Pria berumur sekitar 24 tahun itu, belum lama menikah. Bajunya dari katun berwarna coklat tua. Celananya jean lusuh berwarna hitam. Dibahunya tercangklong tas hitam. Isinya kaos, celana pendek dan alat tulis. Menikah di usia yang tergolong muda dan disaat tidak memiliki pekerjaan tetap. Pria itu hanya menjadi pengajar honorer di sebuah SMP di Solo. Gajinya sekitar lima belas ribu rupiah pada tahun 1992.
Dari rumah ke sekolah pria itu naik sepeda onthel. Uniknya bukan sepeda onthel untuk orang dewasa, namun sepeda onthel berukuran mini. Bukan untuk gaya namun karena itulah satu-satunya sepeda yang ada.
Berkeluarga bukan hal yang mudah, apalagi dengan penghasilan lima belas ribu rupiah. Sudah banyak kantor didatangi dan dilamar, tapi semuanya menjawab seragam, tidak ada lowongan. Situasi rumah tangga pasangan yang masih numpang di rumah orang tua ditambah tidak cukupnya penghasilan membuat suasana keluarga cepat berubah. Sang pria mulai merasa semua orang membencinya. Anggota keluarga yang bersikap biasa saja berubah menjadi seolah mulai tidak bersahabat. Tetangga kanan kiri yang bicara biasa dianggap seolah membicarakannya. Dunia serasa sempit dan makin menghimpit.
Selembar koran yang dibacanya siang itu di sebuah took besi menarik perhatian sang pria bergaji lima belas ribu rupiah. Dibutuhkan seorang kasir di rumah makan dekat Universitas Satya Wacana Salatiga begitu bunyi iklannya. Tanpa berpikir dua kali esoknya pergilah dia ke Salatiga. Naik bus dari Solo membutuhkan waktu satu setengah jam. Begitu turun di lampu merah jalan Salatiga Semarang pria itu langsung mendatangi pak polisi dan bertanya sebuah alamat.
Hari sudah berangsur panas, matahari menyengat pada jam 10.00 pagi itu. Sang pria terus berjalan menyusuri jalan. Peluh bercucuran di dahi dan punggungnya. Tenggorokannya kering dan haus namun terus berjalan. Beberapa lembar uang ribuan dikantongnya hanya cukup buat ongkos pulang. Setelah dua kali salah belok akhirnya tibalah di sebuah restaurant berukuran sedang.
Restauran itu bercat putih, bersih dan lokasinya strategis. Mejanya ditata rapi dan didinding terpampang daftar menu. Memang bukan restaurant mewah, hanyalah sebuah restaurant yang pengunjungnya mahasiswa.
Seorang pelayan wanita sedang sibuk membersihkan meja, sementara seorang lainnya sedang merapikan jajaran tempat makanan.
“Permisi mba, bisakah saya bertemu dengan pemilik rumah makan,” dengan sopan pria kemeja coklat bertanya kepada pelayan.
“Dari siapa yaa,?” pelayan balik bertanya.
“Saya ingin bertemu pemilik restaurant,” ulang sang pria tanpa menjawab balik dan hanya mengganti rumah makan menjadi restaurant.
Nampaknya pelayan tidak ingin bertele-tele, langsung masuk ke dalam dan melaporkan datangnya tamu kepada tuannya. Restauran itu cukup besar untuk ukuran kota Salatiga, halamannya cukup muat parkir enam mobil.
Di belakang restaurant adalah tempat tinggal pemiliknya yang dibuat bertingkat sehingga kelihatan dari jalan. Tidak lama munculah seorang ibu yang kulitnya putih bersih, berwajah cantik, berambut panjang. Sang pria menjelaskan maksud kedatangannya untuk melamar pekerjaan sebagai kasir. Sang ibu sedikit heran dan mengamati pria yang sebenarnya simpatik dan berpakaian rapi meskipun celananya lusuh.
“Mas salah alamat kali, kami membutuhkan hanya seorang kasir restaurant ini,” ujarnya sambil terus mengamati namun menerima satu bendel lamaran yang diulurkan sang pria.
Sang pria meyakinkan bahwa ia memang berniat melamar menjadi kasir di restaurant sementara sang ibu terus menolak sambil membuka-buka bendel lamaran.
“Yang kami butuhkan hanyalah kasir maksimal lulusan SMA, sementara mas seorang sarjana bahasa inggris,” jelas sang ibu mulai merasa iba.
Dengan kegigihan yang luar biasa serta meyakinkan siap bekerja dengan baik dan dibayar berapapun sang pria terus mendesak agar bisa diterima. Nampaknya hati sang ibu mulai luluh dan kasihan melihat muka yang kelelahan dan kelak dia bilang kepada karyawan lainnya bahwa pria itu berwajah ganteng. Debat antara sang pria yang terus bersikukuh dengan argument sang ibu pemilik restaurant berjalan sekitar setengah jam. Sang ibu terheran-heran bagaimana dia melayani kegigihan sang pria begitu lama.
Upaya terakhir yang dilontarkan sang ibu untuk menolak adalah gaji yang ditawarkan sebesar empat puluh ribu rupiah per bulan dan karyawan tinggal di mess belakang dengan makan seadanya. Apa daya sang pria tetap teguh dan menerima gaji yang ditawarkan tanpa syarat. Sang ibu tidak tahu bahwa gaji empat puluh ribu rupiah merupakan angka yang besar bagi pria berpenghasilan lima belas ribu tersebut. Dan yang terpenting dengan gaji itu sang pria ingin membuktikan dia mampu menghidupi keluarga.
