jatuh pingsan saking takutnya. Bisa jadi sang karyawan tadi memang ada kesalahan yang dibuat.

Pada dasarnya orang Jepang itu ramah dan cukup peduli dengan orang lain. Mereka juga memiliki etika yang bagus. Seberapa mendesak bos pengin bicara dengan kita namun melihat kita memegang telpon tetap akan ditunggu sabar sampai selesai. Tidak peduli kita telpon urusan kerja atau pribadi misalnya. Justru kita yang tidak enak kalau nelpon bukan tentang pekerjaan.

Mereka umumnya menjunjung tinggi konsep senioritas. Bagi manajer yang muda sungguh tunduk dan patuh terhadap manajer senior. Manajer senior juga takluk dan menurut apapun instruksi dari Presiden. Barangkali itu sudah budaya mereka.

Berikutnya adalah mereka tidak bakal berhenti memikirkan suatu masalah kecuali sudah ditemukan solusinya. Dalam hal ini kita bisa belajar bahwa mereka sungguh sistematis dan taktis sekali. Kadang kita, orang local sempat putus asa suatu ketika muncul masalah serius dalam produksi. Masuklah seorang manajer menengah Imai namanya dan berlatar belakang insinyur elektro. Perlahan masalah dibedah secara sistematis, dibuatkan alur dan diagramnya, disajikan beragam scenario beserta eksesnya. Akhirnya ditarik suatu kesimpulan kompromistis yang paling ideal.

Mungkin bukan berarti orang kita kalah dengan mereka. Barangkali hanya keuletan atau semangat yang membedakan dan membuat mereka menjadi tangguh.

Jadi sebutan workaholic atau gila kerja dan semacamnya sering benar belaka. Kita juga sering berpikir wah bila setiap menit dan waktu pikiran kita curahkan terus soal pekerjaan bakal cepet tua nih. Bila ekstrem mungkin iya, katakana dalam 24 jam isinya hanya kerja, kerja dan kerja, Istirahat dan tidur bila mata sudah tidak kuat bertahan dan seterusnya. Baiknya mereka memiliki kombinasi kegiatan yang barangkali seimbang dan proporsional. Bisa jadi mereka kerja mati-matian, namun usai kerja mereka sempatkan ke café untuk minum dan barangkali mencari hiburan lain. Bukan rahasia lagi kalau orang Jepang suka mencari hiburan semacam perempuan misalnya. Sehingga pengurasan energi dalam kerja bisa di reset dan fresh dengan hiburan tadi.

Konon lagi saat ini banyak generasi muda Jepang yang jenuh dengan pola kerja keras belaka. Banyak diantara mereka mencoba menikmati hidup dan bergaya hidup layaknya orang barat misalnya. Gaya hidup santai dan memanjakan diri bisa jadi dilakukan. Hebatnya kita belum mendengar katakanlah mereka mengalami krisis. Ekonomi mereka begitu bersinar dan tangguh. Rasanya banyak hal atau konsep bisa dipelajari dan diangkat agar kite tertular ketangguhan mereka.
Read More ..

Doa

Ada setitik rasa haru ketika baru saja saya telepon ke rumah dan anak saya menjelaskan besok jumat di sekolahnya diadakan itikaf bagi siswa kelas 3. Tentunya kita tahu belaka bahwa saat ini baik siswa kelas 6 atau sekolah menengah kelas 3 bersiap menghadapi ujian nasional (unas). Meskipun menjadi bahan perdebatan tahun lalu namun pemerintah memutuskan kebijakan unas ini. Tentunya hal ini sah-sah saja guna standarisasi dunia pendidikan kita. Di sisi lain bagi siswa atau sekolah pada umumnya dalam menghadapi suatu momen menentukan kecuali kerja keras maka permintaan bantuan kepada Yang Di Atas adalah jalan terbaik. Sehingga kenapa anak-anak kita yang bersiap menghadapi unas SMP mengadakan semacam doa bersama guna keberhasilan menghadapi unas.

