“Nak makan dulu ya, yang lain sudah pada selesai tuh,” kata ibu kost lembut. Yang disuruh makan seorang laki-laki berumur 23 tahun. Perawakannya agak kurus dengan tinggi seratus enam puluh lima centimeter, berkulit sawo matang dan rambutnya gondrong.
“Terima kasih Bu, saya nanti saja makannya,” jawab sang laki-laki lirih. Jelas kelihatan dia memendam kesedihan yang sangat. Laki-laki dengan kaos warna abu-abu dan celana tiga perempat warna hitam dan bersandal jepit bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi.
Kemarin laki-laki itu baru saja kembali dari Semarang.
Pekerjaan yang ditekuninya adalah seorang guru di sebuah SMA di Sragen. Sudah hampir satu tahun pekerjaan itu ditekuninya. Honornya hanya empat puluh lima ribu rupiah. Selepas menyelesaikan kuliahnya tahun 1991 dia langsung melamar sebagai pengajar di SMA katholik dan diterima. Karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh daripada menanggung biaya transport yang mahal dipilihnya kost dekat sekolahan. Sewa kostnya dua puluh lima ribu sebulan namun termasuk makan tiga kali. Setiap akhir bulan tinggal dua puluh ribu berada di kantongnya.
Dari koran Suara Merdeka laki-laki itu tahu ada lowongan di sebuah perusahaan farmasi di Semarang. Tanpa pikir panjang berangkatlah dia ke Semarang setelah memberitahu ibu kost dan minta ijin kepala sekolah tempatnya mengajar. Ada sekitar seratus lebih pelamar yang memenuhi kantor farmasi itu. Konon yang dibutuhkan hanyalah empat orang saja Maka dilakukan test tertulis selama dua jam. Selesai test peserta langsung diumumkan yang termasuk sepuluh besar dan berhak interview akhir.
Sang laki-laki 23 tahun berhasil masuk sepuluh besar.
Sebagian besar peserta harus pulang gigit jari. Begitulah susahnya mencari pekerjaan tujuh belas tahun lalu. Dan apalagi hari ini dimana jumlah pencari kerja melonjak tajam sementara pos pekerjaan terbatas. Selesai dilakukan interview oleh kepala cabang dan seorang ahli farmasi maka diumumkan empat orang yang diterima. Empat orang itu terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. Kedua perempuan lulusan dari sekolah Farmasi sementara kedua laki-laki adalah jebolan Kedokteran Hewan di Surabaya. Gajinya tujuh ratus ribu rupiah. Jumlah yang wah pada masa itu.
Laki-laki sawo matang berambut gondrong tidak diterima. Begitu mendengar pengumuman dan informasi gaji, lemaslah dia. Dunia serasa kiamat dan dadanya begitu sesak.
Terbayang impiannya menggapai kehidupan yang lebih baik. Terbayang orang tuanya yang harus dia bahagiakan. Terbayang adik-adiknya yang membutuhkan biaya sekolah. Dua kakaknya memang sudah bekerja namun begitu besar tekadnya untuk bisa bekerja dengan gaji yang pantas.
“Nak, makan dululah, nanti masuk angin lho,” kembali bisikan lembut ibu kost mengagetkan angannya. Ibu kost sudah diceritakan hal pekerjaan yang gagal dan turut merasa iba.
“Percayalah nak, Tuhan akan memberi kita rejeki suatu ketika,” hibur ibu kost sambil memegang pundaknya.
“Terima kasih bu,” jawab laki-laki itu lirih seraya bangkit dan berjalan menuju meja makan. Hanya sedikit yang masuk ke perutnya karena pikiran yang ruwet.
Seminggu berlalu, usai pulang mengajar ibu kost berteriak,”Nak ada surat untuk kamu,”. Tidak sabar dibukanya surat bersampul putih bergaris biru dan berlogo perusahaan farmasi. Jantungnya berdetak kencang. Perlahan dibukalah suratnya dan isinya adalah penggilan interview.
Tanpa menunda waktu berangkatlah laki-laki itu ke Semarang sorenya.
“Saudara dipanggil karena ada seorang calon karyawan yang mengundurkan diri,” terang kepala cabang pagi harinya.
“Karena saudara secara ranking berada di tempat kelima, maka kami menawarkan bersediakah saudara …………………..,” lanjut kepala cabang dengan seksama.
Tanpa menunggu kepala cabang menyelesaikan kalimatnya laki-laki dengan gemetar mengangguk dan menjawab,” Saya bersedia pak, terima kasih banyak,”. Kali ini terbayang dibenaknya senyum orang tua dan adik-adiknya.
