Thursday, July 20, 2006

Siti Nurhaliza

Saya coba mengetik lima belas menit sebelum pulang kantor jam 17.00 WIB. Topik yang tiba-tiba hinggap adalah penyanyi nan jelita Siti Nurhaliza. Tentunya idola dari negeri seberang ini begitu akrab ditelinga dan mata kita karena saking seringnya muncul baik di televise maupun konser life di Jakarta. Hampir tidak ada cacat cela pada sang jelita nan pesona ini. Ya cantik, ramping, sopan, fasih, merdu, lembut, penuh pesona dan seabreg hal-hal baik lainnya. Apa yang ditampilkan sang idola kita ini sebenarnya apa adanya namun justru sungguh mempesona. Namanyapun begitu Asia—Siti dan dalam aksi panggungnya hampir didominasi kostum sopan kebaya ala gadis Asia pada umumnya. Tidak banyak penyanyi kita yang “rela” menggunakan kostum tadi. Namun oleh Siti semua kesederhanaan disulap menjadi pesona.

Yang saya ingat bahwa Siti sangat berbangga menjadi warga Malaysia dan Asia pada umumnya. Dia begitu mencintai ke-asia-annya yang pada banyak penyanyi kita kadang berusaha dihapuskan. Banyak penyanyi kita yang kebarat-baratan dan hilang warna asianya. Namun Siti justru mengentalkan warna asia ini meskipun kelasnya sebenarnya sudah mendunia. Belum lupa dalam benak kita Siti pernah tampil sepanggung dengan penyanyi-penyanyi barat.

Berkolaborasi dengan Erwin Gutawa, Siti sering menghias televise kita. Kitapun tanpa bosan selalu mengagumi penampilan sang diva yang satu ini. Suara nan merdu, wajah nan cantik, tampilan nan gemulai ditambah kostum nan anggun penuh kesopanan menjadi profil sempurna sang idola. Betapa Siti telah menjadi idola banyak kaum hawa di Negara kita. Tampil sepanggung dengan banyak penyanyi top local pun sering dilakukan dan kesemuanya seolah makin mengukuhkan keagungan sang idola. Begitu penuh daya tarik dan pesona sehingga kadang penyanyi top kita terlihat “buruk” tampil sepanggung.

Akhirnya di Koran tempo hari tertera besar-besar sang idola bakal menikah dengan pengusaha kaya negeri jiran yang sudah duda. Milyaran rupiah bakal dikucurkan sang pengusaha beruntung yang bakal memboyong Siti menjadi ratu keluarga. Semoga pernikahan tadi berjalan lancer dan bahagia selamanya. Selamat menempuh hidup baru sang idola tercinta. Tetaplah berkarya dan menjadi penyanyi asia sejati. Selaraslah dengan negaramu yang berslogan “truly asia”. Kita pantas menghormat dan meniru sepak terjang sang diva jiran ini.
Read More ..

Penang

Sebelum terlupa saya coba mengingat ke belakang saat lepas kuliah. Tahun 1992 adalah tahun dimana saya harus berangkat training ke Malaysia selama 3 bulan. Usai wisuda tidak banyak kegiatan yang saya lakukan. Saking sulitnya mencari pekerjaan bahkan saya “rela” kerja di sebuah restaurant kampus di Salatiga. Lokasinya dekat Universitas Satya Wacana. Hanya sebulan saya kerja di sini sebelum ada panggilan ke Jakarta di sebuah pabrik Elektronik. Berangkat ke Jakarta-pun hanya berbekal ala kadarnya, karena ini kunjungan kedua sejak pertama menginjak Jakarta tahun 1991.

Sampai di Jakarta tidak lama karena segala sesuatunya sudah diurus oleh perusahaan, ya paspor maupun akomodasi lainnya. Tibalah saat yang ditunggu dimana kita mengalami penerbangan pertama dengan Garuda Boeing 747 yang jajaran kursinya 2-4-2. Rupanya penumpang tidaklah terlampau penuh dan bahkan didominasi oleh kita para trainer muda ini. Deruman mesin jet saat jelang take off begitu dasyat dan makin kuat saat pesawat dengan dorongan jet melesat take off. Puihh pengalaman terbang pertama memang berkesan dimana ketika pesawat mulai terbang perut saya terasa tertinggal di belakang, he he geli juga ya. Belum ditambah saat pesawat mulai mengudara telinga kita terasa menjadi tuli. Jadi inget kenapa tadi pramugari membagikan permen sebelum take off, ternyata dengan mengulum permen telinga normal kembali.