Rasa haru juga pernah menyentuh manakala perusahaan kita beberapa kali mengadakan semacam doa bersama. Di saat persaingan dunia usaha begitu ketat maka lagi-lagi selain kerja keras, doa yang tulus wajib dilakukan guna mendapat bantuan dan perkenan-NYA.

Dalam kedua kejadian tersebut saya melihat suatu niat baik dan tanpa kepura-puraan, karena praktis tidak ada suatu maksud tersembunyi misalnya. Berbeda dengan berbagai acara dan agenda tobat nasional yang berulang kali disuarakan. Selain memang ada niat tulus dari kegiatan tobat nasional namun tidak urung menyimpan tujuan lain. Katakanlah tujuan politis atau semacam kepura-puraan sikap terhadap masyarakat luas. Buktinya meskipun berbagai tobat nasional diadakan namun tanpa dibarengi suatu sikap moral tulus, benar-benar tobat dan bertekad berbuat baik bagi sesame - nyatanya belum ada hasil konkritnya.

Sejauh ini kita belum tahu persis apakah berbagai doa yang dilakukan baik oleh sekelompok kecil atau berbagai lapisan masyarakat tersebut telah diterima dan mendapat perkenan-NYA. Bahwa doa tidaklah akan berarti tanpa dibarengi sikap dan perbuatan yang selaras dengan isi doa itu sendiri.

Berbagai kejadian maupun bencana yang menimpa kita barangkali bisa menjadikan doa sebagai upaya terakhir memohon perlindungan-NYA. Pun yang paling berat justru adalah lanjutan dari doa tadi yang tidak lain adalah berubahnya sikap dan perbuatan kita. Selama ini barangkali kita terlampau lalai dan katakanlah mendzalimi sesama. Selama ini kita terlampau rakus dan menempuh berbagai cara guna mencapai ambisi dan tujuan kita. Seolah hidup hanyalah saat ini dan kenikmatan haruslah direguk sebanyak yang kita bisa. Tidak heran bila kita menjadi semacam makhluk yang haus materi, haus kekuasaan dan haus segala nafsu kenikmatan dunia. Kita tidak cukup puas dengan apa yang sudah didapat dan selalu melakukan katakanlah penyimpangan di setiap kesempatan.

Ada semacam batas dan pagar yang bisa kita jadikan semacam control manakala ambisi dan kehausan kita menguasai, yakni kewajaran dan menghormati sesame. Konsep wajar, manusiawi dan memikirkan sesame adalah bentuk pengeremen dari laju ambisi tersebut. Kita kembalikan kepada kita masing-masing apakah kita sudah cukup memikirkan sesame. Sehingga jangan sampai doa selalu kita panjatkan namun sebaliknya perbuatan masih bertentangan dengan doa itu sendiri.
Read More ..

Wednesday, March 07, 2007

Demokrasi dan Perkapita



Profesor Budiono dalam pengukuhan guru besarnya di kampus UGM Yogyakarta menegaskan bahwa terdapat kaitan erat antara pendapatan perkapita/tingkat kemakmuran dengan jalannya demokrasi nasional.

Agar demokrasi berjalan lancar dalam jangka panjang dibutuhkan pendapatan perkapita yang diukur dari Purchasing Power Parity (P3) sebesar $6000. Saat ini perkapita kita baru berkisar $1300 atau setara dengan P3 sebesar $4000, karena asumsi harga barang dan jasa kita lebih murah ketimbang harga di negara ber-currency dollar. Untuk menuju angka $6000 dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% selama 9 tahun berturut-turut.



Masalahnya pertumbuhan ekonomi kita masih di bawah 7% ditambah angka pengangguran yang semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa pencapaian perkapita yang mendukung berjalannya demokrasi jangka panjang, tidaklah mudah.