Dari rumah ke sekolah pria itu naik sepeda onthel. Uniknya bukan sepeda onthel untuk orang dewasa, namun sepeda onthel berukuran mini. Bukan untuk gaya namun karena itulah satu-satunya sepeda yang ada.
Berkeluarga bukan hal yang mudah, apalagi dengan penghasilan lima belas ribu rupiah. Sudah banyak kantor didatangi dan dilamar, tapi semuanya menjawab seragam, tidak ada lowongan. Situasi rumah tangga pasangan yang masih numpang di rumah orang tua ditambah tidak cukupnya penghasilan membuat suasana keluarga cepat berubah. Sang pria mulai merasa semua orang membencinya. Anggota keluarga yang bersikap biasa saja berubah menjadi seolah mulai tidak bersahabat. Tetangga kanan kiri yang bicara biasa dianggap seolah membicarakannya. Dunia serasa sempit dan makin menghimpit.
Selembar koran yang dibacanya siang itu di sebuah took besi menarik perhatian sang pria bergaji lima belas ribu rupiah. Dibutuhkan seorang kasir di rumah makan dekat Universitas Satya Wacana Salatiga begitu bunyi iklannya. Tanpa berpikir dua kali esoknya pergilah dia ke Salatiga. Naik bus dari Solo membutuhkan waktu satu setengah jam. Begitu turun di lampu merah jalan Salatiga Semarang pria itu langsung mendatangi pak polisi dan bertanya sebuah alamat.
Hari sudah berangsur panas, matahari menyengat pada jam 10.00 pagi itu. Sang pria terus berjalan menyusuri jalan. Peluh bercucuran di dahi dan punggungnya. Tenggorokannya kering dan haus namun terus berjalan. Beberapa lembar uang ribuan dikantongnya hanya cukup buat ongkos pulang. Setelah dua kali salah belok akhirnya tibalah di sebuah restaurant berukuran sedang.
Restauran itu bercat putih, bersih dan lokasinya strategis. Mejanya ditata rapi dan didinding terpampang daftar menu. Memang bukan restaurant mewah, hanyalah sebuah restaurant yang pengunjungnya mahasiswa.
Seorang pelayan wanita sedang sibuk membersihkan meja, sementara seorang lainnya sedang merapikan jajaran tempat makanan.
“Permisi mba, bisakah saya bertemu dengan pemilik rumah makan,” dengan sopan pria kemeja coklat bertanya kepada pelayan.
“Dari siapa yaa,?” pelayan balik bertanya.
“Saya ingin bertemu pemilik restaurant,” ulang sang pria tanpa menjawab balik dan hanya mengganti rumah makan menjadi restaurant.
Nampaknya pelayan tidak ingin bertele-tele, langsung masuk ke dalam dan melaporkan datangnya tamu kepada tuannya. Restauran itu cukup besar untuk ukuran kota Salatiga, halamannya cukup muat parkir enam mobil.
Di belakang restaurant adalah tempat tinggal pemiliknya yang dibuat bertingkat sehingga kelihatan dari jalan. Tidak lama munculah seorang ibu yang kulitnya putih bersih, berwajah cantik, berambut panjang. Sang pria menjelaskan maksud kedatangannya untuk melamar pekerjaan sebagai kasir. Sang ibu sedikit heran dan mengamati pria yang sebenarnya simpatik dan berpakaian rapi meskipun celananya lusuh.
“Mas salah alamat kali, kami membutuhkan hanya seorang kasir restaurant ini,” ujarnya sambil terus mengamati namun menerima satu bendel lamaran yang diulurkan sang pria.
Sang pria meyakinkan bahwa ia memang berniat melamar menjadi kasir di restaurant sementara sang ibu terus menolak sambil membuka-buka bendel lamaran.
“Yang kami butuhkan hanyalah kasir maksimal lulusan SMA, sementara mas seorang sarjana bahasa inggris,” jelas sang ibu mulai merasa iba.
Dengan kegigihan yang luar biasa serta meyakinkan siap bekerja dengan baik dan dibayar berapapun sang pria terus mendesak agar bisa diterima. Nampaknya hati sang ibu mulai luluh dan kasihan melihat muka yang kelelahan dan kelak dia bilang kepada karyawan lainnya bahwa pria itu berwajah ganteng. Debat antara sang pria yang terus bersikukuh dengan argument sang ibu pemilik restaurant berjalan sekitar setengah jam. Sang ibu terheran-heran bagaimana dia melayani kegigihan sang pria begitu lama.
Upaya terakhir yang dilontarkan sang ibu untuk menolak adalah gaji yang ditawarkan sebesar empat puluh ribu rupiah per bulan dan karyawan tinggal di mess belakang dengan makan seadanya. Apa daya sang pria tetap teguh dan menerima gaji yang ditawarkan tanpa syarat. Sang ibu tidak tahu bahwa gaji empat puluh ribu rupiah merupakan angka yang besar bagi pria berpenghasilan lima belas ribu tersebut. Dan yang terpenting dengan gaji itu sang pria ingin membuktikan dia mampu menghidupi keluarga.
No comments:
Post a Comment