Penerbangan menuju Penang berjalan 50-an menit sebelum transit di Changi Airport Singapora. Wah ini airport canggih dan bersih bener yaa. Nampaknya jauh tuh dengan bandara cengkareng kita. Di Changi kita transit sebentar sebelum melanjutkan penerbangan dengan Singapore Airlines menuju Penang. Lagi-lagi pesawatnya yang canggih yakni Boeing 747. Kira-kira waktu tempuhnya sama yakni sekitar 50 menitan kita mendarat di Penang. Sebelum mendarat nampak jelas pulau-pulau di semenanjung Malaysia ini dan makin ke bawah mulai terlihat jelas hamparan pohon kelapa sepanjang pantai. Hmm asyik juga view dari atas yaa.

Sampai di Bandara sudah banyak orang Jepang yang menyambut kita, wah jadi kayak orang penting nih. Kitapun lanjut menuju Hotel Ming Court di pulau Penang, dimana kita akan tinggal selama 3 bulan. Bayangkan kita akan tinggal selama 90 hari di Hotel bintang 3 pada tahun 1992 awal, sungguh penagalaman berharga. Setelah dijamu direstoran hotel dan basa-basi dengan orang-orang Jepang, kita dibagikan uang saku bulanan sekitar 500-an ringgit atau setara dengan 4 juta rupiah pada tahun itu dimana 1 ringgit adalah 850 rupiah. Ini uang saku bulanan bakal makan kita, karena penginapan dan antar jemput bus sudah disediakan.

Mulailah kehidupan baru kita berjalan dimana setiap pagi habis mandi kita mesti stand by di lobby hotel menunggu suttle bus yang akan membawa kita ke pabrik elektronik terbesar di daratan Malaysia. Kita tidak sarapan di hotel karena di kantin pabrik sudah tersedia dua restoran besar dimana kita bebas memilih sarapan mulai dari roti sampai makanan berat. Dengan sekitar 2 atau 3 ringgit kita bisa makan kenyang, makanya dengan sedikit berhemat uang saku kita malah berlebih dan bisa ditabung.

Jalan menuju kawasan industri ini melewati jembatan sepanjang 15 km-an yang menghubungkan pulau Penang dengan daratan Malaysia. Tahun 1992 saja mereka sudah memiliki jembatan panjang yang membentang di atas laut. Memang pintar pengelola training perusahaan dimana kita diberikan penginapan di kota pulau dan setiap hari melewati jembatan di atas laut, jadinya tidak membosankan.

Masalah satu-satunya adalah mencari makanan yang cocok, nah lho. Hari-hari pertama kita banyak yang tidak makan karena masakan sedikit beda dan belum kenal dengan perut kita. Kebanyakn aroma karinya kuat. Sampai akhirnya kita mendapatkan masakan Indonesia di sebuah restaurant dengan harga sangat murah. Hanya dengan 3 ringgit sudah bebas memilih ayam, daging dan lauk lainnya. Praktis 3 bulan kita selalu makan di tempat ini, sampai pemiliknya hapal belaka. Ya sekali-kali bolehlah kita makan di McDonald atau KFC, dimana sekali makan saja kita harus mengeluarkan 15 ringgit !!

Training-pun berjalan mulus dan lancar dan jadwal 3 bulan terlaksana dengan baik. Gantian pulang ke Jakarta ternyata tidak dalam rombongan melainkan dipecah-pecah. Malah saya sendirian kala itu harus ke Bandara Penang untuk selanjutnya terbang ke Changi dan Jakarta. Hanya seorang staff HRD mendampingi saya menuju Bandara. Di Pesawat saya duduk berjejer dengan orang Inggris dan kita sempat ngobrol sedikit seputar musik. Sampai Jakarta tidak banyak waktu istirahat karena paginya kita harus sudah ngantor dan bekerja.
Read More ..