Barangkali kenapa kehidupan demokrasi kita masih belum lancar dan kadang tersendat. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof Budiono bahwa syaratnya harus dipenuhi terlebih dahulu yakni tingkat kemakmuran kita haruslah mencapai $6000 dan ini perlu pertumbuhan ekonomi tinggi serta konsisten.

Investasi bisa jadi kata kunci-nya. Sudah tercapaikah target penanaman modal atau investasi yang kita canangkan. Hal ini nampaknya belum tercapai, kenapa karena birokrasi dan kondisi dunia usaha kita kurang menjanjikan bagi investor.

Memang terdapat pasar cukup besar karena jumlah penduduk kita yang lebih dari 200 juta. Mungkin juga sumber tenaga kerja murah bisa ditawarkan di sini. Namun bagaimana dengan birokrasi yang dari dulu bak benang ruwet, juga kepastian hukum bila timbul dispute atau jaminan keamanan bagi investor dan asetnya. Belum lupa kerusuhan sosial tahun 1998 cukup membekas dan jelas diingat oleh dunia internasional.

Memang dunia politik kita tidak mudah dilepaskan terhadap dunia ekonomi nasional. Ada seorang executive di sebuah perusahaan internasional, katakanlah level General Manager. Hmm sebuah jabatan yang cukup tinggi dan jangan dikata paket kompensasi dan benefit yang diterima. Apa yang terjadi ternyata sang executive lebih memilih menjadi politisi ketimbang jajaran manajemen perusahaan bonafid tersebut.

Alasannya adalah sehebat apapun kiprah seorang ekonom dalam dunia usaha masih kalah superior ketimbang seorang politisi, demikian mindset yang dimilikinya.

Masalahnya lagi politisi kita seringnya berangkat dari ketidakmampuan secara ekonomi, berpetualang dalam politik guna meraih penghidupan yang labih baik. Berbeda dengan politisi di Negara maju, atau yang level demokrasinya tinggi, bahwa politisi adalah mereka yang awalnya sudah mapan secara ekonomi. Jadi konsepnya berpolitik bukanlah semata untuk nafkah dan mencari makan namun lebih misi dan tanggung jawab social guna perbaikan kehidupan rakyat banyak.

Tidak aneh dalam dunia per-politikan kita terdapat banyak sekali partai yang terdiri dari orang-orang tidak mapan ekonominya.

Akibatnya misi merekapun bias dan alih-alih memperjuangkan kesejahteraan rakyat luas bahkan sibuk dengan perutnya masing-masing.

Prof Budiono begitu jeli dan pengalaman puluhan tahunnya menetaskan sebuah konsep jitu bahwa jadikanlah masyarakat kita sejahtera hidupnya. Dengan hidup sejahtera maka demokrasi baru akan bisa berjalan secara alamiah. Demokrasi yang sebenarnya adalah modal menjalankan kiprah politik. Karena politik erat dengan kekuasaan dan kekuatan maka landasan demokrasi yang jujur akan menjamin politisi pada jalurnya.
Read More ..

Monday, March 05, 2007

Crisis On School

Sudah menginjak dua bulan saya menikmati siaran parabola dari Indovision. Sejauh ini cukup memuaskan untuk kualitas dan kinerja siaran. Namun kualitas dan materi acaranya masih so so, ada yang bagus namun cukup sering diulang-ulang. Masih dimaklumi karena siaran selama 24 jam nonstop tentunya tidak terlampau salah secara acak dilakukan repeat atas suatu program yang bagus. Sebut box office movies satu dua judul macam World Of War ataupun Descent misalnya, okelah diulang satu dua kali.