“Terima kasih Tuhan,” gumamnya serasa menyalami kepala cabang sambil tersenyum bahagia.
“Terima kasih Bu, saya nanti saja makannya,” jawab sang laki-laki lirih. Jelas kelihatan dia memendam kesedihan yang sangat. Laki-laki dengan kaos warna abu-abu dan celana tiga perempat warna hitam dan bersandal jepit bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi.
Kemarin laki-laki itu baru saja kembali dari Semarang.
Pekerjaan yang ditekuninya adalah seorang guru di sebuah SMA di Sragen. Sudah hampir satu tahun pekerjaan itu ditekuninya. Honornya hanya empat puluh lima ribu rupiah. Selepas menyelesaikan kuliahnya tahun 1991 dia langsung melamar sebagai pengajar di SMA katholik dan diterima. Karena jarak rumah ke sekolah cukup jauh daripada menanggung biaya transport yang mahal dipilihnya kost dekat sekolahan. Sewa kostnya dua puluh lima ribu sebulan namun termasuk makan tiga kali. Setiap akhir bulan tinggal dua puluh ribu berada di kantongnya.
Dari koran Suara Merdeka laki-laki itu tahu ada lowongan di sebuah perusahaan farmasi di Semarang. Tanpa pikir panjang berangkatlah dia ke Semarang setelah memberitahu ibu kost dan minta ijin kepala sekolah tempatnya mengajar. Ada sekitar seratus lebih pelamar yang memenuhi kantor farmasi itu. Konon yang dibutuhkan hanyalah empat orang saja Maka dilakukan test tertulis selama dua jam. Selesai test peserta langsung diumumkan yang termasuk sepuluh besar dan berhak interview akhir.
Sang laki-laki 23 tahun berhasil masuk sepuluh besar.
Sebagian besar peserta harus pulang gigit jari. Begitulah susahnya mencari pekerjaan tujuh belas tahun lalu. Dan apalagi hari ini dimana jumlah pencari kerja melonjak tajam sementara pos pekerjaan terbatas. Selesai dilakukan interview oleh kepala cabang dan seorang ahli farmasi maka diumumkan empat orang yang diterima. Empat orang itu terdiri dari dua perempuan dan dua laki-laki. Kedua perempuan lulusan dari sekolah Farmasi sementara kedua laki-laki adalah jebolan Kedokteran Hewan di Surabaya. Gajinya tujuh ratus ribu rupiah. Jumlah yang wah pada masa itu.
Laki-laki sawo matang berambut gondrong tidak diterima. Begitu mendengar pengumuman dan informasi gaji, lemaslah dia. Dunia serasa kiamat dan dadanya begitu sesak.
Terbayang impiannya menggapai kehidupan yang lebih baik. Terbayang orang tuanya yang harus dia bahagiakan. Terbayang adik-adiknya yang membutuhkan biaya sekolah. Dua kakaknya memang sudah bekerja namun begitu besar tekadnya untuk bisa bekerja dengan gaji yang pantas.
“Nak, makan dululah, nanti masuk angin lho,” kembali bisikan lembut ibu kost mengagetkan angannya. Ibu kost sudah diceritakan hal pekerjaan yang gagal dan turut merasa iba.
“Percayalah nak, Tuhan akan memberi kita rejeki suatu ketika,” hibur ibu kost sambil memegang pundaknya.
“Terima kasih bu,” jawab laki-laki itu lirih seraya bangkit dan berjalan menuju meja makan. Hanya sedikit yang masuk ke perutnya karena pikiran yang ruwet.
Seminggu berlalu, usai pulang mengajar ibu kost berteriak,”Nak ada surat untuk kamu,”. Tidak sabar dibukanya surat bersampul putih bergaris biru dan berlogo perusahaan farmasi. Jantungnya berdetak kencang. Perlahan dibukalah suratnya dan isinya adalah penggilan interview.
Tanpa menunda waktu berangkatlah laki-laki itu ke Semarang sorenya.
“Saudara dipanggil karena ada seorang calon karyawan yang mengundurkan diri,” terang kepala cabang pagi harinya.
“Karena saudara secara ranking berada di tempat kelima, maka kami menawarkan bersediakah saudara …………………..,” lanjut kepala cabang dengan seksama.
Tanpa menunggu kepala cabang menyelesaikan kalimatnya laki-laki dengan gemetar mengangguk dan menjawab,” Saya bersedia pak, terima kasih banyak,”. Kali ini terbayang dibenaknya senyum orang tua dan adik-adiknya.
“Terima kasih Tuhan,” gumamnya serasa menyalami kepala cabang sambil tersenyum bahagia.
No comments:
Post a Comment