Wednesday, July 19, 2006

Dari Sudut Mana

Pagi ini karena harus mampir ke suatu tempat menyelesaikan suatu urusan saya bermaksud menuju kantor. Berhubung jaraknya tidak terlampau jauh saya mencoba memanggil bajaj. Tentunya kita semua kenal belaka makhluk bajaj itu seperti apa. Ya benar, sebuah vespa yang dimodifikasi dapat memuat 3 orang termasuk sopirnya. Bajaj pertama yang saya panggil menolak serya berujar-- maaf saya tidak tahu dimana setiabudi yang bapak tuju. Nanti saya tunjukkan jalannya teriak saya, terlanjur deh sang bajaj sudah ngacir. Kepikir juga mau ngambil taxi, tapi tidak lama sebuah bajaj melintas lagi dan saya panggil. Pak setiabudi berapa ya? saya tanya, lima belas ribu jawab sopir bajaj ber-baju lusuh. Wah itu sih tariff taxi argumenku, tujuh ribu ya—sepuluh deh jawabnya dengan mimik datar. Akhirnya setelah perjuangan alot tercapai kesepakatan delapan ribu rupiah.

Sopir bajaj itu sudah berumur dengan baju yang sangat lusuh, mesin bajaj yang berisik dan tidak bisa berjalan kencang—jalannya lambat kayak siput. Di tengah Jakarta jam 10 pagi terasa begitu panasnya terik matahari menerobos atap bajaj. Berkali-kali bajaj berhenti karena macet dan giliran jalan lengang bajajpun berjalan pelan, karena memang tidak bisa cepat. Rasanya hanya berlari sekitar 20 km per jam. Dari belakang saya perhatikan bapak tua sopir bajaj dengan kulit kecoklatan terbakar matahari setiap hari. Wajahnya datar dan sabar menapaki jalanan ibukota yang begitu semrawut. Pantaslah perilaku bajaj suka seenaknya karena memang dituntut begitu. Kalau bajaj antrian dengan mobil lainnya selain panas, asap dan lama menempuh jarak juga target setoran bisa tidak tercapai. Makanya sudah alami bajaj akan jalan berkelok-kelok, menyerobot jalan karena tuntutan keadaan.

Di saat kita berada dalam mobil pribadi kita selalu menilai—ah sopir bajaj ngga tahu aturan, main serobot seenaknya, jalan pelan dan ngga mau antri. Kita melihatnya dari sudut pandang pengendara mobil pribadi yang nyaman ber-AC dan aman bahwa bajaj adalah biang kerok jalanan dan kerap bikin macet jalan. Belum kalau kebetulan nyerempet kendaraan kita wuih sebelnya—boro-boro mau ngganti, paling banter hanya pasang badan, maaf pak tidak sengaja—maaf saya belum dapet tumpangan dan seabreg kalimat klise lainnya. Paling banter kita gondok dan siap-siap merogoh kocek untuk memperbaiki bekas serempetan.

Sebaliknya dari dalam bajaj sudut pandang kita akan berubah drastis. Begitu beratnya keseharian penarik bajaj, panas, macet, penumpang rewel, mesin bajaj tua, berisik, polusi dan seabreg ketidakenakan lainnya, masak nggak boleh selap selip, pan kitanya kecil mana beroda 3 lagi. Situ enak di dalam mobil mewah ber-AC, nyaman, aman duduk bersama cewek cantik lagi, nah lho.

Sudut pandang kita memang bakal subyektif dalam melihat dunia di luar kita. Dibutuhkan suatu pemahaman komprehensif nan obyektif dalam melihat setiap hal. Sebagaimana sang pemilik mobil pribadi melawan sopir bajaj di atas. Itulah pangkal timbulnya konflik manakala setiap orang memegang kebenaran dari sudut pandangnya. Tidak berlebihan sopir bajaj berperilaku seenaknya karena keadaan mendorongnya berbuat seperti itu. Sebaliknya tidak berlebihan pula sang pemilik mobil mewah menuntut jalanan tertib karena merasa membayar pajak, dan seterusnya. Ah jadi ingat pelajaran SD saya bahwa ternyata kita haruslah memiliki pengendalian diri. Jadi inilah salah satu kuncinya agar benturan perasaan benar kita terkendali. Hmm seandainya semuanya memiliki pengendalian diri yang baik, alangkah damainya hidup ini.