Saya justru pengin sharing sebuah acara dari Metro TV yakni Oprah Winfrey, meskipun ada di Indovision, tapi semalem disiarkan tayangan “tunda” tahun 2005, atau dua tahun lalu. Yang cukup menggelitik dan menyita adalah Oprah kali ini bercerita mengenai “buruknya” pendidikan di Amerika. Tahun sebelumnya selalu siswa dari negeri paman Sam menjadi langganan juara pada setiap contest internasional. Barangkali hal ini tidak terbantahkan bahwa siapa menyangkal di sana gudangnya sumua sumber daya yang dibutuhkan untuk melahirkan intelektual hebat. Namun beberapa tahun belakangan, versi Oprah untuk contest matematika internasional Amerika terpuruk di ranking 24 !! Luar biasa merosotnya.

Bersama dengan majalah top “Time” Oprah menggelar survey bagi ratusan atau ribuan siswa SMU. Hasilnya sangat mengejutkan bahwa setiap 9 detik terdapat satu siswa drop out. Kita tentu terhenyak dengan kondisi tersebut. Bila kejadian itu menimpa katakanlah Negara Afrika atau Asia, masih biasa dan tidak mengagetkan, but this attacks on such power country like USA, really amazing. Dalam survey lapangan sempat digambarkan profil siswa yang putus sekolah. Umumnya mereka putus karena berbagai alasan seperti pemikiran tidak butuh sekolah/ijazah, kebosanan/jenuh atau factor narkoba misalnya. Barangkali juga karena standard kemakmuran mereka tinggi maka anak drop out SMU –pun masih bisa bekerja dengan gaji cukup. Katakanlah dari mereka cerita kerja di toko saja dibayar $6 perjam, atau bila dikali 8 jam sudah $48 atau setara dengan 480 ribu, hmm masih luar biasa untuk ukuran kita.

Seorang kepala SMU dalam wawancara bahkan mengatakan dari sekitar 300 siswa SMU kelas tiga yang siap ujian bakal hanya lulus 200-an. Hmm berapa tingkat ketidaklulusan yakni sekitar 30%. Kalau ini terjadi di India atau Rwanda, masih make sense, but this occurs in USA man,,

Berikutnya juga digambarkan kondisi fisik satu dua SMU yang jaraknya dari Gedung Putih hanya beberapa mil. Apa yang digambarkan adalah cukup mengenaskan untuk Negara semaju Amerika, karena di dalam sekolah banyak WC mampet, kran mampet, tembok melepuh karena gas, plafon lapuk karena bocor dan sebagainya. Kondisi yang sama juga dialami sebuah sekolah SMU elit berlokasi beberapa mil dari Gedung DPR. Betapa dari luarnya sekolah tersebut keren dan konon paling favorit namun dalamnya sama, banyak ruangan jorok dan tembok-tembok mengelupas.

Oprah bagaimanapun cukup salut dengan tanggapan pemerintah karena begitu mendapati kondisi sekolah yang memprihatinkan pemerintah langsung mengalokasikan 1 billion dollar untuk merenovasinya. Berapa dalam rupiah kira-kira yaa, sekitar 9 triliun, luar biasa untuk kita namun mungkin biasa saja bagi mereka.

Benang merah yang bisa kita diskusikan barangkali adalah bahwa kemajuan sebuah Negara yang sebenarnya bisa merupakan katakan lompatan deret ukur, yaitu pencapaian saat ini yang sudah maju bisa mengantarkan lompatan jauh ke depan ketimbang pencapaian yang biasa, kadang tidak sepenuhnya berlaku. Artinya tetap ada peluang mengejar ketinggalan. Sehingga hal ini dapat menambah semangat kita misalnya untuk berkinerja lebih baik lagi. Ini jelas satu peluang bagi kita, bila kita menyadari. Namun kontra produktifnya sering kita terbelit dengan permasalahan internal tiada habisnya. Seputar anggaran yang terbatas, kondisi fisik sekolah yang rusak dan klasiknya masalah kurikulum serta content materi SMU kita yang terlampau luas dan menyebar.

Terlepas dari semuanya nampaknya semangat (SPIRIT) baru patut terus kita cetus dan letupkan menuju “our sustainable attainment”. Selamat bekerja !
Read More ..