Pagi tadi ada telepon dari rumah mengabarkan si kecil yang masih di playgroup ngga mau makai kostum Jawa, maunya kostum Sumatera. Kostum itu dipakai dalam rangka peringatan salah satu hari Nasional. Baru ingat kalau hari ini adalah hari Kartini. Padahal di setiap ulangan SD tentu tidak ketinggalan ditanyakan tanggal berapakah hari Kartini.
Semangat Kartini rupanya harus didengungkan lebih keras lagi saat ini. Masih banyak kaum perempuan yang ter-ekploitasi baik oleh keadaan maupun oleh kediktatoran. Belum lupa bagaiman derita TKI di negeri asing yang berjuang mendapat sejumput rejeki, mengadu nasib dengan akibat yang kadang tidak sepadan. Diperkosa, disiksa, dipaksa kerja keras siang malam dan seterusnya adalah berita “Biasa” yang dialami kaum TKI di negeri asing. Meski sering dihibur dengan sebutan pahlawan devisa, pahlawan tenaga kerja dan seterusnya, namun ternyata tidak sedikit yang menjadi korban. Bahkan pulang-pun dengan membawa sedikit rejeki yang dikumpulkan bertahun-tahun sering masih diakali bahkan “diperas” begitu sampai di Bandara, ibarat sudah jatuh dari mulut singa- lepas tertatih-tatih masih jatuh pula dimulut buaya. Sungguh sangat tidak sepadan pengorbanan kaum wanita “pahlawan devisa” tadi guna menyambung penghidupannya.
Sementara di negeri sendiri tidak sedikit perempuan yang dimanfaatkan untuk bekerja di pabrik atau perkebunan yang diupah rendah. Sudah jamak bahwa industri garmen, rokok, perkebunan, elektronik atau industri padat karya lainnya lebih memilih tenaga perempuan karena disamping lebih teliti juga daya tawarnya rendah dan umumnya bersedia diupah ala kadarnya. Mungkin agak beda dengan laki-laki yang tidak nerima begitu saja dengan standard upah tersebut.
Mimpi Kartini adalah bagaimana kaum perempuan bisa duduk dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki. Meski saat ini apa yang sudah dicapai perempuan nasional sudah sangat tinggi dan memang sudah setara dengan laki-laki, namun bukan berarti semangat Kartini sudah surut. Terkadang memang dibutuhkan kepemimpinan kaum perempuan dalam berbagai bidang. Tidak jarang perempuan bisa berlaku lebih tegas, jujur dan tanpa kompromi, ketimbang laki-laki. Sudah banyak perempuan menjadi direktur perusahaan, menjadi eksekutif, menjadi polisi, dokter, birokrat, engineer, peneliti, doctor, professor dan bahkan menjadi Menteri dan Kepala Negara. Entah apa jadinya kaum perempuan tanpa kehadiran Kartini, meski jaman dan alam terus bergulir mungkin kebangkitan perempuan akan sangat terlambat tanpa perannya. Kaum perempuan pantas berterima kasih dan menjunjung tinggi jasa dan kepahlawanan RA Kartini.
Selamat Hari Kartini 21-April, dan Wikipedia sudah memaparkan biografi dari RA Kartini - sang pahlawan emansipasi wanita.
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis
No comments:
Post a Comment