Pak pak sudah sampai, kata sopir bajaj membuyarkan lamunan saya. Oh yaa ternyata saya sudah di setiabudi dimana kantor berada. Ini pak sepuluh ribu, kembalian silakan diambil saja kata saya sambil bergegas keluar bajaj. Terima kasih pak, balas sopir bajaj berwajah coklat terbakar sambil melanjutkan tugasnya mengelilingi jalanan ibukota mengejar setoran.
Read More ..

Monday, July 17, 2006

Musik Rock

Bermula dari kegiatan kampus di UNS tahun 1988-an yang merayakan dies natalis dengan mengadakan pentas musik di kampus. Saya ingat sekali ketika itu fakultas Sospol mengadakan malam dies natalis-nya dengan menampilkan band kampus. Salah satu band dengan fasih-nya melantunkan lagu-lagu the Police. Satu yang terkenal adalah So Lonely. Wabah musik rock menjalar cepat bagaikan virus. Menyusul fakultas kedokteran lalu pertanian, teknik, sastra dan hampir semua fakultas berlomba menampilkan hiburan musik. Lantas idepun berkembang dengan mengundang musik professional macam godbless, trio libel, anggun c sasmi, krakatau dan sekian grup band rock lainnya dari Surabaya, Jakarta maupun Solo sendiri.

Bagi kita mahasiswa masa itu kegiatan-pun bertambah dengan rajin menghadiri pertunjukkan musik. Lebih luas hal ini terus merambah tidak hanya lingkup kampus namun menjalar ke kampus lainnya dan bahkan kota Solo pada umumnya. Pada masa itu sangat lazim bila suatu kampus memperingati dies natalis, hampir pasti mengundang band. Bahkan pertunjukkan band-pun terus mengalir tidak hanya di kampus namun juga stadion, lapangan maupun gelora olah raga di kota Solo.

Puncaknya adalah ketika di gelora sri wedari diadakan pertunjukkan band kelas internasional yang digawangi oleh Yngwe Malmsteen, seorang dewa guitar asal Swedia. Gelora yang demikian besar pun tidak kuasa menahan serbuan puluhan ribu anak muda yang saat itu tergila-gila oleh musik rock. Tidak ketinggalan kita-kita dari kalangan mahasiswa juga meramaikan dan melihat langsung konser terbesar kala itu. Saking membludaknya pengunjung bahkan terjadi kerisuhan di pintu masuk dan terjadilah aksi dorong mendorong penonton yang kehabisan tiket melawan petugas keamanan. Untunglah kericuhan berjalan wajar dan pertunjukan musik yang menampilkan sang dewa gitar berhasil memuaskan dahaga penikmat musik rock.

Gairah akan musik rock terus membara dan menyusul konser musik di Surabaya yang menghadirkan grup musik beken juga dari Swedia, Europe. Kita bertiga dari kampus tidak berpikir dua kali langsung meluncur ke Surabaya memburu konser akbar ini. Dengan uang seadanya, bahkan masih ingat kita menonton dengan berbekal kupon tiket yang digunting dari majalah remaja “HAI” kitapun naik bus ke stasiun Pasarturi. Konser musik rocknya sendiri diadakan di stadion Tambaksari. Demi hobi yang hebat ini kita rela menunggu seharian dan tidurpun di masjid dekat stadium. Malamnya sehabis mencari makan malam murah sekitar stadion kitapun larut dan menikmati alunan dasyat lagu-lagu Europe macam Final Countdown, Carry, Cherokee ataupun Open Your Eyes. Paginya dengan sisa uang ngga seberapa kita menunggu gontai di stasiun bus. Dengan taktik bondo nekat kita dekati kondektur bus, bang bang mau ke Solo bertiga uang segini boleh ngga. Kondekturpun berlagak jual mahal, namun untung penumpang agak sepi akhirnya kitapun lolos dan berhasil pulang.

Masih ada konser gila lainnya yakni di Lebak Bulus Jakarta dan bintang rock yang diundang bikin kita merinding yakni “SEPULTURA” he he. Ini grup musik identik dengan makhluk serem-serem pada brandingnya. Ada gambar setan, gambar monster, hiiiii seyyeem deh. Kita-pun beberapa orang tetap berangkat juga. Hanya waktu itu kita sudah lulus kuliah dan kerja di Bekasi. Dasyat nian konser ini sampai pintu stadion jebol diterjang maniak rocker. Puiih lega rasanya bisa pulang dengan selamat mengingat konser diwarnai dengan aksi dorong mendorong ribuan kaum muda melawan petugas keamanan. Bahkan di dalam stadion pun situasi tidak aman dan banyak kawula muda teler terbuai lagu-lagu ganas Sepultura.

Inilah sekelumit pengalaman pecinta rocker era 1990-an. Usai itu masih ada sebenarnya konser macam Bon Jovi di Ancol dan beberapa grup jazz, namun kita hanya melihat lewat TV atau dipinjami rekaman konser dari teman yang melihat. Belakangan memang tidak banyak lagi konser-konseran karena situasi keamanan tanah air yang kurang kondusif, utamanya era 1998-an dimana Pak Harto lengser. Salam rock 4-ever !!
Read More ..

Friday, July 07, 2006

Pada Dasarnya Semua Orang Baik

Beberapa hari terakhir ini saya berkesempatan melakukan perjalanan di seputar Jakarta, menemui RT dan tokoh masyarakat di berbagai bagian Jakarta. Setidaknya saya sudah menyisir daerah mulai dari Cibitung, Bekasi, Pondok Gede, Ciputat, Cipondoh, Sawangan, Depok, Studio Alam, Pondok Petir dan beberapa daerah lainnya. Apa yang saya lakukan adalah menemui RT/Tokoh Masyarakat dan membahas seputar lingkungan dalam wilayah tadi. Kebetulan hal ini ada hubungannya dengan pekerjaan saya, jadi melakukan komunikasi dan koordinasi kemasyarakatan sehubungan dengan kita punya asset di daerah tersebut.

Menakjubkan kira-kira begitu kesan singkat saya. Bahwa dari berbagai orang yang saya temui dan ajak bicara semuanya baik dan sangat-sangat bekerjasama. Tidak hanya minuman teh atau kopi disajikan, namun juga camilan kecil dihidangkan. Semuanya dengan ketulusan dan kebaikan hati. Entah hal ini karena melihat perusahaan kita misalnya, atau karena faktor lainnya yang jelas bahwa ternyata semua orang pada dasarnya baik.

Saya jadi termangu sendiri bahwa orang-orang kita begitu baik, begitu antusias dan penuh dengan keakraban, namun kenapa konon masyarakat kita tidak segan-segan anarkis dan penuh emosi amarah. Di berbagai daerah lain semacam Aceh, Ambon, Papua, Palu maupun tempat lainnya terkadang timbul permusuhan, saling menyakiti dan tindakan merusak lainnya. Jadi apa yang salah sebenarnya. Dasar dari watak orang kita yang ramah dan kekeluargaan, daerah yang subur, tanah air yang luas nan menjanjikan ternyata tidak cukup menghasilkan sebuah masyarakat yang utuh dan saling memahami.

Namun selalu milikilah keyakinan bahwa apapun masalahnya, apapun musababnya, bahwa masyarakat kita pada dasarnya adalah baik. Bila tak terhindarkan tetap terjadi anarkis dan tindakan di luar norma, tentu ada penyebab pokoknya. Apakah penyebab itu bisa berupa keserakahan, ketamakan atau egoisme seseorang atau sekelompok tertentu. Secara alami ya tidak 100% orang adalah baik. Ada yang semula baik namun terhasut nafsu ambisinya. Ada yang bener-bener jujur namun terseret hasutan dan bujukan dari provokator, dan seterusnya.

Bahkan barangkali pencuri, maling, pencopet, perampok, pengutil bisa saja pada dasarnya baik, namun tergoda oleh keadaan yang mepet, perut lapar, rengekan anak dan kebutuhan hidup lainnya menjadikan mereka khilaf dan berbuat menyimpang. Hal ini mengapa dimengerti bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk paling mulia di muka bumi, dan bahkan Tuhan-pun mengatakan bahwa dibunuhnya seorang manusia sama artinya dengan dibunuhnya seluruh manusia di muka bumi semakin mengukuhkan betapa tingginya nilai seorang manusia.
Read More ..

Tuesday, July 04, 2006

Gempita World Cup

Bola, bola, bola demikian agenda acara kita sebulan terakhir dimeriahkan. Mulai dari anak remaja, ibu-ibu dan jangan dikata bapak-bapak semuanya keranjingan dengan pesta akbar sebulan penuh ini. Sejenak kita melupakan berbagai masalah yang membelit. Lupakan sejenak harga bbm yang makin mahal, rutinitas pekerjaan membosankan dan kehidupan yang serba pas-pasan. Milyaran pasang mata melotot dan diberi hiburan gratis pesta bola. Ada 32 negara yang mengirimkan timya ke Germany dan unjuk kebolehan memainkan si kulit bundar.

Sepak bola memang olah raga rakyat nan murah. Hanya dengan modal bola dan lapangan atau lahan kosong maka 22 orang bisa berolah raga sehat nan meriah. Itulah sepak bola yang konon ditemukan entah di Inggris atau di Denmark. Seorang serdadu Denmark menemukan rangka kepala dan ditendang-tendang maka jadilah olah raga universal yakni sepak bola.

Media cetakpun berlomba menyajikan oplah extra khusus mengulas masalah bola. Komentator bola-pun ramai dan berlomba memberikan ulasannya. Ada komentator tamu dari tokoh atau pejabat negara yang sengaja diundang untuk memberikan analisisnya. Tidak dikata ramainya iklan dan sponsor saling berlomba turut membiayai penyiaran langsung bola dunia ini.

Kita rela mengurangi jatah tidur kita demi melihat langsung siaran bola mulai dari penyisihan 16 besar, dilanjutkan 8 besar dan terakhir sampai hari ini sudah terjaring 4 negara yang berhak menapak tahap semi final dan grand final. Tuan rumah Germany, Italy, Prancis dan Portugal adalah Negara terkuat yang berhasil memenangi saringan semi final. Ada fenomena begini, bila tempat berlangsungnya world cup didaratan Eropa, maka tim-tim Amerika Selatan tidak berhasil memenangkan entah 4 besar atau 8 besar. Sebaliknya bila berlangsungnya di Amerika Latin gantian tim Eropa yang bakal kandas di babak-babak awal. Entah ini hanya kebetulan atau memang semacam “takdir”.

Bila kita melihat suatu pertandingan bola ada yang unik di pinggir lapangan, yakni orang yang berdiri membelakangi lapangan permainan dan menggunakan rompi warna kuning/oranye. Orang-orang ini berbaris dalam jarak tertentu dan tugasnya mengawasi penonton. Barangkali ini bagian dari tim keamanan atau agen polisi, namun yang jelas sampai pertandingan usai mereka justru tidak melihat ke lapangan dan sebaliknya terus mengawasi penonton. Hmm unik juga yaa dikala milyaran orang penasaran ingin melihat langsung, justru sekelompok petugas ini mengorbankan keinginan ini. Ya itulah konsekuensi tugas dan professionalism.

Hal unik lainnya adalah spontanitas kesedihan dan airmata manakala timnya kalah dan lompatan kegirangan manakala menang. Bahkan mereka dari negara asal yang jaraknya ribuan mil dari tempat bertanding-pun turut berpesta pora manakala tim negaranya menang dan juga menangis sedih bila kalah. Ada orang pengidap jantung langsung meninggal begitu tahu tim negaranya kalah dan seterusnya.

Penyelenggaraan setiap 4 tahun sekali memang waktu yang tepat dan pas untuk piala dunia bola ini. Tidak terlalu singkat juga tidak terlalu lama. Pesta yang dimulai dari tahun 1950-an ini selalu berlangsung setiap 4 tahun sekali dan berlangsung sekitar 1 bulan. Artinya tahun 2010 adalah dimana pesta bola kembali diadakan. Kali ini kita belum tahu dari keempat negara tadi yang akan menjuarai world cup. Namun menang atau kalah bukanlah hal utama. Yang terpenting adalah sportifitas dan kebersamaan. Semangat olah raga sepak bola adalah rasa kebersamaan universal manusia. Jadikan sepak bola sebagai sarana perdamaian dan persaudaraan abadi seluruh alam semesta.
Read More ..